-

Rusmannulis

Minggu, 15 Agustus 2021

DASAR NURDIN SI SONTOLOYO

Cerita Anak-Anak :

Oleh: Rus Rusman


Tidak ada yang menyangka kalau langit yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Siang itu mendung tebal menyelimuti udara kota Tuban, yaitu kota kecil di pantai utara Pulau Jawa. Kota tempat tinggal Dona dan Doni.  

Hari masih siang ketika hujan mulai turun. Kilat disertai suara petir menyambar-nyambar bagaikan seekor naga sedang mencari mangsa. Benar-benar cuaca yang sulit diduga, seperti sulitnya PR matematika yang baru saja kami kerjakan, pikir Dona. Oh ya Dona dan Doni sama-sama duduk di kelas 3 SD. Mereka adalah saudara sepupu atau saudara misan. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu. Mereka sedang berlibur di rumah nenek yang tinggal di sebuah desa di selatan kota.

Ketika hujan sudah reda kedua anak ini segera berpamitan, takut kalau nanti tia-tiba hujan lagi. 

”Hati-hati di jalan !” 

”Ya nek”, jawab keduanya sambil mencium tangan nenek.

Keduanya lantas menaiki sepeda agak tergesa-gesa. Dona di depan dan Doni di belakang sambil membawa tas sekolah mereka. Ketika hampir memasuki kota tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seorang anak laki-laki. 

“Hai, kalian dari mana ?”

Agaknya dia adalah Nurdin teman sekelasnya, yang kebetulan habis bermain sepak bola dengan teman-temannya. Kontan Dona menghentikan ayunan sepedanya.

”Kami dari rumah nenek’, jawab Doni.

”Mengapa kalian membawa tas sekolah, habis belajar ya ?”

”Ya, tadi sambil mengerjakan PR. Bukankah kata Bu Guru besuk harus dikumpulkan PR nya ?”

Kontan wajah Nurdin menjadi pucat. Rupanya dia lupa bahwa besuk PR matematika harus dikumpulkan. Sedangkan dia biasanya sering kesulitan mengerjakan soal matematika. Bahkan Bu Anik guru mereka sering memarahinya karena sering salah saat mengerjakan di depan. Bagaimana ini ? Pikirnya dengan wajah kecut.

Dasar Nurdin anak nakal yang akalnya banyak, dia segera mengajak kedua temannya itu mampir sebentar ke rumah pamannya yang kebetulan agak dekat dengan jalan itu.

”Tidak ah, hujan mau datang lagi. Kami harus segera sampai rumah”.

”Don, bukankah kamu ingin main playstation di komputer pamanku?” desak Nurdin ”Kebetulan paman punya komputer baru ”sebentar saja ayo !”

Karena Doni sudah melangkah maka terpaksa Dona ikut juga. Ternyata benar, Pak Yudi paman Nurdin baru saja membeli seperangkat komputer yang kebetulan di dalamnya ada beberapa jenis game.

Karuan saja kedua anak itu asyik bermain, melupakan hujan yang sebentar akan turun lagi. Di tengah keasyikan Dona dan Doni memainkan gagang staker itu, tiba-tiba Nurdin bangkit.

”Kalian tunggu di sini ya, aku pinjam buku PR nya sebentar. Nanti sore aku kembalikan ke rumahmu”.

Betapa terperanjatnya kedua anak itu, tanpa menunggu jawaban mereka, Nurdin langsung membawa lari tas sekolah Doni.

”He, jangan aku mau pulang”.

”Tidak lama, kalian main saja di sini”, jawab Nurdin sambil berlari.

”Jangan Din ! Ayo Dona kita kejar dia”, 

Tidak ada pilihan lain bagi Doni kecuali mengejar si anak bengal itu. Dia takut nanti ketahuan Bu Guru dan dia yang kena marah. Dona pun segera mengikuti Doni sambil mengayuh sepedanya.

”Tadi sudah kuperingatkan, Nurdin itu anak gila. Kamu sih yang mau saja”, gerutu Dona.

”Aku tak menyangka.”

Begitulah Nurdin si anak gila itu lari dengan cepatnya melewati gang-gang sempit di antara rumah-rumah penduduk. Tentu saja Dona dan Doni yang mengejar sambil menggayuh sepeda tidak bisa mengimbangi kelincahannya. Mereka kesulitan meliuk-liuk di antara lorong-lorong sempit. Belum lagi seringkali ada orang lewat sehingga terpaksa kedua kakak beradik itu mengurangi kecepatannya.

”Gila .., gila benar si Nurdin itu,” teriak Dona sambil menghentikan sepedanya. Di belakangnya terlihat Doni yang juga berhenti di sampingnya. 

”Ayo kita ke rumahnya,” ajak Dona.

”Tidak mungkin dia pulang, ini bukan jalan menuju rumahnya.” Jawab Doni.

”Lantas mau kemana si anak gila itu ?”

”Tak tahulah, besuk kita ceritakan apa adanya kepada bu guru.” Gerutu Doni lagi.

”Tapi nanti kita sendiri yang kena marah bu guru. Kemarin sudah diingatkan harus dikerjakan sendiri.” Keluh Dona pula.

”Ayo kita kaporkan ke pamannya, biar nanti kita dibantu paman Nurdin.” ajak Doni.

”Ya, itu ide yang bagus. Ayo kita kembali.”

Maka dengan terpaksa kedua kakak beradik itu kembali lagi ke rumah paman Nurdin.

Tapi belum sempat mereka masuk ke pintu rumah, tiba-tiba si anak gila itu sudah berada di situ sambil tersenyum-senyum.

”Darimana kalian, he ?” tanya Nurdin.

”He, kamu anak bandel. Mana bukuku?” bentak Dona.

”Sudah kubilang kan? Aku Cuma pinjam sebentar,” jawab Nurdin sambil tersenyum ”Ini aku kembalikan.”

Seperti orang yang tak merasa bersalah, Nurdin mengajak mereka bermain game lagi.

”Din, kamu foto kopi ya PR ku. Awas aku laporkan bu guru kalo pekerjaanmu sama dengan punyaku.” ancam Dona.

”Ayo kita pulang saja, jangan hiraukan lagi si anak bengal ini. Nanti kita pusing sendiri kak.” ajak Doni lagi.

Si Nurdin diam mendengar ejekan Doni itu. Dia hanya memandang kedua temannya itu sambil tersenyum-senyum saja tanpa merasa sakit hati.

”Terimakasih kawan atas pinjaman bukunya ya. Besuk pasti aku juga bisa mengumpulkan PR ku.” kata Nurdin seperti tak merasa bersalah. 

Akhirnya Dona dan Doni cepat-cepat menggayuh sepedanya pulang kembali ke rumah. Mereka ingin segera sampai ke rumah karena hujan sudah mulai turun. Dasar Nurdin si anak gila, pikirnya.

”Ada apa Nurdin, kok terdengar ramai sekali?”

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar orang bertanya. Agaknya Pak Yudi paman Nurdin yang baru keluar dari kamar. Rupanya beliau yang tadi sedang istirahat agak terganggu karena suara ribut-ribut.

”Oh nggak paman, hanya guyon sedikit saja dengan teman Nurdin yang tadi mencari Nurdin ke sini,” jawab Nurdin setengah berbohong.

”Hayo Nurdin, jangan berbohong lagi. Kau kira paman tidak mendengar sejak dari tadi kalian berbicara?”

