-

Rusmannulis

Selasa, 31 Desember 2019

WAYANG:

TRAGEDI BALAI SIGOLO-GOLO


Oleh: Ki Guru Rusman



(Selalu ada hikmah di balik setiap kisah)

Tempat itu adalah lapangan termegah yang ada di negeri Astinapura.

Alun-alun baru yang amat luas yang sengaja dibangun untuk melengkapi alun-alun lama yang berada di dekat istana.

Dulu orang menyebut lokasi alun-alun baru yang luas ini sebagai padang SiGolo-Golo. Tempat yang banyak ditumbuhi rumput liar dan semak belukar.

Namun semenjak tertata rapi tempat ini sering digunakan untuk menyelenggarakan berbagai acara penting.

PENINGGALAN PRABU PANDHU

Alun-alun baru sengaja dibangun oleh mendiang Prabu Pandhu Dewanata, ayahanda para Pandhawa.

Tujuan utamanya adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada para kawula alit.

Memang sejak dipimpin oleh Prabu Pandhu kehidupan rakyat kecil semakin semarak, mereka sangat berterimakasih karena sang raja sering mengadakan acara hiburan di alun-alun kedua ini.

"Alun-alun ini adalah milik kalian semua," begitu titah baginda saat meresmikan lapangan yang amat luas ini.

"Jangan segan-segan untuk datang ke sini, karena sepekan sekali di tempat ini akan ada hiburan untuk kalian semua."

Kontan para kawula Astina menyambut kemurahan hati sang raja ini dengan suka cita.

Rakyat semakin mengelu-elukan nama junjungannya sebagai seorang raja yang amat bijaksana.

Sepekan sekali mereka datang berduyun-duyun menikmati keramaian, ada banyak tontonan seperti wayang, ludruk, ketoprak, dan bahkan tayub.

Orang-orang bebas memilih mana yang mereka sukai.

Namun dengan gugurnya Prabu Pandhu Dewanata saat perang tanding melawan raja bawahannya, yaitu Prabu Trembaka dari Pringgondani, sejak itu alun-alun SiGolo-Golo ini menjadi sepi kembali.

Acara hiburan yang dulu sering diselenggarakan sang raja kini lenyap bagai ditelan bumi.

Nampaknya pemimpin baru yang menggantikan Prabu Pandhu tidak lagi menganggap acara itu sebagai hal yang penting.

Dia adalah Sang Adipati Drestarasta, yaitu saudara tertua dari mendiang raja yang kebetulan cacat netra.

Sebagaimana telah disetujui oleh Dewan Kerajaan yang dipimpin Eyang Bisma bahwa pewaris syah negeri Astina adalah para Pandhawa.

Namun karena mereka belum cukup umur maka sambil menunggu dewasanya Raden Puntadewa, Begawan Bisma menunjuk Adipati Destarasta menjadi pelaksana sementara jabatan raja.

Sekarang di bawah raja baru ini alun-alun kecintaan rakyat Astina ini bagaikan ladang sunyi yang menakutkan.

Tentu saja para kawula menjadi semakin rindu dengan kepemimpinan Prabu Pandhu.

Sering mereka berkerumun di lapangan ini sekedar mengenang masa-masa indah sambil menangis dan mendo'akan mendiang raja kecintaan mereka.

***


KELICIKAN SENGKUNI

Sebenarnya sang Drestarasta juga tipe pemimpin yang baik pula.

Hal ini terbukti bahwa adipati ini diam-diam sering mengutus orang-orang kepercayaannya untuk "nlamur lampah" membaur dengan rakyat untuk menyerap aspirasi mereka. Dan hasilnya?

Ternyata rakyat banyak menghendaki agar putra Pandhu secepatnya menggantikannya sebagai raja Astinapura.

Mereka menginginkan agar anak-anak Pandu itu segera melanjutkan pemerintahan dan Raden Puntadewa dinobatkan sebagai raja.

Lagi pula para leluhur kerajaan, seperti eyang Bisma telah menyetujuinya pula. Maka hal itu sudah cukup menjadi alasan bagi sang Adipati untuk segera melaksanakan kehendak para kawula.

Maka Adipati Drestarasta sebagai pelaksana kekuasaan sementara segera memerintahkan Patih Sengkuni untuk membuat upacara pergantian pemerintahan sekaligus merayakannya di alun-alun SiGolo-Golo.

"Lakukan itu sebaik mungkin Sengkuni," perintah sang Drestarasta, "Aku tidak ingin ada cela sedikitpun dalam acara itu. Dan itu menjadi tanggungjawabmu sepenuhnya."

"Sendika dawuh kakanda adipati." Jawab Sengkuni sambil minta diri kepada kakak iparnya itu.

Tapi Duryudana muda, putra Adipati Drestarasta merasa enggan mengakui kekuasaan Pandawa.

"Duh paman, lantas bagaimana dengan nasib saya dan adik-adikku para Kurawa?"

"Sabarlah anakku, aku sebagai pamanmu tentu akan banyak berbuat demi kepentingan kalian, "Jawab orang tua itu, "Kau kira pamanmu ini rela menyaksikan itu semua?"

Demikianlah, putra sulung sang Drestarasta itupun bersepakat dengan pamannya untuk menyusun siasat jahat guna menggagalkan dan merebut tahta para Pandawa.

Satu-satunya cara yang mereka gunakan adalah bahwa Bima dan saudara–saudaranya itu harus dilenyapkan.

"Serahkan semua itu pada pamanmu ini, Ngger!" sekali lagi orang tua itu meyakinkan.

Begitulah si julik Sengkuni segera membentuk tim sukses untuk mengegolkan maksudnya.

Salah satu tim yang ia bentuk khusus beranggotakan para pemuda yang ahli meracik bahan peledak.

Tim lain yang juga merupakan tim khusus bertugas untuk mendesain tempat pesta yang megah dan terkesan mewah tetapi terbuat dari bahan–bahan yang mudah terbakar.

"Kalian harus melakukannya sebaik mungkin. Nyawa kalian menjadi taruhannya," gaya bicaranya mengintimidasi, "tapi tentu saja jika berhasil, hadiah yang luar biasa menunggu kalian."

"Ma'af ki Patih, bukankah saat pesta yang direncanakan malam itu banyak kawula alit ikut berdatangan, "sela salah seorang utusan, "korban akan menjadi tak terbilang jumlahnya?"

"Bodoh sekali kau anak muda, "bentak patih Sengkuni, "api akan kita buat di tengah malam saat keadaan sepi. Dan anak-anak Pandhu itu sudah pulas mendengkur karena meminum racikan khusus yang disiapkan oleh orang-orang kita, hehe..."

"Ha..ha..ha.." Dursasana yang senang ugal-ugalan itupun ikut tertawa.

"Hus..! Jangan keras-keras ketawamu bocah sontoloyo."tegur ki patih, "ingat Dur ini hal yang amat RHS."

"Huh, gayamu man.. pakai RHS segala.. hahaha..!"

Sedang Duryudana yang juga ada di tempat itu mengangguk-anggukkan kepala dan memuji rencana licik pamannya itu.

"Kalian tinggal melaksanakan. Ikuti saja rencana pamanku." Kata pemuda itu sambil melototkan matanya.

"Beb..baik raden..!" Sahut anak-anak muda itu setengah ketakutan. Demikianlah, sesuai dengan yang direncanakan pada saat malam penobatan itu terjadilah semuanya. Di tengah hingar bingar dan kesenangan berpesta pora, setelah Dewan Kerajaan kembali ke rumah masing-masing para pandhawa dijamu dengan masakan mewah.

Tentu saja minuman yang diracik khusus itupun tak ketinggalan. Agaknya kemeriahan itu menghilangkan pula kewaspadaan Dewi Kunti dan putra-putranya.

Sama sekali tidak mengira bahwa keramahtamahan dan senyuman manis para Kurawa itu hanyalah kamuflase saja. Sikap santun dan rasa hormat Dursasana maupun adik-adiknya itu hanyalah palsu belaka.

Maka setelah malam menjadi sepi, pesta pora telah usai dan para anak Pandhu tertidur pulas, terjadilah ledakan itu.

"Daaar ..!" Dan sesaat setelah itu apipun tak terelakkan juga.

Kebakaran hebatpun melanda bangunan atau balai yang sekilas nampak megah itu. Para Kurawapun serentak menjauh.

Seperti telah dikomando oleh Sengkuni, maka Duryudana dan adik-adiknya berpura-pura mabuk dan tidur pulas jauh di tepi alun-alun SiGolo-Golo.

"Semua tidur pulas di sini, bawa minuman kalian dan berlagaklah mabuk. Jangan ada yang mendekati kobaran api!" Begitu Duryudana sang sulung itu mengaba-aba.

Tapi ternyata benar kata banyak orang bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Apa hendak dikata, manusia hanya mampu berencana sedang keberhasilan tetap milik Sang Pencipta.