Tentu saja wajah si anak bengal itu mendadak menjadi pucat. Rupanya paman Yudi mengetahui apa yang telah terjadi. Ah, terus bagaimana ini?

”Nurdin, berkatalah sejujurnya pada pamanmu ini. Ingat, anak yang suka berbohong pasti tidak akan disayang oleh Tuhan,” berkata Pak Yudi sambil duduk di ruang tamu. Melihat keponakannya merasa kebingungan, orang tua itu mencoba tersenyum.

”Cobalah ke sini cah bagus, ayo sini nak duduk bersama paman!”

Mau tidak mau Nurdin segera melangkah mendekati pamannya. Iapun duduk di kursi yang ada di samping pamannya.

”Kenapa wajahmu muram? Anak laki-laki tidak boleh mudah menangis. Harus kuat menghadapi kesulitan. Itu si Tatak anaknya pak dhe Karno yang rumahnya di tepi jalan raya itu, kau tahu kan?”

”Ya paman,” jawab Nurdin sambil menunduk.

”Dulu waktu kecilnya juga persis seperti kamu ini. Kalau ada PR pasti terlambat mengerjakan, senangnya hanya bermain ke sana ke mari. Pak dhe Karno itu cerita sama paman. Nah kemarin waktu kelulusan, dia berhasil mencapai nilai terbaik di SD-nya. Tatak menerima piagam khusus dari bapak Kepala Sekolahnya. Coba kalau kau bisa begitu, alangkah senangnya ibumu. Kau ingin seperti Mas Tatak atau tidak?”

”Ya, paman,” jawab Nurdin lagi sambil menganggukkan kepala.

”Nah kalau begitu kau harus belajar bersungguh-sungguh. Harus rajin belajar. Bermain itu tentu boleh, tapi kewajibannya, tugas-tugasnya, harus dipenuhi juga. Kau mau Nurdin?”

”Ya, paman.”

”Kau mau berjanji pada paman?”

”Ya, paman. Saya berjanji.”

”Bagus, ini baru keponakan paman. Jangan menangis, paman percaya kepadamu,” kata paman Yudi sambil mengelus rambut keponakannya.

”Tidak apa-apa sayang, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Tentu saja dia harus berani memperbaiki kesalahannya itu.”

Nurdin si anak bengal itu semakin sesenggukkan di samping pamannya. Nampak sekali ia menyesal atas perbuatannya.

”Coba sekarang kamu tunjukkan pada paman apa yang sudah kamu foto kopi dari buku temanmu tadi.”

Sambil masih meneteskan air mata, Nurdin melangkah mengambil kertas yang tadi ia dapatkan dari buku si Dona. Lalu ia serahkan kepada pamannya. Nampak paman Yudi mengangguk-angguk sambil tersenyum.

”Kamu juga mencatat semua soal-soal ini di bukumu?”

’Ya, paman.”

”Kalau begitu, datanglah sekarang kamu ke rumah Dona. Kau harus berani meminta ma’af dan serahkan kertas foto kopi ini kepada temanmu itu.”

Terkejut Nurdin mendengar perintah pamannya itu. Nampaknya ia agak ragu melakukan hal itu. Iapun mencoba memberanilkan diri untuk berkata pada pamannya.

”Tapi paman ...!”

”Nah, ini ni ni nih ... kamu belum ikhlas untuk berubah kan? Katanya ingin seperti Mas Tatak. Ingin jadi juara kelas. Dulu Mas Tatak juga begini, tapi dia berani menghadapi kesulitan. Berani juga meminta maaf kepada siapapun yang ia berbuat salah.”

Nurdin masih terdiam. Anak ini agaknya merasa sulit untuk bersikap.

”Nurdin harus percaya pada paman. Minta ma’af pada si Dona, serahkan kertas ini dan nanti setelah magrib Nurdin datang ke sini. Belajar bersama paman, nanti akan paman tunjukkan cara mengerjakan soal-soal itu. Paman yakin pasti kamu bisa.”

Nurdin yang dari tadi hanya menunduk menjadi sedikit terhibur pada ucapan pamannya. Anak yang kulitnya sedikit kehitaman itu nampak menengadahkan wajahnya. Ia melihat ke arah pamannya. 

”Hiya betul, nanti ke sini, paman akan menunjukan cara mengerjakan soal-soal itu,” kata Pak Yudi sambil tersenyum.

 Akhirnya sambil tersipu-sipu anak bengal itu mau sedikit tersenyum. Iapun lantas menjawab pelan.

”Baiklah paman, saya akan ke rumah Dona meminta ma’af dan mengembalikan foto kopi ini.”

”Alhamdulillahi Robilalamiin,” jawab Paman Yudi sangat gembira,” ini baru keponakan paman. Coba-coba ulangi yang lebih keras lagi.”

”Saya akan ke rumah Dona meminta ma’af dan mengembalikan foto kopi ini, paman,” ulang Nurdin dengan wajah yang lebih cerah.

”Nah, begitu dong. Ayo bersalaman dengan paman,” kata Pak Yudi sambil mengulurkan tangan. Mau tidak mau Nurdin juga menyambut uluran tangan pamannya itu.

”Terimakasih atas kesediaannya Bapak Nurdin. Tinggal selangkah lagi kamu sudah menang. Selamat ya bapak!” kata Pak Yudi sambil mengoncang-ngoncang tangan keponakannya. Mendengar candaan pamannya itu Nurdinpun ikut tertawa-tawa setengah malu.

”Nah, sekarang senyampang hujan sudah reda datanglah ke Dona. Jangan ragu untuk meminta ma’af, calon juara harus berani. Dan nanti malam paman tunggu kedatangan Pak Nurdin ke rumah ini. Oke!?”

”Oke paman, saya berangkat. Assalamu alaikum!”

”Wassalamu alaikum waromatullai wabarokatuuh!”

”Hati-hati Nurdin!”

”Ya paman, terimakasih.”

Dengan penuh semangat dan wajah yang berapi-api Nurdin si anak gila itu melangkah menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah padat penduduk. Hatinya nampak berbunga-bunga penuh percaya diri. Hati nuraninya telah terketuk oleh cara pamannya yang berhasil membuka pintu kesadaran keponakannya.

”He, kau ini ada apa sih?” tanya Dona yang tak menduga Nurdin akan datang ke rumahnya,” bawa saja foto kopi ini, aku dan Doni tak membutuhkannya.”

”Nggak ah, aku minta ma’af. Aku harus mengerjakannya sendiri nanti malam,” jawab Nurdin sambil nggloyor pergi. Setengah tak percaya Dona memandang tak henti-henti ke arah Nurdin. Biasanya ia tidak begini.

”Din, kamu belajar saja ke sini nanti malam,” teriakknya karena merasa kasihan pada temannya itu.

”Terimakasih Don, aku akan belajar di rumah paman saja. Besuk pasti PR-ku sudah selesai.”

”He, kamu tidak boleh pasrah kepada pamanmu lho!”

”Ya nggaklah, kau tahu Don pamanku orangnya tidak seperti itu.”

Akhirnya Dona hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala sambil sorot matanya tak berkedip mengarah pada sahabatnya itu.

Rupanya paman Yudi berhasil membuka pintu baru dalam hati Nurdin yang semula si anak gila itu untuk pelan tapi pasti kelak menjelma menjadi sang juara di kelasnya.**

  • TAMAT  -









Senin, 12 Juli 2021

PUISI :

 

 * REMBULAN DI ATAS RUMAH KITA *


Oleh: Rus Rusman










ALANG- KAH segarnya suasana malam ini ibune


Bulan telah bertengger indah di atap rumah kita

Bukankah ini seolah-olah Tuhan yang mengirimkan

Agar kita bermandi cahaya dan puas menikmatinya.


OH BAPA, mengapa hatikupun bagai berbunga-bunga

Seperti ranumnya daun mangga yang muda menggoda

Kumohon bapa, temani aku duduk berlama di sini saja

Menikmati kebersamaan kita, seperti saat masih muda.


DUHAI IBUNE, janganlah memancingku seperti itu

Kau pasti sangat ingin kan, kenakalanku padamu?

Kenakalan yang selalu kuberikan di saat-saat dulu

Dan agaknya saat ini, Tuhan menyuruhku kembali

Untuk berbuat lebih nakal lagi kepada bidadariku.


TENTU BAPA, siapa bisa melupakan kelicikanmu itu?

Kau selalu tega menjebakku, berbuat tanpa minta ijinku

Oh, benar-benar kenakalan yang luar biasa kau bapa

Tapi ssst … ! Bersabarlah bapa, simpan dulu jari-jarimu

Bukankah bulan itu sedang menyaksikan kita ?


WAKTUMU lima menit ibune, pandangilah sepuasmu

Nikmatilah sinarnya, pasti wajahmu akan lebih muda

Lebih mempesona, tubuhmupun lebih berisi dan sintal

Dan rambut yang agak beruban itu akan nampak segar

“…Sudah, cukup wong ayu, ayo kita tinggalkan bulan itu”

Malam ini tak ada yang lebih penting bagi pria berumur ini

Selain membuktikan bisa berbuat lebih gesit lagi padamu.


AH, BAPA ! Kau genit sekali, lebih genit dari yang dulu

Kalau begitu bapa, mari kita berjuang, berjuang kembali

Untuk bisa menikmati kenakalanmu, seperti dulu lagi ***

                              

                          Tasikmadu, 2410'18

Selasa, 08 Juni 2021

PUTRA-PUTRA FAJAR NEGERI WILWATIKTA (2)



Oleh : Rus Rusman


Pada tulisan sebelumnya dijelaskan bahwa ada tiga putra fajar Majapahit yang bersinar pada zaman Islam,  ialah Raden patah putra dari Prabu Kertawiaya (Brawijaya 1), Mas Karebet keturunan Prabu Kertabumi Girindrawardhana (Brawijaya V), dan Raden Sutawijaya keturunan Prabu Brawijaya I. 


PERTANYAAN yang masih tersisa adalah leluhur wanitanya, sebab dalam catatan sejarah ada tiga orang wanita yang bisa diprediksi sebagai leluhur para putra fajar, antara lain: Dewi Kiyan (dari China), Dewi Wandan Kuning (dari Sulawesi) dan Dewi Anarawati (dari Champa).







1. Dewi Kiyan


Wanita ini adalah garwa selir Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yang dititipkan kepada Arya Damar di Palembang. Waktu itu sang dewi sudah anggarbeni. Saat di Palembang itulah sang bayi lahir,  yang kemudian diberi nama Arya Jimbun atau Raden Patah. Raden Patah kelak menjadi Raja di Demak Bintoro.  

Jadi Dewi Kiyan sudah jelas merupakan Ibu Raden Patah. Dengan demikian para sultan Demak Bintoro itu keturunan Brawijaya I dengan istri selirnya yaitu Dewi Kiyan.


2. Dewi Wandan Kuning


Dewi Wandan Kuning semula adalah seorang dayang atau pelayan permaisuri raja Brawijaya V. Namun karena kecantikannya membuat sang raja tertarik dan dicarilah alasan untuk bisa menikahinya.Nya.

Pada waktu itu raja menderita sakit yang hanya bisa sembuh kalau ia mau mengawini wanita Wandan. Itu menurut ramalan tabib istana. 


Maka raja segera menikahi dayang istana yang cantik itu. Menurut analisa penulis, dari perkawinan itulah lahir Putri Retna Pembayun.


Putri Retna Pembayun dilarikan atau diculik oleh Menak Daliputih dari Blambangan yang kemudian diselamatkan Jaka Sengara. Jaka Sengara menjadi Adipati Pengging bergelar Raden Handayaningrat dan menikahi Putri Retna Pemabayun. 


Memiliki anak Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging II. KI Ageng  Pengging II menurunkan Mas Karebet atau Joko Tingkir yang kelak menjadi sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. 


3. Dewi Anarawati 


Dewi Anarawati atau Dewi Dwarawati adalah putri Kerajaan Cempa. Ia adalah permaisuri Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yang tidak lain adalah bibi Sunan Ampel.


Sang Permaisuri di samping memiliki anak yang lain juga memili anak Lembu Peteng atau Bondan Kejawen. Berbeda dengan saudaranya, Raden Bondan lebih senang bertapa di gunung-gunung dan hutan belantara.


Raden Bondan kemudian menurunkan Ki Ageng Getas Pandawa dan seterusnya. Pada ujungnya menurunkan Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya kelak menjadi raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati.


BAGAIKAN BUAH KARAMBOL


Ternyata Tuhan menciptakan segala sesuatu selalu dalam  hukum sebab akibat. Contohnya Majapahit,  sehancur-hancurnya negeri Wilwatikta initernyata detak jantungnya masih mampu mengalirkan darah pada urat nadi para sultan Jawa.


Sementara Majapahit itu sendiri juga tak bisa lepas dari pengaruh raja-raja Singosari. Singosari dan Kediri juga akibat detak jantung Kerajaan Kahuripan (Erlangga).


Diceritakan waktu itu Erlangga akan membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua untuk dua anak laki-lakinya. Untuk itu Erlangga meminta Mpu Baradha mengadakan upacara suci besar-besaran di lapangan mayat Wurare (sekarang bernama Surabaya). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1045. (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 39).


Sebagai titising Wisnu Erlangga telah dihantui firasat buruk. Memang garis batas dua kerajaan (Jenggala dan Kediri) sudah ditorehkan oleh tongkat sakti sang Mpu, namun tetap saja Erlangga berwajah muram.


Konon bekas garis hasil guratan tongkat sakti itu sekarang menjadi kali Brantas.


Kekhawatiran Erlangga semakin menjadi-jadi saat menyaksikan ketidaksempurnaan Mpu Baradha melakukan tugas besar itu. 


Meskipun mantra-mantra suci sudah terloncat dari mulut sang mpu, namun tak urung jubah yang dia kibarkan tersangkut pada sebuah pohon asam kate (kamal pandhak). 


Mantra-mantra sakti Mpu Baradha walau seberapapun ampuhnya hanyalah sekedar usaha manusia, sedangkan takdir adalah kehendak sang Pencipta yang hanya dapat berubah atas ijin-Nya pula.


Akibat semua itu maka jadilah kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa dari era ke era bagaikan buah karambol yang menatap-natap. Jenggala hancur oleh Kediri, Kediri hancur oleh Singosari, Singosari bubrah muncullah Majapahit dan Majapahitpun sirna ilang timbul Demak, Pajang dan Mataram.


Kalau begitu benarkah setiap kerajaan bisa berkembang dan termashur syaratnya harus menenggelamkan kerajaan seniornya?