BUAH DARÌ KEBAIKAN

Begitulah, kepura-puraan para Kurawa itu justru telah menghasilkan keberkahan bagi para Pendhawa. Di tengah hiruk pikuk kobaran api yang melanda, mereka yang berpura-pura tidur di tempat agak jauh tidak melihat ada lima orang lelaki dan satu perempuan jelata telah merelakan diri terjun ke tengah prahara.

Keenam orang itu segera menggotong tubuh-tubuh Dewi Kunthi dan anak-anaknya.

"Tak banyak yang bisa kami ceritakan raden," kata para jelata itu setelah para priyagung itu sadar, "tapi semua sudah diatur, ikutilah kemana hewan itu pergi. Ia akan menelusuri lorong yang dapat membuat raden sekalian selamat."

"Lalu mengapa kalian tidak ikut bersama kami, saudaraku?" Tanya Dewi Kunthi.

"Ma'af sang Dewi, kami masih harus menjalankan tugas lainnya."

"Kalo begitu, kami tunggu kehadiran kalian untuk menyusul kami, "lanjut sang Dewi, "Terimakasih atas kemuliaan hati kalian."

"Sebagaimana keikhlasan Sang Dewi saat menolong kami dulu, "sahut yang perempuan "Selamat jalan para ksatriya luhur. Tuhan pasti menolongmu."

Demikianlah para Pandawa dan ibundanya itu melangkah mengikuti seekor binatang diiringi aliran air mata para jelata yang menolongnya. Ternyata kelima lelaki dan wanita jelata itu rela menggantikan posisi tidur para junjungan mereka.

Hari telah menjadi pagi. Sang surya selalu setia menjalankan tugasnya menyembulkan sinanya dari ufuk timur. Dan dengan bermandikan sinar mentari para Kurawa tidak sabar lagi untuk menunggu hasil pekerjaan mereka.

Duryudana dan adik-adiknya sekilas mengembangkan senyum di bibir mereka, saat anak-anak Drestarasta itu menemukan lima sosok mayat pria dan satu wanita.

Merekapun menyimpulkan bahwa mayat–mayat itu adalah lima orang Pandawa, termasuk calon raja Sang Puntadewa dan Ibunda mereka yaitu Dewi Kunti.

Tergopoh-gopoh patih Sengkuni berlarian menuju istana raja.

"Aku harus melaporkan semua kejadian ini. Jangan ada yang menyentuh sedikitpun!" Teriaknya sambil berlari.

Gegerlah semua petinggi kerajaan. Dengan gugupnya Adipati Drestarasta berteriak-terak memanggil istrinya.

"Gendari-gendari, apa benar laporan si Sengkuni adikmu ini, he !?"

"Ma'af Kanda Adipati, hamba melaporkan yang sesungguhnya." Jawab sengkuni.

"Hus, aku tidak tanya kamu. Ayo Gendari tuntunlah aku ke SiGolo-Golo. Aku ingin meyakinkan sendiri keadaan yang sesungguhnya."

Ternyata Dewan Kerajaan sudah lebih dahulu ada di sana. Begawan Bisma melihat enam mayat yang sudah tidak bisa dikenali lagi. Suasana begitu kacaunya, raungan tangisan para kawula alit ditambah suara kenthongan tanda berduka saling bersautan mrnambah ngeri keadaan.

Dua bulan setelah kejadian mengenaskan itu akhirnya Duryudana mengklaim diri sebagai pewaris syah kerajaan Astina, dan atas desakan sang patih dengan alasan yang berbagai macam naka Dewan Kerajaan melantik Duryudana sebagai raja menggantikan Puntadewa.

Namun enam bulan berikutnya, rakyat dan para sesepuh Astina menerima kenyataan yang tak tetduga.

Ternyata para ksatriya Pandawa beserta ibunya itu selamat dari kobaran api, berkat campur tangan Yang Maha Kuasa.

Melalui peran sang penolong yaitu Bathara Ananta Boga yaitu dengan cara membangun terowongan menuju perut bumi, maka gagalah konspirasi jahat para Kurawa.

Ternyata lima mayat yang telah hangus karena termakan api itu tak lain adalah keenam rakyat jelata yang tadi membantu mereka.

Kebaikan hati sang ibu menolong kaum jelata telah berbuah keselamatan bagi anak-anaknya serta masa depan mereka juga.

Rakyat jelata itu telah mati dengan senyuman di bibir mereka, secara ikhlas menerimanya demi kebaikan hidup para junjungannya.

Kenyataan yang seperti tak masuk akal itu dianggap sebagai anugrah oleh rakyat Astina.

Mereka menangis bercampur gembira, bahagia dan amat tetharu atas kembalinya ksatria kebanggaan mereka itu.

Setelah melalui berbagai musyawarah maka Dewan Kerajaan mengambil kebijakan, bahwa para Putra Pandhu itu mendapatkan suatu wilayah yang berupa hutan Wanamarta.

Dari hasil babat hutan inilah Puntadewa dan adik-adiknya membangun sebuah kerajaan yang kelak terkenal dengan nama Amarta atau Ngamarto.

Kerajaan inipun akhirnya juga menjadi sasaran tembak kelicikan patih Sengkuni, yaitu melalui tipu muslihat perjudian yang disebut sebagai Sesukan Dadu.

Tragedi yang mengerikan itu tak pelak menjadi awal dari rangkaian perlombaan politik yang semakin hari semakin rumit di antara kedua saudara, yaitu Kurawa dan Pandawa.

Dan pada puncaknya melahirkan perang besar yang disebut Barata Yudha.

Itulah sekilas tentang cerita "Balai SiGolo-Golo. Semoga bermanfaat. ***



"...Faqsusil-qasasa la'alahum yatafakkarun"
... maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir (mengambil hikmah)(QS. Al-A'raf: 176).

Keterangan:
Pernah kami tayangkan di Kompasiana tgl. 11 September 2018.

Minggu, 29 Desember 2019



PUISI:

NASEHAT SEORANG ISTRI DI SUATU MALAM

Oleh: Ki Guru Rusman



** GUMELARING JAGAD SAK ISINE IKI DICIPTAAKE GUSTI ALLAH AMUNG KANGGO KESEJAHTERAAN UMATE **

Di suatu malam yang sunyi aku bermimpi

Mengajak istri berjalan di antara sawah dan ladang

Seakan ingin keluar dari tempat yang padat dan pepat

Tempat yang sangat menyesakkan nafasku

Dan saat kami menginjakkan kaki di tengah persawahan

Kutengadahkan wajah ke langit, melihat bulan yang temaram

Sehelai-sehelai awan putih hanyut dibawa arus angin yang lembut

Sekali lagi aku menarik nafas dalam-dalam

Bulan itu nampak teramat asing bagiku

Mungkin karena aku terlalu lama melupakan keindahannya

Mengacuhkan pesona langit yang cerah, bintang-bintang

Dan bahkan melupakan apa saja yang dapat memberiku kesegaran

Seperti malam ini...

Angin yang lembut dan daun-daun yang bergerak dibelai olehnya

"Hem ..!" Akhirnya aku berdesah "sungguh mempesona !"

Istriku melangkah lebih cepat dan berjalan di samping

Ia berpaling ke arahku tapi hanya mendapatkan wajahku yang kuyu

Sedang aku masih sibuk mengagumi kesegaran angin malam

Kelembutan sinar bulan, cahaya yang redup kekuning-kuningan

Dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit digaris cakrawala

"ALLAH-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya." (Q.S. Al-Sajdah (32): 4).



WAHAI istriku ...., umurku sudah lebih dari separuh abad

Tetapi aku merasakan tiba-tiba menjadi orang asing di sini

Asing dari alam yang ada di sekitarku

Wanita di sampingku itu mengangguk-anggukkan kepalanya

Mungkin kata kataku itu telah memberi gambaran padanya

Bahwa terjadi suatu pergolakan di dalam dada suaminya

SUAMIKU, mungkin kau merasa asing, tetapi alam yang kau anggap asing ini

Adalah alam yang sehari-hari telah menyelimutimu

Alam ini mengenalmu dengan baik suamiku, sebab kau adalah bagian darinya.

Kau pun telah lahir dari sumber yang sama

Dadaku berdesir mendengar kalimat yang bijaksana itu

Meski batinku berkata "Lancang sekali kau berani menasehati suamimu !"

Tapi tiba-tiba aku sadari bahwa memang alam adalah saudara kandung manusia

Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan,

Matahari dan seluruh isi angkasa ini

Semuanya telah tercipta oleh Sang Maha Pencipta

Menyesal sekali, selama ini aku jarang mengingat sumberku lagi

Yang kuingat sehari-hari adalah nafsu yang menyala-nyala di dalam dadaku

Untuk memusnahkan lawan-lawanku

Membunuh dan menghancurkan, membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata

Tanpa sadar kupandangi wanita di sampingku ini, kuusap wajah dan rambutnya,

Dan kini baru kusadari dia adalah belahan jiwa yang mempesona

Terimakasih istriku...!



"Wa ma khalaqnas-sama'a wal-arḍa wa ma bainahuma la'ibin"

Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan sia-sia (QS. Al-Anbiya:16).