Haruskah Demak Bintoro melepas jangkar ke samodra luas dengan cara merobek layar Majapahit? Haruskan Mataram mengepakkan sayap ke angkasa dengan cara mencakar kepala dan tubuh Pajang?


Sesungguhnya kemenangan itu bukanlah tentang kita bisa mengalahkan siapa, melainkan tentang seberapa banyak orang merasa nyaman dengan keberhasilan kita.


"Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Becik ketitik ala ketara. Sapa sing mbibiti ala ing Kono *wahyune sirna."*


Wallahu a'lam, semua terjadi atas kehendak Tuhan.


Demikian Semoga bermanfaat.


Tasikmadu, Juni 2021.

PUTRA-PUTRA FAJAR NEGERI WILWATIKTA




Oleh : Rus Rusman


JANGKA JAYABAYA menyebutnya sebagai zaman *kalabendu,* ialah masa di mana dunia mengalami gelap gulita, guntur dan geludhug sesamberan, wukir gunung moyag-mayig, sindhung riwut magenturan.


Zaman kalabendu adalah era di mana sebagian besar penghuni dunia ini mengalami mala petaka. Zaman yang di mana-mana tumbuh bebendu atau hukuman bagi orang-orang yang banyak dosa. "Waooiyaah..!"


Al-Qur'an bahkan memberikan gambaran yang lebih mengerikan :


"Saat itu manusia kontrang-kantring bagaikan anai-anai yang berterbangan, gunung-gunung bagai bulu yang ditiupkan" (Al-Qori'ah: 4-5).


"Setiap ibu yang menyusui akan lupa terhadap bayinya, wanita yang mengandung akan gugur kandungannya. Manusia seperti mabuk padahal ia tidak mabuk" (Al-Hajj : ayat 2).


"Pada hari itu tak ada siksaan yang (sakitnya) melebihi siksaan Allah, tak ada rantai yang (kuatnya) mengikat seperti ikatan Allah. Maka wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu sebagaimana keridhoan-Nya" (Al-Fajr : 25-28).


Tetapi melalui firman-Nya yang lain, Tuhan telah menjanjikan sesuatu yang amat melegakan:


"Fa Inna ma'al 'usri Yusran, Inna ma'al 'usri Yusra" = Sesungguhnya setelah ada kesulitan akan ada kemudahan = (Al-Insyirah: 5-6).


Maka kemudian di saat-saat orang mulai mengering harapannya, dan ketika Sirna ilang kertaning bumi, di saat itulah Tuhan lantas menghadirkan seorang *putra fajar.*


Manusia yang lahir dan bersinar bagai matahari di saat siang dan bercahaya bagai bulan di saat malam. Mpu Prapanca lewat Negarakertagama, menggambarkan putra fajar selalu datang sebagai sang Sutamayu yang menghapus duka, sang pertiwi yang memakmurkan negeri, maka lengkaplah ia bagaikan rembulan.


Kelahiran sang putra fajar seringkali ada di sela-sela penderitaan, di tengah kesengsaraan  sering lahir seorang bayi trahing kusumajati. Dan satu lagi, setiap putra fajar selalu ditemani oleh do'a-do'a yang membahana.


Do'a para brahmana kang pinandita, ulama pangawak kyai sejati. Dan do'a-do'a merekalah yang sesungguhnya selalu ditunggu oleh Tuhan. Do'a yang bisikannya amat lirih tapi mengangkasa menembus relung-relung langit dan disambut dengan senyuman oleh Sang Maha Kuasa. 


Dalam perjalanannya sang putra fajar akan selalu ada tangan yang menggandengnya, tangan sang penuntun sejati. Tangan itu mungkin ringkih secara ragawi, namun sesungguhnya ia adalah tangan yang amat perkasa menjadi penunjuk jalan.


Tangan itu akan mengantarkan momongannya menuju ke-ridho-an Tuhan. Tidak ubahnya Raden Ramawijaya yang dituntun sang wungku atau para Pandawa yang digandeng oleh Sri Kresna .


Lalu siapakah yang pantas disebut sebagai sang putra fajar dalam sejarah negeri Nuswantara? Tulisan ini sengaja hanya mensitir tokoh-tokoh di era pasca Majapahit. Belajar pada sejarah, ada beberapa figur yang menurut penulis patut mendapatkan gelar sebagai sang putra fajar, antara lain: Raden Patah, Mas Karebet dan Raden Sutawijaya.


1. Raden Arya Jimbun


Raden Arya Jimbun atau lebih dikenal sebagai Raden Patah adalah sang putra fajar pertama. Dia adalah putra Prabu Kertawijaya atau dalam cerita babad disebut sebagai Brawijaya ke-1.


Ibunya bernama Dewi Kiyan, ialah garwa selir yang konon berasal dari China. Arya Jimbun lahir dalam derita ibunya, ketika saat kehamilannya sang ibu terusir dari istana Majapahit.


Timbul pertengkaran hebat di antara  keluarga raja, dan  wanita China itu terpaksa dititipkan kepada Arya Damar, yakni kakanda sang prabu yang tinggal di Palembang.


Adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang saat itu singgah di Palembang, dalam perjalanannya menuju Majapahit. Ketika ia menyaksikan kelahiran sang bayi kemudian ia ceritakan kepada sang Kertawijaya.


Saat itulah sang prabu berkenan menghadiahkan hutan Glagah Wangi (Demak) untuk putranya. Dan ketika Raden Patah telah besar dan berguru (nyantri) di Ampeldento, sang sunan meminta palilah Prabu Suryowikrama (Saudara seayah Raden Patah) agar diijinkan membangun perkampungan Glagah Wangi.


Tahun demi tahun berjalan dan sejarahpun mencatat Glagah Wangi tampil sebagai kerajaan Islam pertama dan terbesar di tanah Jawa, dengan rajanya  Sultan Syah Alam Akbar Sayidin Panatagama. Demak kemudian mampu menghancurkan Majapahit di bawah Girindrawardhana yang saat itu hendak bergabung dengan Portugis (1478).


Alur cerita di atas menunjukkan bahwa sang putra fajar Raden Patah dapat tampil perkasa atas gandengan tangan sang penuntun sejati, yaitu Sunan Ampel yang mendapat dukungan  para waliyullah lainnya.


Sedikit yang ingin penulis luruskan, terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Raden Patah adalah putra Brawijaya ke-5. Kalau yang dimaksud Brawijaya ke-5 itu Girindrawardhana atau Kertabumi maka pendapat itu *kurang benar*.


Girindrawardhana memimpin Majapahit hanya kurang dari satu tahun, yaitu saat ia berhasil merebut dari tangan Prabu Singawikrama Wardhana (awal 1478) sampai ia dihancurkan Demak (akhir 1478) karena akan bergabung dengan Portugis.


Sesuatu yang tidak mungkin jika waktu kurang dari satu tahun Raden Parah membangun pasukan perang, apalagi memerangi ayahnya sendiri yang memberikan hadiah Glagah Wangi. Jadi yang benar ayahanda Raden Patah atau sang putra fajar adalah Prabu Kertawija atau Brawijaya ke-1.


2. Mas Karebet


Mas Karebet atau  Jaka Tingkir adalah putra fajar yang kedua. Menurut sejarah ia adalah Putra Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, tapi karena sejak kecil ayah dan ibunya sudah meninggal maka ia dipungut anak oleh Nyai Ageng Tingkir.


Lalu siapakah Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu? Tokoh ini konon adalah putra dari Raden Handayaningrat yang masa mudanya bernama Jaka Sengara. 


Jaka Sengara seorang pemuda kabur kanginan yang memiliki kesaktian tinggi. Kebetulan waktu itu Raja Majapahit (Brawijaya V) sedang kehilangan putrinya, yaitu Putri Pembayun. 


Diadakanlah sayembara, siapapun yang bisa menemukan dan membawa pulang sang putri,  maka kalau lelaki akan dijodohkan dengannya sedang kalau perempuan akan diangkat sebagai saudara.


Ternyata setelah dilacak Sang putri diculik oleh Menak Daliputih yaitu keturunan Bre Wirabumi di Blambangan.


Jaka Sengara berhasil memenangkan Sayembara, ia menikahi Putri Pembayun dan sekaligus diangkat sebagai Adipati di Pengging bergelar Raden Handayaningrat.


Mereka memiliki tiga anak, yakni Raden Kebo Kanigara (Ki Ageng Banyubiru), Nini Panengah (Nyai Ageng Tingkir) dan Raden Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging II).


Raden Handayaningrat gugur oleh Senopati Islam saat membela Majapahit.


Kedudukannya digantikan Raden Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging II.  Raden Kebo Kenanga menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh dan melahirkan Mas Karebet.


Dengan Demikian Mas Karebet adalah Cucu Buyut Brawijaya  V atau Prabu Girindrawardhana, raja terakhir Majapahit.


Keberhasilan hidup Mas Karebet di samping tidak terlepas dari keluarga besarnya, juga atas tuntunan orang-orang yang menjadi gurunya.


Guru pertama dan terakhirnya adalah Sunan Kalijaga, lalu Ki Ageng Sela, dan Ki Ageng Banyubiru. Pernah juga berguru kepada Sunan Kudus. 


Di antara sekian banyak para gurunya yang paling berpengaruh padanya adalah Sunan Kalijaga, sebab di samping sebagai guru beliau juga kakek dari istrinya, yaitu Ratu Mas Cempa atau putri Sultan Trenggana.


Sunan Kalijaga selalu hadir di setiap kesulitan Mas Karebet, yaitu saat masih berkelana di hutan, gunung dan lembah di desa Tingkir, saat berguru kepada Ki Ageng Sela, saat diusir dari Demak oleh sultan karena dianggap berbuat salah, saat berguru di Banyubiru, dan saat bersaing dengan Arya Penangsang di bawah Sunan Kudus.


Bahkan saat sudah menjadi raja di Pajangpun Sunan Kalijaga hadir menjadi penengah dengan Ki Ageng Pemanahan. Waktu itu Karebet (Sultan Hadiwijaya) lama sekali tidak menyerahkan Hutan Mentaok (cikal bakal Mataram) kepada Pemanahan karena keraguannya atas kesetiaan Pemanahan. Dan saat itulah kanjeng sunan tiba-tiba hadir di antara keduanya.


3. Raden Sutawijaya


Raden Sutawijaya menurut kisah resmi adalah Putra Ki Gede Pemanahan. Meskipun ada sumber yang menyebutkan ia putra biologis Mas Karebet.


Namun sumber yang lebih baku mengatakan ia adalah putra kandung Ki Gede Pemanahan yang juga putra angkat Sultan Hadiwijaya.


Agar lebih jelas berikut ini silsilah lengkapnya: Raden Sutawijaya, + putra Ki Gede Pemanahan, + putra Ki Ageng Enis, + putra Ki Ageng Sela, + putra Ki Ageng  Getas Pandawa, + putra Ki Bondan Kejawen/lembu peteng, + putra Brawijaya V raja Majapahit (Soedjito Abimanyu, Sejarah Mataram, 2015: 30).


Jadi kalau melihat silsilah ini Raden Sutawijaya adalah keturunan Brawijaya V. Namun kalau melihat panjangnya urutan itu saya agak meragukan. Apakah betul Brawijaya V atau Prabu Kertabumi leluhur mereka. 


Mari kita bandingkan dengan silsilah Mas Karebet. Brawijaya V berputra Lembu Peteng atau Bondan Kejawen berarti seusia Putri Pembayun. Lembu Peteng berputra Ki Ageng Getas Pandawa berarti seusia Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela berarti seusia Mas Karebet. Padahal kenyataannya Ki Ageng Sela adalah guru Mas Karebet.


Dari sini saja sudah jelas bahwa bukan Brawijaya V yang menjadi leluhur Sutawijaya. Saya lebih cenderung kepada Brawijaya I atau Prabu Kertawijaya.


Jika Prabu Kertawijaya yang menjadi leluhur Raden Sutawijaya ini artinya lebih tegas darah Majapahitnya, sebab Kertawijaya adalah cucu Bre Wirabumi, sedangkan Wirabumi adalah putra Hayam Wuruk.


Raden Sutawijaya menjadi Sultan di Mataram melalui banyak tangan, ketika itu Ki Gede Pemanahan lama sekali menunggu kapan Alas Mentaok (cikal bakal Mataram) yang dijanjikan oleh Sultan Pajang diserahkan.


Akhirnya Sunan Kalijaga mendatangi Sultan dan keduanya dipertemukan. Alas Mentaok diserahkan dengan syarat Ki Gede Pemanahan harus bersumpah Setya kepada Sultan.


Ketika Sutawijaya babat alas, Ki Gede mendampingi langsung. Namun menjelang Mataram berdiri Ki Gede wafat. Tugas pendampingan diteruskan Ki Juru Mertani. 


Itu berarti Sutawijaya sebagai putra fajar di bawah tuntunan Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Sunan Kalijaga sudah terlalu sepuh saat itu, namun sempat juga mengingatkan Sutawijaya saat Sultan Mataram itu terlalu terlena dengan Ratu Laut Kidul.


               *** bersambung

Kamis, 27 Mei 2021

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (4 Tamat)



JERITAN kedua wanita yang tak disangka-sangka itu sedikit mengejutkan Sang Wilatikta, maka tangan yang telah terlanjur mengepal itupun bagaikan terhenti di tengah jalan, meskipun tak hendak ditariknya pula. 


Tergopoh-gopoh kedua wanita itu menghampiri orang-orang yang dikasihinya. Seperti digerakkan oleh gerak naluri Dewi Nawang Arum segera meraih tangan suaminya yang berancang-ancang di atas, sedang Dewi Sari menarik tubuh adiknya semampu-mampunya.


Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, tenaga kedua wanita bangsawan Tuban itu seperti menghadapi patung yang terbuat dari batu. Sama sekali tak ada artinya baik tarikan sang ibu pada tangan suaminya maupun rangkulan sang kakak yang menggeret tubuh adiknya. 


Kedua tubuh pria yang mereka kasihi ini tiba-tiba tak ubahnya seperti kekuatan gaib yang tak akan bisa diluluhkan oleh siapapun. Maka yang ada sekarang adalah tangisan yang disertai ratapan Dewi Nawang Arum maupun Dewi Sari agar semua ini dihentikan.


“Kanjeng, aku mohon kanjeng hentikan,” kata Dewi Nawang Arum “dia adalah putra kita sendiri.”


“Ya ayah, jangan teruskan ayaaah!” jerit Dewi Sari pula “ayo dimas, mundurlah dimas Syaid.”


Kakak perempuan Raden Syaid itu berteriak-terikan sambil mencoba mengangkat tubuh adiknya. 


Namun semua itu seakan-akan tidak ada gunanya sehingga tangisan kedua wanita itu semakin tak terkendali.