(Juduk puisi ini pernah kami tayangkan di kompasiana tgl. 2 Agustus 2018)

Jumat, 27 Desember 2019

LELAYU (2)



Mengenal beliau secara khusus adalah saat kami sama-sama sebagai diswa di SPG Negeri Tuban, 1977, beliau nge-kos teratur di Sendangharjo Gang II sedang aku sewa kamar beramai-ramai di Kebonsari Gang IV. Ekonomi orang tua menjadi alasan utama untuk berbuat begitu.

Kami saling bertandang silih berganti meski tidak terlalu sering, sebab kebetulan kami berbeda dalam berhobi. Beliau senang membaca buku sedang aku suka jrangjreng-jrangjreng di kediaman Pak Pur (guru kami) di jln Lukman Hakim.

Bulan dan tahun silih berganti dan sang waktupun senantiasa berjalan tak pernah berhenti.

Tak terasa Juni 1980 adalah tahun kelulusan kami, yang kuingat almarhum tetap bertahan ngekost di Tuban untuk meneruskan kuliah di IKIP PGRI.

Sedang aku langsung balik badan pulang kembali ke desa, berbekal gitar sebagai senjata utama merenda masa depan.

Saat juni 1982 aku diantarkannya mendaftar sebagai calon mahasiswa, waktu itu di tagannya sudah ada yamaha L2 Super warna hitam sebagai kebanggaannya, sedang aku masih bertahan menapaki jalan mengumbar lamunan.

Tamat kuliah almarhum kembali ke desa, mutasi sebagai guru SDN Jombok Kecamatan Jatirogo.

Gelar sarjana muda sudah ada di belakang namanya dan berlanjut transfer S1 di IKIP Bojonegoro. Suatu rintisan karir yang luar biasa untuk ukuran guru pas-pasan seperti aku.

Sayang sekali 1988 nasib mengharuskan aku untuk hijrah mutasi ke Jenu berlanjut ke Widang, tut wuri sang istri sebagai guru baru.

Waktu dan keadaan lantas memisahkan kami, cukup lama, sampai akhirnya berkumpul kembali saat 2002 sama-sama bertengger sebagai pengawas sekolah.

Usul demi usul tak jarang ia sampaikan saat aku mendapatkan amanah sebagai pengendali organisasi. Ada yang lewat rapat dan sering pula melalui jaringan pribadi.

Jujur di karier yang baru ini persahabatan kami tidaklah semulus jalan tol Ngawi-Solo. Ibarat benang kering yang terbentang lurus, kadang angin terasa menerpa membuat lingkaran dan gelombang naik turun.

Dan aku menganggap semua itu sebagai irama kehidupan yang normal dan alami. Aku sadar betul, sebagai organisasi kepengawasan tentu tak mungkin bisa menjangkau semua harapan.

DO'A UNTUK SAHABAT

Ternyata di zaman Rasulpun sudah banyak umat yang bertanya tentang keberadaan jiwa. Maka Allah SWT lantas menegaskan:

"Wa yas`alunaka 'anir-ruh, qulir-ruhu min amri rabbi wa ma utitum minal-'ilmi illa qalila."

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah (hai Muhammad), bahwa Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Qs. Al-Isra: 85)

Namun tak pelak tafsir-tafsir tentang roh pun berkembang sedemikian rupa.

Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Qayyim al Jauziy (1292-1350) seorang cendekiawan muslim Palestina, dalam bukunya Ar-Ruh (Alam Roh), bahwa setelah roh berpisah dari badan, ia akan mencari bentuk dan pasangan dengan orang-orang yang memiliki amal yang sama. Mereka kemudian berada di tempat yang sama pula.

Mungkin roh untuk sementara bisa tertahan, ada yang di pintu surga, ada yang di alam kubur, dan ada pula yang tertahan di bumi.

Semua tergantung saat di dunia. Kecuali roh para nabi dan para suhadak yang langsung ditempatkan di surga.

Kata Ibnu Qayyim Roh itu bisa sehat dan bisa sakit, bisa bahagia dan bisa pula menderita. Mereka bisa merasakan kenikmatan atau bahkan siksaan lebih dari apa yang dirasakannya saat masih berada di badan. (https://m.republika.co.id/amp/pfglf3313).

Maka setiap saat setiap hamba disarankan untuk senantiasa berdo'a: "...wa taubatan qoblal maut, wa rahmatan 'indal maut, wa maghfirotan ba'dal maut, wannajata minnanar wal'afwa 'indal hisab.

"Ya Allah.. terimalah tobatku sebelum mati, berikan rahmatMu di saat aku mati dan ampunilah dosaku setelah mati, serta mohon dima'afkan setelah di 'hisab."

Bagi umat yang Allah kabulkan do'anya maka ketika roh hendak meninggalkan dunia, turunlah malaikat dari langit, wajahnya putih seperti matahari. Mereka membawa kafan dan wangi-wangian dari surga.

Para malaikat itu duduk mengitari si mayat, disusul datang pula malaikat maut ‘alaihis salam.

Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.’ Selanjutnya keluarlah roh itu dari jasadnya.

Sejak saat itu terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara, (yaitu): "sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Nah, mengakhiri tulisan ini penulis ingin mengajak semua, mari kita do'akan agar beliau dilapangkan jalannya menuju alam surga. Amiin YRA.

Selamat jalan sahabat, aku percaya engkau telah menyiapkan segalanya, sebagaimana keperkasaanmu saat masih berdiri di tengah-tengah kami.

Kini semakin kusadari betapa sedikitnya yang bisa kuperbuat untukmu, sementara kau telah berbuat banyak bagi kehidupanku. Untuk itu ma'afkanlah aku dan terima kasih atas semuanya.

Berbahagialah di tempatmu yang baru, karena aku yakin pula bahwa Tuhan telah menyiapkan tempat yang terindah untukmu.***

Teriring mijil LELAYU Ki Narto Sabdo (1985):

Layu-layu, Umiring sang kinkin,

Sajroning patunggon, Sung sesanti sang dyah kamuksane,

Nedya anut mring sang guru laki, kang gugur madyaning palugon.

=Sayup-sayup, Bersamaan dengan kesunyian,

Dalam sebuah penantian, menyongsong indahnya kepasrahan jiwa,

Niatku mengikuti takdir, untuk menghadap Tuhan sesuai kodratku.

(Dan seniman besar itupun lantas menghembuskan nafasnya yang terakhir).

Tasikmadu, 27 Desember 2019.

Kamis, 26 Desember 2019

LELAYU

Oleh: Ki Guru Rusman



INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJI'UN. Tiba-tiba saja sore itu, rabu tgl. 25 Desember 2019, menjadi sore yang sangat berduka bagi kita semua.

Saat mana seorang putra terbaik di jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten Tuban, Bapak Drs. Subagyo, M.Pd , telah dipanggil ke Rahmatullah.

Pergi meninggalkan semua yang ia miliki untuk menghadap Sang Kholiq, Sang Penentu Jiwa.

Duka mendalam menyelimuti wajah para Pengawas sekolah se Kabupaten Tuban, betapa tidak, seorang senior yang selama ini menginspirasi perjuangan dunia pengawasan kini telah tiada, menelusuri lelakon baru yang panjang, menjalankan fitrahnya sebagai insan Illahi Robbi sebagaimana kelak semua akan melakoninya pula.

Wa ma kana linafsin an tamuta illa bi`iżnillahi kitabam mu`ajjala.

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (Al-imran: 145).

Hari masih pagi, 26 Desember di ujung tahun 2019, matahari nampak tersenyum malu saat keretaku avanza melaju pelan menyusuri jalanan pantura.

Di sampingku ada nyai ratu yang tengah duduk terdiam menatap ke depan. Entah apa yang dipikirkan dan akupun tak mau mengganggunya pula.

Perjalanan dari Tuban ke kota kecilku Jatirogo pagi ini menjadi perjalanan yang sangat istimewa, perjalanan bertenda biru, karena niatku adalah memberikan penghormatan terakhir kepada sang inspirator.

Alunan lembut Ebiet G. Ade sengaja aku poleskan untuk menghias seasana ruang mobil yang tidak terlalu lebar itu. Sederet kalimat indah sempat melintas di telinga.

Kata Ebiet: "Kematian hanyalah tidur panjang, maka mimpi indahlah engkau..."

Sesaat aku tercenung mendengar tema kalimat yang sangat mengena di pagi yang redup ini.

Seperti kata Plato (427-347 SM), jiwa itu selalu abadi sekalipun raga sudah rusak terkubur sepi. Dan jiwa akan diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menjelajahi alam keabadiannnya.

Tapi kata batinku yang lain, jika benar kematian hanyalah tidur panjang itu artinya jiwa sedang dalam penantian. Menanti kepastian tentang jalan yang harus ditelusurinya lagi. Lantas kemana lagi ia akan pergi?

Oooh, betapa teganya Tuhan memisahkan jiwa dari raga, kalau hanya sekedar untuk menanti. Di saat-saat orang tengah menikmati puncak keduniaannya, mengapa untuk sementara tidak Tuhan biarkan saja berkumpul dengan badan? Wallahu a'lam.

SEKILAS TENTANG BELIAU

Perkenalanku dengan almarhum diawali saat kami sama-sama menjalani pendidikan di SDN Wotsogo II, sebuah SD yang cukup terkemuka di Jatirogo saat itu.

Lepas dari SD (1973) kami lantas melanjutkan di SMP Negeri I di kota yang sama pula, dan lulus tiga tahun kemudian (1976).

Catatan sedikit tentang almarhum adalah beliau berasal dari Desa Wangi (6 km) sebelah barat kota yang lantas mengikuti seorang paman, Kepala Sekolah senior dan terkenal di wilayah kami dan tinggal di Desa Wotsogo Karang Kulon.

Tak banyak yang bisa diceritakan di sini, karena kami jarang bersosialisasi secara khusus.

Ingatan di masa ini hanyalah kesukaanku menelusuri malam, berbalut sarung, bertemu dengan anjing liar di antara jalan dan pasar.

Sementara almarhum bak anak yang terurus rapi cara hidupnya, di istana sang ayah di sudut desa.

Bersambung

Rabu, 25 Desember 2019

MEMAYU HAYUNING BAWANA





Oleh: Ki Guru Rusman

Indah nian judul tulisan ini, butiran mutiara peninggalan leluhur Jawa yang adi luhung. Lalu, apakah maknanya?

"Gawe apike donya, gawe ayune donya, gawe tentreme donyo, buat perdamaian dunia. Ora seneng gawe kekacauan, ora seneng gawe kisruh, ora seneng dadi propokator, dsb," (Drs. Ahmad Usdianto, M.Pd., 2019).

Untuk mengupas lebih jauh tentang makna filosofis judul di atas penulis ingin memulainya dari arti konsep "Bawana".

Konsep bawana dapat dipandang secara fisik maupun psikhis. Secara fisik bawana adalah dunia nyata dengan segala isinya.

Sedangkan secara psikhis bawana berarti alam setelah mati atau kita sering menyebutnya sebagai alam akhirat.

Sedangkan makna "hayuning" berasal dari kata ayu yang artinya cantik.

Hidup dengan cantik atau sejahtera baik di bawana yang sekarang maupun bawana akhirat.

Semua itu hanya bisa dicapai kalau kita berusaha untuk membuat ayu (memayu).

Membuat ayu baik dalam bentuk laku diri dan laku sosial (pergaulan).

Jadi inti dari kalimat "memayu hayuning bawana" adalah: membuat kehidupan sesama menjadi sejahtera dunia dan akhirat.

Memayu Hayuning Bawana serasi pula untuk dihayati dalam spektrum budaya, yakni budaya Jawa.

Sedang Budaya Jawa sendiri selamanya tak akan bisa lepas dari tatanan adi luhung, ya orangnya, ya seninya, ya bahasanya, semua bagaikan pernik-pernik mutu manikam yang tak habis-habis memancarkan keindahan.

Orang jawa tidak akan bisa hidup tanpa budaya, utamanya tradisi. Dus, dengan demikian yang namanya keindahan selalu mewarnai sendi-sendi peri kehidupannya.

Tak perduli punya uang atau tidak, atau besuk mau makan apa, uh..! masa bodoh, yang penting happy.

Itulah aslinya wong Jawa, maka jangan heran kalau dulu para pendahulu kita lekat dengan stempel: "sak gegem merem, sak bathok ngorok". (Hasil sedikitpun bisa tidur, apalagi banyak malah pulas).

Nah, bagi orang pesisir lor nilai estetika itu telah teraktualisasi dalam wujud cakrukan ala Tuban, ialah "duaribu satu centhak." Nyaman, murah, tentram.

Ooh.., betapa indahnya ambyur hidup dengan orang jawa, maka tidak mustahil kalau dulu konon seorang Rafles yang Gubernur di masa penjajahan Inggis itu hampir saja memutuskan untuk tinggal di jawa selamanya.

Agaknya batin dan kalbunya benar-benar tertambat dengan matram budaya kita.

Kembali pada makna butiran kata yang sarat dengan kearifan, yaitu memayu hayuning bawana.

Konsep bawana sebenarnya juga berdimensi sebagai ruang budaya (space culture). Orang jawa menyebutnya sebagai "jagad rame", ialah dunia dengan segala hiruk pikuknya ini.

Pada dinensi lain bawana juga merupakan spirit budaya (spiritual culture) ialah "jagad jiwa" tempat dimana kita kelak ngundhuh wohing pakarti.

Antara dua spektrum pandang itu jelas ada keterhubungannya. Apabila saat di jagad rame kita rajin menanam padi maka pada jagad jiwa kelak akan makan beras atau nasi.

Sebaliknya siapa yang di sini menabur angin, di sana kelak akan menuai badai.

"fa may ya'mal miṡqāla żarratin khairay yarah".
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Az-Zalzalah:7)


Keterangan:
Artikel ini sebelumnya telah kami tayangkan di kompasiana tanggal: 11 januari 219.

Bersambung ke Judul berikut:
SEMAR MEJANG KHAYANGAN

Senin, 23 Desember 2019

KEUTAMAAN DEWI KUNTI



Ditulis Oleh:

KI GURU RUSMAN

Dewi Kunthi memang termasuk tokoh pewayangan yang penting untuk disimak, terutama bagi kaum ibu. Kehidupannya bagaikan pohon kebahagiaan bagi anak-anaknya. Itulah prinsip hidup ibunda ksatria Pandhawa ini.

Tetapi, siapakah sebenarnya Dewi Kunthi itu? Wanita ini waktu kecilnya bernawa Dewi Prita, adalah putri kandung Prabu Basukunthi, seorang raja di Kerajaan Mandura, yang juga merupakan kakek Baladewa dan Sri Kresna.

Dewi Prita diangkat sebagai anak oleh pamannya, yaitu Prabu Kuntiboja yang konon tidak memiliki keturunan. Sejak itulah namanya berubah menjadi Dewi Kunthi.

Setelah dewasa Dewi Kunthi dipersunting oleh Prabu Pandhudewanata melalui sebuah sayembara perang tandhing, jadilah ia sebagai permaisuri Kerajaan Astinapura.

Tetapi sungguh malang nasib wanita ini, saat kebahagiaan menyelimuti hidupnya dan di tengah kesibukannya mengasuh ketiga anaknya (Puntadewa, Wrekudara dan Janaka) dia harus menerima kenyataan pahit karena suaminya menikah lagi.

Selang beberapa bulan sang Prabu gugur bersamaan dengan wafatnya si istri muda (Dewi Madrim), dan meninggalkan dua anak kembar, yaitu Nangkula dan Sahadewa.

Dewi Kunthi merupakan tokoh wanita utama yang perlu diteladani oleh kaum ibu. Khususnya mangenai pengabdian dan pengorbanannya terhadap keluarga dan anak-anaknya. Meskipun tidak dipungkiri ia termasuk tokoh yang kontroversial dan memiliki banyak kekurangan.

Tulisan ini sengaja hanya bermaksud untuk menonjolkan pengabdiannya bagi keluarga dan anak-anaknya dan bukan bermaksud mengupas filsafat hidup secara menyeluruh.

Penulis tidak mempersoalkan sifat maupun keberadaan wanita ini secara utuh yang menjadikannya sebagai tokoh dengan tanggapan pro dan kontra.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Dewi Kunthi adalah ibu dari para Pandhawa, yaitu sekelompok ksatria utama dalam pewayangan. Tentunya sifat dan sikap yang mengagumkan dalam diri para ksatria Pandawa tidak terlepas dari keteladanan ibunya yang membimbing mereka sejak kecil hingga dewasa.

Di dalam statusnya sebagai seorang janda dia mampu tampil sebagai ibu sekaligucs ayah bagi anak-anaknya. Bahkan juga bagi dua anak tirinya yang telah dianggap sebagai buah hatinya pula.

Di mata para Pandhawa, Kunthi bagaikan sumber semangat dan kekuatan dalam menghadapi cobaan yang tak henti-hentinya. Dalam pembawaannya yang tenang dan bersahaja Kunthi mampu berperan sebagai sentral perjuangan para ksatria utama.

Itulah sebabnya Sri Kresna (penasehat Pandhawa) selalu lebih dahulu meminta pendapat sang dewi sebelum dia memilih dan menentukan kebijakan untuk menuntun langkah perjuangan bagi para ksatria utama ini.

BEBERAPA KISAH

Diceritakan pada saat Pandhawa sengaja dijebak Kurawa dalam bale sigala-gala, lautan api akan membakar tubuh mereka. Berkat petunjuk Yang Maha Kuasa mereka berhasil lolos dengan memasuki hutan belantara. Saat itu si kembar Nangkula dan Sahadewa menderita lapar dan haus yang luar biasa, badannya lemas tak berdaya. Maka Dewi Kunthi segera memerintahkan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi dan air.

Ketika mereka minum bersama ternyata air yang didapatkan Ajuna dari sebuah sendang itu beracun, sehingga Dewi Kunthi dan anak-anaknya mati semua. Namun berkat kesaktian Kiai Semar mereka bisa dihidupkan semua.