Lantas, apakah sesungguhnya yang sedang terjadi? 


Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak tahu bahwa Sang Wilatikta saat itu telah dirasuki oleh ajiannya yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang, ialah: *Aji Gelap Sayuta.*


Ajian yang merupakan salah satu ciri khas Adipati Tuban ke-8 ini secara spontan hadir saat dia menggebrak pintu kamar sembari berteriak akan membasmi para brandal Loka jaya. 


“Aku sendiri yang akan melenyapkan para berandal tak berguna itu !” 


Begitulah suaranya yang sangar dan sangat keras telah memancing hadirnya salah satu ajian yang dimilikinya, yang selama ini menjadi andalan di medang perang sebagai Raden Sahur sang senopati linuwih kerajaan Majapahit.


Dan suara yang menggelegar bagaikan petir menyambar itulah yang agaknya tadi telah mengundang Dewi Nawang Arum dan Dewi Sari untuk berlari mendatangi serta memastikan apa yang sedang terjadi pada Sang Adipati.


Sesungguhnya saat itu bukan Raden Syaid tidak memahami apa yang sedang menjalar dalam diri ayahnya, bukan ia tidak mengerti betapa bahaya telah mengancam atas kekuatan ajian Gelap Sayuta. 


Pangeran Tuban itu sepenuhnya tahu bahwa kekuatan ajian ini bukan saja pada suara yang menggelegar laksana geludug namun juga pada kedasyatan tenaga dan pukulan pemiliknya yang melebihi tenaga sepuluh gajah.


Namun karena tanggung jawabnya terhadap kawan-kawan yang dipimpinnya itulah yang mendorong kenekatan Raden Syaid untuk menerima apapun yang akan dia alami dari kemarahan sang ayah.


Pemuda yang telah ditempa oleh tingginya bukit, dalamnya jurang serta hantaman ombak laut utara ini seperti tak menghiraukan resiko apapun seandainya tangan ayahnya yang dialiri oleh kekuatan hebat itu benar-benar akan menghantam dada atau kepalanya.


Dan tentu bukanlah salah Raden Syaid pula kalau tanpa dia sengaja telah hadir kemampuan yang bersemayam dalam dirinya yang selama ini ia asah dengan berbagai rintangan di alam liar. Yang telah ia matangkan dengan cara keluar masuk hutan guna membela orang-orang lemah bersama temannya. 


Tiba-tiba saja piandel yang ia miliki telah merasuki tubuhnya tanpa ia sendiri berniat mengundangnya. Raden Syaid telah didorong oleh naluri untuk membentengi diri saat merasa terancam oleh suatu kekuatan dari luar, ialah dengan ajian: *Tameng Waja.*


Begitulah meskipun nampak wadak Pangeran Tuban itu tengah memeluk kaki sang ayah dengan kepasrahannya, namun sesungguhnya di depan dua wanita itu tengah berhadapan dua ajian yang sangat dasyat yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Sebagai seorang linuwih Adipati Wilatikta tahu dan merasakan pula apa yang terjadi dalam diri anaknya.


“Kurang ajar kau Syaid. Kau telah berani melawan ayahmu sendiri,“ bentak sang Wilatikta “minggir, minggiir! Seberapa kekuatan yang akan kau pamerkan pada ayahmu, he? Kau anak kemarin sore. Ayo hitung semua ajianmu, ingat-ingat semua rapalmu, tak akan mungkin Raden Sahur ini lari dari seorang bocah kecambah sepertimu.” 


TERKEJUTLAH pemuda itu atas teguran ayahnya, kini ia sadar dengan siapa dirinya berhadapan. Ia yang sebenarnya tidak bermaksud melawan ayahnya, namun sang ayah yang merupakan senopati Majapahit itu telah merasakan hadirnya ajian Tameng Waja dalam dirinya.


Maka buru-buru Raden Syaid melepas pelukannya, dan dengan membungkuk hormat pemuda itu perlahan-lahan mundur beberapa langkah. Kini iapun nampak duduk menunduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.


“Ampun ayahanda, ampunkan putramu yang tak tahu diri ini,” katanya lirih “putranda tidak bermaksud menentang paduka.”


"Jangan kira kau mampu melunturkan tekad prajurit Majapahit, hai bocah!" Suara Wilatikta masih menggelegar.


Dan suasana menjadi semakin tegang ketika sang adipati tiba-tiba membalikkan badan dan melangkah tegak ke arah ruang pusaka. Raden Syaid spontan berdiri dan berbarengan dengan itu terdengar pula teriakan sang ibu serta kakak perempuannya.


"Kanjeeng janganlah kanjeeng, kasihanilah istrimu ini!" ratapan Dewi Nawang Arum tak terbendung lagi.


"ASSALAMUALAIKUM ... !" tiba-tiba seorang lelaki datang tergopoh-gopoh mendekati mereka, "Heh, ada apa ini!?"


Raden Syaid yang hendak berlari mendekati sang Wilatikta terhenti langkahnya. Suara yang sareh itu bagai memberi harapan terhadap kebuntuan ini. Namun belum sempat Raden Syaid melangkah, ibunya sudah mendahului mendekati lelaki itu.


"Paman, oh pamanda Ngraseh. Tolong hentikan kanjeng Wilatikta ..!" Ratap Dewi Nawang Arum kepada pria tersebut. Rupanya yang baru datang adalah Pangeran Ngraseh, adik Nyi Arya Teja atau ibunda Adipati Wilatikta.


Dalam pada itu langkah Adipati Tuban juga menjadi terhenti oleh kedatangan pamannya. Ia ingat betul, mendiang ibundanya pernah mewanti-wanti agar ia selalu menghormati adik kandungnya ini. Lagi pula paman Ngraseh adalah sosok yang suka mengalah dalam banyak hal.  Ia adalah ulama yang mewarisi karisma Kakek Arya Teja, yang juga adipati Tuban sebelumnya. Karena itu aku tak boleh menyepelekan beliau, pikirnya.


Terdorong oleh luapan emosinya dan pada sisi lain ia harus menghormati kehadiran sang paman, maka Adipati Wilatikta segera menghentikan kakinya.


Lelaki itu lantas berkata kepada Pangeran Ngraseh:


"Oh paman, mari silahkan pamanda ageng, "katanya sambil menunduk, "ma'af tadi ada yang harus saya peringatkan pada anak saya si Syaid."


"Sudahlah Nakmas Adipati, ayo kita sejukkan dulu hati kita," kata Raden Ngraseh dengan tersenyum, "Sini-sini semuanya kita duduk bareng. Ayo Nini Sari, tikar yang ada di Pringgitan itu digelar di sini. Kita tenangkan hati kita dahulu." 


Mau tidak mau semua harus duduk di atas tikar yang disiapkan Dewi Sari. Tidak terkecuali Adipati Wilatikta, meskipun dalam hati ia tak bisa menerima perlakuan pamannya. Tapi apa hendak dikata, karena beliau ini juga pewaris tahta Tuban. Putra Ki Arya Dikara (Adipati ke-6) yang berarti darah Ranggalawe juga.


Kini wajah-wajah yang semula membeku laksana gumpalan es itu berangsur-angsur mencair. Apalagi saat Ki Ageng Ngraseh mengajak semua yang hadir membaca do'a, memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.