Pada kisah lain saat Pandawa sedang giat membangun kerajaan Amarta, nampak Bima (Wrekudara) mengalami kegelisahan yang luar biasa. Setiap pohon besar yang dia tebang mendadak tegak kembali tanpa mengerti siapa yang mengaturnya.Sementara di hadapannya tergolek lemah ibu dan saudara-saudaranya karena kelelahan dan kelaparan.

Bima tampak merenung sambil menjaga ibu dan saudaranya yang tengah tertidur. Akhirnya tanpa bisa ditahan Bima yang perkasa itu menangis. Pria perkasa dengan dada yang bidang itu terisak-isak, badannya yang berotot terguncang-guncang tanpa dapat ditahan.

Munculah Dewi Arimbi yang sejak tadi mengintip dari balik semak-semak. Arimbi ingin menunjukkan simpatinya kepada pria yang selama ini menghiasi mimpi-mimpinya. Wanita yang sakti ini segera membantu kesulitan Bima, namun sayang ketika ia mengutarakan cintanya Bima menolak karena Dewi Arimbi berwajah buruk.

Mengetahui hal itu Dewi Kunti segera mengingatkan Bima bahwa dalam berkeluarga kecantikan bukanlah ukuran satu-satunya. Dewi Arimbi adalah wanita yang serasi bagi Bima karena wataknya yang pemberani, jujur, setia, berbakti dan sangat sayang terhadap suami.

Bima tetap menolak dan hanya mau mengawini Dewi Arimbi jika wajahnya berubah menjadi wanita cantik. Dewi Kunti yang merasa harus bisa membahagiakan anaknya akhirnya berdo'a memohon kepada sang Pencipta.

Ternyata dia adalah wanita yang benar-benar dikasihi Tuhan. Terbukti dengan dikabulkannya permintaan itu. Tak seberapa lama jadilah Dewi Arimbi yang semula memiliki wajah buruk berubah menjadi wanita yang berparas cantik.

Raut mukanya bersinar bagaikan bulan di saat purnama. Akhirnya Bima pun menerima dengan keikhlasan hatinya. Kelak Bima dan Arimbi dapat membentuk sebuah keluarga yang diidamkan dan menurunkan seorang ksatria utama, yaitu Raden Gatotkaca.

Itulah sekilas pengorbanan seorang ibu dalam lakon pewayangan yang difigurkan oleh Dewi Kunthi. Sekali lagi wanita ini memiliki kelebihan dan kekurangannya, sebagaimana di dalam dunia nyata, semua orang pasti tidak ada yang sempurna.

Namun sebagai seorang Ibu Dewi Kunthi patut menjadi tauladan.

Wayang memang hanyalah buah imajinasi para penciptanya, yaitu orang-orang pilihan yang merupakan leluhur kita. Namun semua figure dan lelakon yang ada di dalamnya sarat dengan nilai-nilai serta contoh untuk kehidupan manusia.

Pendek kata Dewi Kunthi adalah cahaya kehidupan bagi putra-putranya, dia adalah lambang seorang ibu yang sabar dan bijaksana, juga seorang wanita yang penuh karisma.

Dia bagaikan air yang tenang mengalir, hal itu ditunjukan pada sikapnya yang tidak gugup saat mencerna segala persoalan yang melingkupi kehidupan anak-anaknya.

Dia bagaikan angin yang sejuk berhembus, terbuktikan dengan kata-katanya yang bisa menenteramkan hati saat berbicara. Bahkan dia juga bagaikan matahari atau rembulan, terlihat dari sinarnya yang cerah memancar saat dia hadir di antara kedukaan batin para putranya.

Di akhir tulisan ini penulis ingin mengajak para orang tua terutama kaum ibu untuk dapat meneladani sifat dan sikap Dewi Kunthi bagi keluarga dan anak-anaknya. Tanpa mengesampingkan peran besar seorang ayah, setiap Ibu memang harus hadir dalam segala kesulitan putra-putrinya.

SEBAGAI SEORANG IBU

Entah mengapa, ibu seperti ditakdirkan untuk selalu menjadi cahaya bagi roda kehidupan anak-anaknya. Setiap ibu, siapapun dia, pasti memahami keluhan hati putra-putrinya, meskipun sang buah hati tidak mengatakannya.

Jika para Pandhawa dulu selalu menghadapi cobaan dan tantangan dalam memberantas angkara murka, maka tantangan anak-anak kita pada jaman sekarang tentu berbeda dalam bentuk dan fungsinya.

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tantangan nyata bagi anak-anak pada jaman sekarang, termasuk di dalamya kesulitan belajar. Setiap ibu tidak boleh menyerah meskipun ia sudah menunjuk seorang pembimbing khusus (guru les).

Setidaknya kehadirannya merupakan tiang penyangga bagi semangat belajar putra-putrinya.

Nah, akankah kita tega membiarkan kesulitan anak-anak kita tanpa pendamping seorang ibu? Jangan biarkan anak-anak kita berjalan sendiri, mengarungi semua rintangan belajar, meskipun para guru di sekolah selalu siap bersama mereka.

Mungkin karena keterbatasan waktu di sekolah dan kendala psikologis lainnya, anak-anak kita tetap harus merindukan kehadiran ibu dalam kegiatan belajarnya.

Mari kita berlomba menjadi Dewi Kunthi bagi anak-anak kita, sekarang, besuk atau bahkan kapanpun dia mengalami kesulitan. Semoga dengan tulisan ini setidaknya dapat menjadi gambaran bagi para ibu dalam mendampingi para putra-putrinya. Jangan lupa diperkuat dengan do'a karena kita yakin bahwa segala keberhasilan adalah atas ijin Allah swt. semata.

Selamat berjuang untuk kebahagiaan anak-anak kita di masa mendatang.**.



Keterangan :

Penulis adalah Praktisi Pendidikan tinggal di Kabupaten Tuban.

Sabtu, 14 Desember 2019

KETIKA RAJA MAJAPAHIT MATI DI TANGAN TABIBNYA (3)


Oleh: Ki Guru Rusman


Raja ini hanyalah sumbu yang sinarnya redup, sedang kerajaan ini membutuhkan matahari.

"Karena sudah mendapat restu ibu Gayatri, maka aku harus segera memulai," katanya dalam hati, "dan satu-satunya yang bisa membantuku adalah tabib muda itu."

Demikianlah, pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah memperkenalkan istri Ra Tanca kepada sang prabu.

Maka ibarat ikan yang masuk dalam wuwu, Jayanegara yang melihat kemolekan wanita yang konon berdarah cina itu sudah pasti tak akan mampu keluar lagi.

Demikianlah, nasib tragis seorang raja yang tak mampu mengambil hikmah sejarah.

Sejarah bukanlah sekedar kisah tentang raja dan kerajaannya, bukan semata catatan bisu yang tanpa arti.

Sejarah justru perikemanusiaan itu sendiri, pelajaran yang sarat dengan nilai dan norma kehidupan pada dimensi waktu yang beda.

Dalam agama Islam, pelajaran sejarah bahkan memiliki posisi yang istimewa.

Allah SWT sendiri memerintahkan Muhammad SAW beserta umatnya untuk banyak belajar dari sejarah.

Itulah sebabnya Al-Qur’an Nur Kharim banyak berisi tentang sejarah para nabi.

Dimulai dari Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, sampai dengan Nabi Isa AS.

Itupun Allah SWT masih harus menegaskan-Nya lagi:

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. (Hûd:120).

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu, 13 Desember 2019.

KETIKA RAJA MAJAPAHIT MATI DI TANGAN TABIBNYA (2)


Oleh: Ki Guru Rusman



Kelemahan terbesar dari Prabu Jayanegara adalah cara dia memperlakukan wanita. Raja ini senang mengumbar hawa nafsunya. Selalu kembang kempis hidungnya jika melihat wanita cantik.

Bahkan adik tirinya sendiri Dyah Dyah Gitarja (Tribuwana) dan Dyah Wiyat dikejar-kejar untuk dijadikan istri. Untunglah hal itu segera diketahui oleh ibu suri.

Alhasil, nafsu birahi yang tak terkendali itulah yang lantas mengantarkannya ke gerbang kematian, ketika pada suatu malam istri Ra Tanca direnggutnya pula.

Tanpa menunggu lama, dendam segera membara di dada sang tabib. Kebetulan suatu saat Ra Tanca berkesempatan mengoperasi bisul di tubuh sang raja.

Maka api dendam itulah yang menuntun tekadnya untuk menancapkan pisau pada sasaran yang salah, yaitu ke ulu hati.

Matilah raja itu dengan cara yang memalukan. Tapi Ra Tanca sendiri pada saat yang sama juga mati di tangan Gajah Mada.

BEBERAPA VERSI

Ada beberapa versi tentang terjadinya pembunuhanan Jayanegara itu.

Satu versi mengatakan bahwa raja memang dibunuh oleh tabibnya karena dendam atas pemerkosaan istrinya.

Sedang versi lain mengatakan bahwa semua itu hanyalah skenario Gajah Mada.

Menurut penulis dua-duanya benar, bahkan saling melengkapi. Gajah Mada yang seorang visioner besar sekaligus ahli dalam berstrategi berkeyakinan Jayanegara tak akan mampu membesarkan Majapahit.

(Bersambung)

KETIKA RAJA MAJAPAHIT MATI DI TANGAN TABIBNYA (1)


Oleh: Ki Guru Rusman


Bumi gonjang-ganjing,wukir moyag-mayig, sindung riwut, mobal geni kawah candra-dimuka, linebur semburat, satemah nuwuhaken kang GARA-GARA !

Dan kejadian dasyat itu kembali menggegerkan kalangan istana Majapahit. Jeritan para wanita dan hiruk pikuk para pelayan memberikan tanda telah terjadi peristiwa tragis di dalam istana (1328 M).

Tepatnya di dalam kamar palereman Prabu Jayanegara yang tidak lain adalah raja kedua Kerajaan Majapahit. Ada orang terbunuh di dalam kamar yang amat megah dan indah itu, dan ia bukan orang lain melainkan justru sang raja sendiri.

Terbunuh di tempat tidurnya dalam keadaan sia-sia adalah hukuman terberat dalam sejarah anak manusia, apalagi seorang raja. Sangat berbeda jika ia harus mati di medan laga dalam membela negerinya.

Andai peristiwa kedua ini yang terjadi maka ia adalah bak seorangpahlawan atau ksatriya sejati yang berusaha mengharumkan nama bangsa dan negaranya.

Bunga harum akan mengiringi pemakamannya, disertai tangisan sedih para kawula dan rakyatnya.

Sayang sekali yang terjadi justru sebaliknya. Seorang raja yang muda harus mengalami nasib yang amat nista.

Terbunuh dengan sebuah tusukan di tubuhnya, dan belakangan diketahui bahwa yang melakukan perbuatan nekat itu adalah Ra Tanca, tabib pribadinya sendiri.

Orang yang selama ini telah paduka percaya untuk menentukan hitam putih kesehatannya, itu berarti nyawa sang raja setiap saat berada di tangan tabib muda itu.

Tapi, mengapa peristiwa itu harus terjadi? Padahal tak ada rumusnya semut mati di atas tumpukan gula. Atau orang tergelincir oleh kerikil kecil yang berasal dari genggamannya.

People must reflect on the way of life of their predecessors. (Orang harus merenungkan cara hidup para pendahulu mereka).

Itu berarti ada kesalahan besar dalam kehidupan sang raja, ia tidak belajar dari sejarah, enggan mengamati lelakon para leluhurnya dan malas mencermati problema manusia yang pernah ada.

Padahal sejarah adalah jurisprodence kehidupan. Sejarah adalah kaca benggala, cermin hayati dan sekaligus guru sejati yang mampu membuat manusia menghindar dari lobang yang teramat dalam.

SIAPAKAH PRABU JAYANEGARA

Dari rekam jejaknya kita ketahui bahwa Prabu Jayanegara yang waktu mudanya bernama raden Kalagemet adalah putra Raden Wijaya patutan dengan garwa selir.

Ibunya bernama Dara Petak, yakni putri boyongan dari tanah Melayu (Sumatera). Rupanya Tuhan memberikan anugrah yang luar biasa dalam hidupnya, ialah Ramandanya tidak memiliki putra lain selain dia.

Memang ada dua putri yang lahir dari istrinya yang keempat, yaitu Dyah Gayatri. Sedangkan dari permaisuri (Tribuaneswari) sama sekali tidak mempunyai keturunan.

Begitu pula dengan istri kedua (Mahadewi atau Narendra Duhita) dan istri ketiga (Pradnya Paramita). Timbul perdebatan sengit di antara Dewan Kerajaan, dan lagi-lagi rengekan istri termuda selalu yang memenangkan.

Politik di atas kasur yang dijalankan Dyah Dara Petak terbukti sangat jitu. Tapi bukankah Kalagemet hanya putra garwa selir? Satu-satunya jalan adalah menjadikan anak itu sebagai putra angkat sang permaisuri.

Maka sejak itulah anak garwa selir itu telah terkukuhkan sebagai Putra Mahkota, dan ketika Raden Wijaya wafat (1309 M), iapun menggantikannya sebagai raja



(Bersambung)

Senin, 09 Desember 2019

CERPEN:

MENGAIS RIZKI TAMBAHAN (3)

Oleh: Ki Guru Rusman



"Kok sepi ..!?" Suaraku terloncat tak sengaja.

"Biar aku yang tanya pada warung sebelah pak Guru," kata Gus Malik.

Aku terdiam, masih sibuk dengan jantungku yang riuh berdentang.

Namun belum sempat pria itu melangkahkan kaki, ketika dari balik pintu kantor TK keluar seorang wanita.Rupanya ia pengasuh TK yang kemarin ikut datang ke rumah.

"Lho pak, tadi ibu kepala TK ke Jatirogo. Katanya mau menemui tukang foto. Kan karnaval ditunda besuk."

"Oo.., begitu bu ya!?" Sahutku seraya bertanya.

"Ya pak, besuk jam dan tempatnya sama."

Duh, Tuhan .. ! Lemas jadinya tubuhku, perasaan tak berpapasan dengan cewek secuilpun tadi.

Begitulah, tiba-tiba saja mendung tebal menyelimuti langit di sekitar sini, bahkan seperti mau runtuh saja rasanya.

"Tidak apa pak Guru, besuk kita ke sini lagi," kata Gus Malik saat melihat rambutku sudah mau rontok "tenang saja Pak Guru, belanda masih jauh."

Kami berdua tak menunggu lama, langsung saja kami balik kanan grak. Bahkan setiba di rumah Gus Malikpun aku langsung sropot berpamitan.

"Pak Guru, ini kopinya masih hangat."

"Matur nuwun gus, aku tergesa ini."

"E'eh, nanti istriku mbesengut terus kalau begini," kata Gus Malik setengah berlari mengambil gelas berisi kopi.

"Jangan kagetan Pak Guru, nanti akan diganti oleh Allah dengan rejeki yang lebih banyak."

"Ah kamu senangnya menghibur saja gus," kataku sambil nyengklang sepeda.

"Betul Pak Guruu, fainna ma'al usri yusro innama'al usri yusro.”

"Ya gus. Terimakasih dan ma'af aku merepotkan ya?"

"O tidak pak Guruu.., kau selalu di hatikuu, hua..haha..!"

Suara ketawa itu meraung-raung seperti singa jantan memanggil betinanya.

Kurang ajar betul si singa bego itu, tahu kalo aku prihatin masih sempatnya tertawa-tawa juga.

Kakiku terus tak henti-henti mengayuh sepeda meskipun jalanan menurun tajam. Kali ini cuma satu yang kuinginkan, ialah secepatnya tiba di rumah, mandi dan terus tidur.

Tapi agaknya belum bisa, malah dadaku hampir meledak saat istriku menyodorkan sejumlah uang disertai tulisan di kertas.

"Bu Guru TK tadi ke sini, ada DP untuk karnaval besuk dan pesan satu acara lagi. Itu ditulis di kertas."

Secarik kertas kuamati ternyata pesannya: "Ma'af pak, minggu sore mohon berkenan memotret acara rapat PKK di balai desa.."

“Alhamdulillah ya Robbi,”kata batinku sambil duduk di kursi.

Tapi sesaat kemudian bayangan Gus Malik berputar-putar di otakku. Ternyata orang ini bukan amatiran kayak aku, seperti ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa kuceritakan.

Kalau begitu nanti setelah mandi aku harus ke sana lagi, kata batinku. Aku harus bertemu dengan Gus Malik lagi.

Tapi, alamaak..! Setiba di sana ternyata bukan Gus Malik yang ada, melainkan istrinya. Rejeki atau bilahi ini, batinku menggerutu.

"Mangga Pak Guru, pinarak. Kak Malik sedang di jobong," katanya pelan.

"Oalah.., jobong mana bu tempatnya?" tanyaku agak berdeguban.

"Di sebelah sini pak. Tapi mungkin sebentar lagi datang," suaranya lembut sekali. Asli cantik betul, di mana Gus Malik menemukan mutiara ini, batinku.

"Pak Guru lupa nggih sama saya?"

Agak gelalapan aku mendengar pertanyaan itu.

"Oh ya nggak lah, penjenengan kan istrinya Gus Malik atau Pak Maliki."

"Maksudnya, saya kan muridnya Pak Guru."

Sesaat aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Antara percaya dan tidak, juga kaget bercampur heran, semua menjadi satu.

Sedikit gemetaran aku bertanya: "Penjenengan dulu sekolah dimana?"

"Di SD Besowo pak, saya sumiati yang dulu pernah bapak antarkan waktu lomba menyanyi."

"Daar...!" suara yang halus itu bagaikan halilintar di siang hari.

"Oh, yang pulangnya jatuh saat bapak bonceng sepeda itu?"

"Inggih Pak Guru."