Maka begitulah, Ki Ageng Ngraseh tanpa direncanakan segera memimpin sidang kecil ini. Agaknya sidang keluarga  inilah yang memutuskan bahwa Raden Syaid harus segera membubarkan laskar Lokajaya. 


Dewi Nawang Arum dan semua yang hadir sangat berterimakasih atas kebijaksanaan pamanda Ngraseh. Adipati Wilatiktapun luluh hatinya dan segera mencium tangan Ki Ageng saat  pamannya minta diri.


Akan halnya Raden Syaid yang besuknya meminta restu para sesepuh kadipaten untuk melaksanakan tugasnya. Bagi dia bukan soal pembubaran para brandal itu yang sulit, melainkan apa yang akan dilakukan para laskar itu setelah dibubarkan. 


Maka Raden Syaid merasa harus tetap mendampingi teman-temannya. Ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, ia memerlukan waktu panjang untuk menyadarkankan hati mereka. 


Diceritakan Pangeran Tuban ini sangat lama tidak kembali ke dalem kadipaten, sehingga orang-orang yang mengasihinya sangat rindu padanya. Akhirnya ia bertemu dengan guru pertamanya, yakni Sunan Bonang di hutan Jatiwangi. Tak puas hanya itu ia juga melanglang buana dari satu guru ke guru lainnya.


***


SEMBURAT merah memancar dari ufuk timur, sang fajar telah datang mendahului sinar pagi. Menyeruak di antara batang-batang ental yang kokoh berdiri di hamparan pasir. Dan lambaian daun-daun rontal meniupkan angin yang semilir sejuk, seirama dengan gulungan ombak di pantai laut utara. 


Alkisah, seluruh anggota berandal Lokajayapun pada akhirnya berhasil di-Islam-kan oleh seorang sunan muda yang tiada lain adalah pimpinan mereka sendiri. Konon dialah satu-satunya wali di tanah Jawa yang berhasil bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima *Ilham Semar Sejati.*


Sebagaimana beliau kisahkan sendiri melalui karyanya yang diberinya judul *Suluk Linglung,* pangeran Tuban itu telah menjelma menjadi seorang waliyullah besar.


Adalah Sunan Kalijaga, siapa yang tak kenal namanya? Dialah sang Lokajaya atau Raden Mas Syaid atau Pangeran Abdurrahman atau Syeh Malaya atau *Sira Ingkang Sinuwun* Kanjeng Sunan Waliyullah Tanah Jawi Langgeng Ing Bawana.


Sekali lagi, sang fajar telah datang. Teriring tembang Asmaradana pada Pupuh II bait ke-6 dan ke-7 dalam Suluk Linglung karya sang Waliyullah langgeng ing Tanah Jawi:


"...6. Den becik gama nireki, 

agama pan tata krama, 

krama  –kramate Hyang Manon, 

yen sirapanata syarak, 

sareh iman hidayat,

hidayat iku Hyang Agung, 

agung ing ngrahanira."


... Perbaiki ketidak aturan yang ada, 

agama itu isinya tata krama, 

Juga kesopanan untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Tahu, 

Jika engkau memegang erat syariat, 

serta semua ketentuan iman hidayat, 

hidayat itu asalnya dari Allah yang Maha Agung, 

yang sangat besar anugrah-Nya.


".. 7. Kanugrahane Hyang Widhi,

ambawani kasubdibyan,

pangawasane pan dene, 

kadigdayan kaprawiran, 

sakabeh rehing yuda,

tan liya nugraha luhur, 

utamane kautaman."


... Kanugrahan dari Allah, 

meliputi dan menimbulkan keluhuran budi,

adapun kekuasaan-Nya melahirkan kekuatan yang luar biasa, 

melingkupi segala kebutuhan berjuang,

yang demikian itu adalah anugrah yang besar,

paling utama dari segala keutamaan.***


Demikian semoga bermanfaat.


Tasikmadu, 28052021.

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (2)




Bangunan itu berbentuk joglo dengan atapnya yang lebar dan tinggi menjulang, memiliki halaman yang cukup luas dengan pepohonan hijau di sana-sini. 


Dua di antara pohon-pohon itu adalah lambang keperkasaan pemiliknya yaitu pohon beringin yang mungkin sudah berumur hampir seratus tahun. Masing-masing berdiri kokoh di kanan kiri agak berdekatan dengan gapura masuk yang besar dan megah pula. 


Itulah istana pribadi Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban yang ke-8 atau generasi Ronggolawe ke-7 yang dikenal pula dengan nama Raden Sahur sang senopati kesayangan Raja Majapahit.


Pagi itu suasana kediaman sang Adipati terasa sejuk dan tenang. Dengan dada yang berdentangan Raden Syaid sudah menyusuri jalan kota yang menuju ke rumahnya, ialah rumah yang dibangun oleh ayahnya dalam kedudukannya sebagai Adipati. 


Ada sesuatu yang terasa mengganjal hati anak muda itu untuk memasuki halaman rumah yang luas itu.

Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki gapura samping yang agaknya langsung menuju ke bagian butulan. 


Ketika seorang pembantu telah melihatnya maka dengan hati-hati pria itu mendekatinya sambil membungkuk-bungkukkan punggungnya.


 “Ayahanda telah menunggu di pringgitan,” kata pengawal itu, “Beliau berada di tempat itu sejak pagi-pagi sekali. Bahkan tadi malam sampai larut malam beliau menunggu Den Mas di pringgitan itu juga.”


Terasa sesuatu berdesir di dalam dada anak muda itu. Agaknya persoalan ini telah benar-benar membuat ayahandanya sangat berduka. Maka pikiran Pangeran Tuban itupun menjadi semakin tak menentu.


“Silahkan Den Mas segera menghadap beliau. Memang kami mendengar bahwa sebagian pasukan yang Raden bawa telah memasuki regol Utara tadi malam. Berita itu telah sampai ke telinga kami di sini. Malahan juga ke semua penjaga gerbang yang ada di kota ini.”


Dada Pangeran Tuban menjadi semakin berdebaran. Memang saat itu ia ditugaskan untuk mendampingi para prajurit kerajaan mendatangi orang-orang pembangkang pajak.


Bahkan ia diminta juga membawa para pengawal Tuban sebagai pendamping. Di antaranya sebagian sudah dimintanya pulang tadi malam.


Namun ketika orang-orang Majapahit itu menyakiti sebagian rakyat jelata, tiba-tiba muncul serombongan orang yang dikenal dengan nama kelompok Lokajaya. Mereka tidak lain adalah kawan dari Putra Tuban itu sendiri.


Pimpinan prajurit yang mengetahui hal itu menjadi marah dan berjanji akan melaporkannya kepada Panglima Kerajaan.


Raden Syaid yang teringat akan hal itu nampak berdesah. Maka untuk mengusir kegelisahan itu lantas ia serahkan kudanya kepada pengawal sambil berkata, “Aku akan segera menghadap ayah.”


Raden Syaid mengatur dirinya sejenak. Kemudian ia pun memaksa kakinya untuk melangkah lewat emperan samping menuju ke pendapa.


Dengan dada yang masih berdentangan Raden Syaid naik ke pendapa tempat Ayahandanya sedang duduk. 


Adipati Wilatikta seperti yang dikatakan oleh pengawal tadi, memang berada di pringgitan. Duduk di atas tikar rotan yang berwarna putih kecoklatan dan di hadapannya telah siap sebuah mangkuk kaca berisi minuman teh kesayangannya.