"Beb.. baiklah, maaf aku saat ini agak tergesa ,”sahutku sekenanya, “nanti tolong sampaikan salamku untuk Gus Malik!."

Tanpa menunggu jawaban aku langsung nggloyor pergi dan nyengklang sepeda pulang ke rumah.

Sialan betul Gus Malik itu, semua telah dirampasnya.

Mendadak kepalaku terasa penat terkena pukulan telak di Gunung Dhuri.***

Tasikmadu, 7 Desember 2019.

CERPEN: MENGAIS RIZKI TAMBAHAN (2)

Oleh: Ki Guru Rusman



"Lho pak guru kok begitu sih. Katanya seduluran, masih ingat kan?”desaknya sambil membuat kode tangan bersalaman.

“Ya tentu, tapi ."

“Baiklah, jam berapa pak guru harus sudah sampai di sana?"

"Paling tidak ya jam dua-lah."

"Nah, aku jamin sebelum jam itu pak guru pasti sudah sampai ke tempat itu."

Penasaran juga aku melihat kesungguhannya. Apalagi orang ini selalu berkata jujur, setidaknya itulah yang kukenal selama ini.

Maka dengan setengah menggerutu aku terpaksa berjalan di belakangnya.

Rumahnya memang tak terlalu jauh, namun waktu yang singkat itu tak urung sempat membuatku terlena ke masa silam, yaitu saat aku mengenalnya untuk pertama kali.

Lima tahun yang lalu orang ini bekerja sebagai mandor pasir di dekat makam mbah Punjul. Kira-kira 5 km sebelah utara Jatirogo.

Karena tempat mengajarku tidak jauh dari situ maka seringkali kami berdua bertemu, ngobrol-ngobrol sambil menunggu angkutan umum lewat.

Dari sinilah kuketahui kalau pria yang berasal dari Desa Wangi ini jarang sekali pulang. Hobinya tidur di tempat sepi, termasuk berdo’a meminta keberkahan Allah SWT di makam mbah Punjul.

“Daripada di rumah ya sepi saja, pak guru.”

“Lho, memangnya Pak Maliki belum beristri toh?"

“Hah, siapa yang mau sama mandor kotor kayak gini, pak guru?”

“Mbok jangan begitu bang Malik,”kataku berseloroh “Siapa tahu nanti ada bidadari turun di makam ini dan melamar sampean.”

“Huah ..ha..ha, pak guru ini ada-ada saja.”

Tiga tahun berlalu dan kami tidak lagi pernah bertemu, kebetulan tempatku mengajar bergeser ke sekolah lain.

Tapi kalau memang sudah jodoh hendak kemana, tahu-tahu suatu saat kami berpapasan, yaitu saat aku sedang asyik menapaki jalan bersama sepeda jengkiku.

Seorang pria berteriak memanggilku, rupanya Gus Malik dengan honda astreanya.

Katanya sekarang tinggal dengan istrinya di Gunung Dhuri, meneruskan hobi lamanya mengarungi malam menelusuri keheningan.

“Neng .., sini neng. Ini ada tamu!”teriakan Gus Malik membuyarkan lamunanku.

Seorang perempuan muda tiba-tiba keluar dari dalam rumah. Sambil membungkuk hormat ia menjulurkan tangannya padaku.

Sesaat aku tercenung melihat wanita ini. Setengah tak percaya, betulkah ini istri Gus Malik? Gila. Kurang ajar betul si Kumbokarno ini bisa mendapatkan bidadari seindah ini.

“Ini Pak Guru, teman lamaku di Ngepon dulu. Rumahnya Sogo Lor kali,”kata Gus Malik memperkenalkan kami “ayo langsung bikinkan kopi sana, biar pak guru lebih bersemangat.”

“Oh, tidak gus. Maaf aku benar-benar tergesa saat ini,”pintaku kepada pria ini. Dan mataku sedikit mencuri pandang pada wajah yang putih bersinar itu. Edan, sekali lagi aku mengumpat.

Betul-betul edan Gus Malik ini, istrinya muda sekali dan cantik lagi.

Ketika wedang kopi itu benar-benar keluar aku hanya sempat menyeruput satu kali. Aku segera berpamitan.

"Biarkan tetap di sini, nanti kita minum lagi pak guru," kata Gus Malik, "Sekarang ayo aku antarkan!"

"E'eh, tak usah merepotkan gus."

"Ayo pak guru, 15 menit nyampai," sahut Gus Malik sambil menyiapkan astrea 800 miliknya.

Sialan bener orang ini, mentang-mentang punya sepeda motor baru, bidadari bahenol dan kulihat rumahnyapun asri juga.

Darimana raksasa ini bisa memperoleh semuanya. Akupun terpaksa manut saja ketika lelaki itu sudah menstarter motornya. Dan ternyata benar, 15 menit persis sampai di TK yang dituju.

Tapi betapa terkejutnya aku saat kulihat sekolah itu bagaikan rumah sunyi yang tak berpenghuni. Jangankan manusia, binatangpun tak ada yang keluyuran di situ.

Hanya bendera merah-putih dan umbul-umbul yang ditiup angin kencang, menimbulkan suara berkelebatan.

Sesaat aku hanya bisa berdiri, menata pikiran dan hati yang berdeguban. Apa mungkin sudah berangkat ke lapangan ya?

Tapi saat tadi melewati lapangan perasaan sepi juga tuh.

(Bersambung)

CERPEN:

MENGAIS RIZKI TAMBAHAN (1)


Oleh: Ki Guru Rusman.



Berkumis tebal melintang, berbadan tinggi besar, bermata lebar dan bersuara menggelegar.

Sekilas ia adalah seorang lelaki yang kasar dan mengerikan. Apalagi kalau tertawa, suaranya meledak-ledak kayak mercon rentengan. "Dar dar daaar.. huaha haha.!"

Maka siapapun pasti merinding menyaksikan gerak gerik lelaki itu.
Dialah Pak Maliki atau orang sekitar biasa memanggilnya Gus Malik.

Pria berusia sekitar 40 tahun yang tinggal di lereng bukit di selatan Desa Wotsogo Kecamatan Jatirogo (tumpah darah gue, hehe..!).

Itulah Gunung Dhuri yang tak lain adalah gunung kecil yang mungkin lebih pas disebut sebagai dataran tinggi atau bukit.

Pada sekitar tahun enampuluh limaan gunung ini kering kerontang karena air menjadi barang langka. Jangankan tumbuhan, belalangpun bagaikan enggan mampir ke sini.

Bahkan saat rambutku masih dicukur kuncung, kabarnya lokasi ini menjadi pusat mayat-mayat yang dikubur secara masal.

Hih..hi..hiii, tak usahlah kluyuran ke situ, mendengar nama gunung ini saja kuncungku sudah berdiri saat itu.

Tapi ketika tahun delapanpuluh limaan keadaan sudah mulai berubah. Gunung Dhuri bukan lagi raksasa yang mengerikan, bukan lagi neraka bagi siapapun yang lewat, melainkan tempat yang indah dengan suasana alam yang mengagumkan.

Alkisah, waktu itu tahun 1986, tepatnya bulan agustus, ya aku masih ingat betul. Sehabis pulang dari mengajar aku kayuh sepedah jengki berwarna merah dari Jatirogo menuju arah selatan. Kebetulan ada undangan dari seorang kepala TK di Desa Siromukti untuk mengambil gambar atau foto pada acara karnaval anak-anak.

Sebagai tukang foto amatiran aku merasa ini adalah anugrah yang luar biasa, sebab dengan hanya beraksi di satu tempat paling tidak dua atau tiga rol film akan habis.

Tinggal klak-klik-klak-klik sambil berkata-kata ramah dan sedikit merapikan dandanan anak-anak.

Yach ..., mungkin tiga atau empat jam-lah, maka rejeki sudah akan mengisi dompet hitamku, tak perlu
harus mutar-muter, tawar sana tawar sini seperti biasanya.

Jangan heran kalau saat itu beberapa kali aku tersenyum sendiri, membayangkan berapa
laba yang akan mengalir ke kantongku.

Tentu saja hatikupun bernyanyi-nyanyi meskipun harus bermandi keringat mengayuh sepeda dengan nafas yang ngos-ngosan, tak apalah.

Sepeda sengaja aku tuntun pelan ketika jalan sudah mulai menanjak. Rupanya sudah hampir melewati kawasan yang penuh misteri itu.

Tapi aku terkejut ketika sudah hampir sampai ke puncak tiba-tiba pandangan mataku terdampar pada seorang lelaki yang bagiku tidak asing lagi.

Oalah ..., Gus Malik !

“Ha..ha..ha, pak guru !”Belum-belum ia sudah berteriak dengan tertawa ngakaknya.

Kali ini ia mengenakan pakaian hitam-hitam disertai udeng di kepalanya. Serasi sekali dengan blegernya yang mirip Raden Kumbokarno itu.

“Assalamu’alaikum ...!”aku memulai menyapa.

"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ..!”

"Kok sendiri gus, sedang nunggu siapa?" tanyaku sambil menyandarkan sepeda.