Rasa-rasanya dada Raden Syaid akan meledak melihat wajah ayahanda yang muram. Jauh berbeda dengan wajah beliau ketika menugaskannya pergi mendampingi pasukan kerajaan.


Beberapa orang pengawal di gapura bagian dalam melihat Raden Syaid yang justru datang lewat butulan samping. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, justru hanya sedikit menunduk sambil memandangi saja dari agak kejauhan.


Ketika Raden Syaid berada di atas tangga, ayahandanya sudah melihatnya. Namun lelaki setengah tua itu masih tetap berdiam diri, mungkin menunggu putranya agar datang mendekatinya.


Dengan ragu-ragu anak muda itu mendekat. Kemudian duduk di hadapan ayahandanya yang memandanginya dengan tatapan mata sayu.


“Kau telah datang semalam Syaid?” bertanya Arya Wilatikta.


“Ya, Ayahanda,” jawab Raden Syaid dengan dada yang berdegub semakin cepat.


“Mengapa kau tidak langsung pulang?”


“Ma’af, sudah terlampau malam, Ayah. Aku takut mengejutkan paduka.”


“Ketika aku menerima laporan tentang kedatanganmu itu, aku langsung menunggu kau di sini. Tetapi kemudian aku mendengar laporan berikutnya bahwa kau tidak berada di antara pasukan itu.”


Raden Syaid menjadi semakin bingung. Justru karena itulah ia tidak bisa menjawab. Akhirnya ia hanya mampu menunduk dan menunduk.


“Aku ingin berbicara dengan kau tentang suatu masalah yang penting. Tetapi tentu tidak sekarang. Kau tentu masih lelah. Nanti setelah kau membersihkan diri, makan dan minum serta beristirahat sebentar,  maka kita akan berbicara dengan tenang.”


Sesuatu terasa bergejolak di dada Raden Syaid. Ia ingin mendengar keputusan ayahandanya segera. Tetapi ia tidak berani mendesaknya.


“Aku ingin mendengar ceriteramu tentang tugas yang kau lakukan. Apakah kau berhasil?”


Raden Syaid menganggukkan kepalanya. Jawabnya:


"Kami berhasil, Ayah. Sebagian dari orang-orang yang menunggak pajak telah membayarnya."


Adipati Wilatikta mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya:


“Apakah kau temukan pula para pengacau itu?”


“Ya, Ayah. Mereka berada pula di antara para penduduk.”


Adipati Tuban itu masih mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, “Sekarang pergilah untuk membersihkan dirimu. Akupun juga belum makan. Kita nanti akan makan bersama-sama di ruang dalam. Kemudian kita akan berbincang sedikit.”


Raden Syaid termangu-mangu sejenak memandang wajah ayahandanya. Wajah yang kini tiba-tiba saja nampak terlampau tua, pikirnya. Baru beberapa hari aku telah meninggalkannya, namun dalam beberapa hari itu rasa-rasanya ayah sudah berubah menjadi bertahun-tahun di atas usianya.


“Pergilah ke belakang,” berkata Arya Wilatikta. 


Meskipun suaranya terdengar sareh, tetapi terasa bahwa di dalam dada orang tua itu bergejolak perasaan yang ia tahan.


Raden Syaid pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia pergi meninggalkan ayahandanya yang duduk seorang diri seperti halnya sebelum ia datang.


Ketika ia telah sampai di halaman, sekali lagi ia sempat memandang ayahandanya yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Lagi-lagi sesuatu terasa bergetar di dada anak muda itu.


Ayahnya kini telah benar-benar berubah, seakan-akan beliau bukan lagi Raden Sahur seorang panglima perang Majapahit yang sakti dan disegani. 


Yang duduk di pendapa sambil menundukkan kepalanya itu seperti layaknya orang tua biasa yang putus asa karena menghadapi penghidupan yang sulit. Orang yang kelelahan karena mencari makan untuk anak dan isterinya.


Raden Syaid seperti merenung sejenak namun ayahandanya sama sekali tidak berpaling ke arahnya.


Beberapa orang prajurit di gapura dalam memandang Raden Syaid dengan agak heran. Ki Tumenggung telah menunggunya semalam di pringgitan. Lalu pagi-pagi benar Adipati Tuban itu telah bangun lagi dan tetap menunggu di pendapa pula. 


Namun begitu anaknya sudah datang, mengapa hanya beberapa saat saja sudah disuruhnya pergi lagi.


Sementara itu Raden Syaid pun pergi ke belakang. Sambil masih berwajah bingung ia kemudian masuk lagi lewat pintu butulan dan langsung ke biliknya mengambil ganti pakaian dan kemudian pergi ke tempat mandi.


Baru setelah ia selesai membersihkan dirinya, pemuda itu kembali menemui ayahnya yang masih juga duduk di pendapa. 


Masih seperti tadi, kepalanya tertunduk lesu seakan-akan ayahandanya tidak bergerak sama sekali. Ketika Arya Wilatikta melihat Raden Syaid naik lagi ke pendapa, maka katanya: 


“Nah kau sudah selesai. Marilah kita makan bersama di ruang dalam.”


Anak muda itu tidak menjawab. Ia mengikuti saja ketika ayahnya kemudian bangkit dan melangkah masuk ke ruang dalam.


Ternyata makan mereka sudah disediakan. Seorang pelayan yang menunggui makanan itu pun kemudian pergi ke belakang setelah Arya Wilatikta dan Raden Syaid duduk menghadapi hidangan itu.


“Marilah kita makan Syaid,” ajak ayahnya.


Syaid merasa semakin asing di rumah serta di depan ayahnya sendiri. Biasanya ayahnya tidak begitu kaku menghadapinya. Bahkan seringkali Ki Tumenggung tidak begitu menghiraukan, apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Apalagi jika beliau merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh.


Bagaikan melayani seorang tamu, Arya Wilatikta mempersilahkan anaknya untuk menyenduk nasi lebih dahulu, kemudian mengambilkan lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.


“Syaid,” berkata Adipati Tuban itu, “tentu tidak banyak orang yang makan sambil berbicara. Namun bila dirasa penting dan dengan irama yang baik, aku kira tidak salahnya pula. Karena itu, sambil makan, aku akan bertanya tentang perjalananmu.”


Kini leher Raden Syaid terasa menjadi kian menyempit sehingga ia tak kuasa menelan nasi yang sudah dikunyahnya. 

Namun betapapun beratnya anak muda itu tetap mengangguk sambil menjawab:


“Silahkan, Ayah.”


Waktu hening sejenak, ternyata Adipati Wilatikta tidak segera bertanya. Dibiarkannya waktu menggelantung cukup lama. Bahkan pria itu justru menyuapi mulutnya dan mengunyah lalu menelannya. 


Kini yang ada justru Raden Syaid yang nampak termangu-mangu beberapa saat. Meskipun pria muda ini kemudian tetap makan sambil menundukkan kepalanya.


Seorang emban datang dan bertanya kepada sang Adipati: 


“Tuan, apakah perlu ditambah sayurnya. Ini gusti putri mengirimkan semangkuk lagi sayur kesayangan paduka?”


 Tuan Tumenggung tidak berkenan menjawabnya. Lama sekali perempuan muda itu dibiarkannya berdiri agak jauh darinya. Namun akhirnya si emban bergeser surut sambil menundukkan mukanya. 


Sementara Raden Syaid hanya pura-pura tidak mengerti dan mencoba meneruskan suapan nasinya. ***