"Ha..ha..ha, gimana pak guru ini, ya nunggu sampean ta!"

"Ah, bisa saja Gus Malik ini. Memangnya kok tahu kalau aku mau lewat."

"Ha..ha..ha., kalau pak guru tanya begitu kan malah jadi aneh."

Aku tersenyum mendengar kalimat itu.

"Wah, ya ya, tentu aku mengerti kalau pasukanmu ada di seluruh negeri," sahutku sambil kuacungkan jempol kanan.

"Nah gitu dong pak guru," katanya sambil mendekatiku "sudah pak guru, sekarang ayo mampir sebentar ke rumahku."

"Eit .., enak saja. Memangnya aku tidak punya kerjaan apa."

"Tenang pak guru, aku jamin tak akan ketinggalan," desaknya "lagi pula nampaknya rejekimu bukan hari ini."

Mataku terbelalak mendengar ucapan si Kumbokarna itu. Tangannya yang besar yang sudah ia julurkan untuk bersalaman denganku aku kipatkan. Setengah membentak kupelototi dia.

"Jangan sembarangan kamu gus, kamu kira bisa seenaknya memainkan perasaanku?"

"Sabar pak guru, ayolah mampir sebentar nanti aku beri gambaran seutuhnya."

"Nggak ah..!"

(Bersambung)

Rabu, 04 Desember 2019

ANAK-ANAK KITA DAN MIMPI BESARNYA


Oleh:  KI GURU RUSMAN



"The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams"

"Masa depan menjadi milik mereka yang percaya pada keindahan mimpi-mimpinya"

(Eleanor Roosevelt, First Lady of the United States).

Untaian kalimat yang diukir oleh seorang wanita berpendirian keras, dialah Eleanor Roosevelt, ibu negara sekaligus idola wanita di Negeri Paman Sam (1933-1945).

***

NUN JAUH DI SEBUAH DESA seorang guru bertanya kepada murid-muridnya: "Anak-anak, apa cita-cita kalian kalau sudah besar?"

Maka bibir-bibir mungil itupun segera berceloteh menjawab pertanyaan gurunya.

"Aku ingin menjadi dokter bu guruu !"
"Aku ingin menjadi pilot."
"Kalau aku tentu ingin jadi polisi dong."

Kontan dalam sekejab bu guru segera diberondong oleh puluhan jawaban lain yang tentu berbeda-beda.

Ada yang ingin menjadi guru, menjadi perawat, menjadi pedagang, tentara, bahkan mungkin pula ada yang ingin menjadi presiden.

Semua itu terucap atas pikiran mereka yang sederhana selaras dengan tingkat berpikirnya yang kanak-kanak.

Tapi, salahkan jawaban para lentera kecil itu? Adakah yang keliru dari khayalan tentang masa depan mereka? Tentu tidak.

Meskipun ucapan itu terkesan sekenanya dan akan berubah saat mereka sudah besar nanti, tapi tetap saja tidak ada yang salah.

Memang ketika sudah dewasa cita-cita mereka akan mengerucut pada bidang-bidang tertentu seiring degan pengalaman, minat dan bakatnya.

Misalnya menjadi guru atau dosen, arsitek, peneliti, perawat dan sebagainya.

SEBENARNYA impian anak bukanlah omong kosong atau bualan semata. Ucapan mereka tentu didasarkan atas pengalaman pribadi, selaras dengan yang mereka lihat, yang mereka dengar, lalu menjadi buah pikiran atau bayangan.

Karena itu kita sebagai pembimbing tidak boleh menanggapinya secara negatif apalagi cuwek.

Orang tua dan guru tidak boleh bersikap apatis terhadap buah hatinya yang memiliki mimpi-mimpi besar.

Sungguh kurang bijaksana mengabaikan khayalan anak-anak kita sebab lewat mimpi-mimpi itulah motivasi hidup setiap orang kelak akan terbangun.

Lagi pula sudah banyak terbukti bahwa kesuksesan itu umumnya berawal dari mimpi yang besar.

Berasal dari imajinasi atau khayalan yang terkoneksi dengan pengalaman serta kuatnya motivasi untuk memperjuangkan.

Seorang komponis dunia, Ludwig Van Beethoven (1770-1827), konon berhasil menciptakan karya-karya besarnya justru setelah dia kehilangan pendengarannya. Hal itu karena dorongan dari mimpi-mimpinya.

Charles Huffam Dickens (1812-1870) penulis Inggris terhebat pada zaman Victoria adalah berasal dari keluarga miskin yang tak henti-hentinya berjuang mewujudkan impiannya.

Thomas Alfa Edison (1847-1931) dengan gagahnya pernah mengatakan bahwa:

Jenius hanyalah satu persen dari inspirasi, sedang sembilan puluh sembilan persen lainnya adalah perpirasi.

Meski awalnya pernyataan itu membuat kontraversi, namun ia berhasil mempertanggungjawabkan dengan gemilang, yaitu ketika dari tangannya berhasil tercipta lampu listrik.

Dari kisah orang-orang hebat itu nampak bahwa para orang tua dan guru dapat mengambil peran untuk memperkaya pengalaman dan membantu bagi tumbuhnya motivasi dalam diri mereka.

Memang benar kebanyakan orang tua baru mendukung cita-cita anaknya saat mereka menginjak dewasa. Namun bahwa anak perlu mimpi sejak masa kecilnya juga merupakan hak mereka.

Tanpa mimpi anak-anak bagaikan tidak memiliki bayangan untuk dirinya, mereka seperti tak memiliki identitas, laksana pohon yang layu sebelum berkembang.

Karena itulah membangun mimpi bagi anak-anak merupakan hal yang sangat penting.

Mimpi atau cita-cita bagi anak-anak adalah fungsi yang sangat krusial bagi kehidupannya.

PALING TIDAK ada dua fungsi mimpi bagi anak, antara lain:

1) Mimpi atau cita-cita dapat membentuk tujuan hidup bagi anak-anak kita. Anak akan lebih menyadari apa dan kemana arah yang akan dicapainya.

Bagaikan melangkah dengan tegak, menatap ke depan dan menyongsong masa-masa indahnya.

Kita sebagai guru atau orang tua harus selalu siap membantu. Ibarat menanam pohon maka tanaman yang sedang berkembang pesat harus selalu dirawat dengan cara melengkapi sarana pra sarananya.

2) Mimpi atau cita-cita juga dapat berfungsi sebagai panduan untuk menentukan langkah hidup mereka. Anak akan membangun langkah dari tahap demi tahap bagaikan menapaki anak tangga menuju cita-cita mereka.

Sebaliknya mereka yang tak memiliki mimpi akan terombang-ambing bagaikan daun kering yang tertiup angin.

Langkah-langkahnya menjadi tak menentu, berjalan dengan gontai, tubuhnya limbung seolah-olah takut tersandung.***

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu-Palang.


Keterangan:

Penulis adalah praktisi pendidikan, tinggal di Kabupaten Tuban.




Senin, 02 Desember 2019

PERNIKAHAN UNIK KELUARGA SUNAN KALIJAGA


Oleh : Ki Guru Rusman


Alhamdulillahilladzi an’amanaa bini’matil iimaan wal-islaam, wa ziyadatan fil 'ilmi. Shadaqallahul Azhim.

Sungguh karunia yang luar biasa bagi umat manusia dimana Allah SWT telah berkenan menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

SEBAGAIMANA diceritakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, suatu saat Allah berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Maka Malaikat makhluk yang paling taat itupun terkejut dan kali ini mencoba memberanikan diri untuk bertanya: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi? Manusia akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?"

Maka Allah-pun sesuai Ar-Rahman-Ar-Rahim-Nya menjawab dengan lembut: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S Al Baqarah : 30).

Selanjutnya Sang Khaliq itu lantas menciptakan "Adam" dan sekaligus menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Malaikatpun segera menunduk hormat kepada manusia pertama itu, namun sebaliknya iblis mangkir dari perintah Allah. Apalagi saat kemudian diciptakan-Nya pula "Hawa" sebagai wanita pasangan Adam, iblispun berniat untuk tak henti-hentinya menggoda manusia.

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya, manusia yang dilengkapi dengan akal budi dan nafsu angkara itu benar-benar Allah jadikan sebagai khalifah di dunia.

Diawali dari keberhasilan Iblis menggoda Adam dan Hawa untuk makan buah khuldi yang sebelumnya telah dilarang oleh Allah. Atas pelanggaran itu maka Allah-pun menghukum keduanya, kemudian mengirimkan mereka ke atas bumi.

Maka sejak itulah semakin terbukti apa yang dikhawatirkan para Malaikat. Bumi menjadi ajang tingkah polah manusia dengan segala perangainya. Topeng-topeng dengan aneka ekspresi telah mengisi hiruk pikuk kehidupan, merubah keaslian bumi dengan letusan-letusan perilaku yang beragam.

PANGGUNG SANDIWARA

Dunia ini panggung sandiwara, begitu sang Roker sejati Ahmad Albar dengan kelompok God Bless-nya pernah berlagu di era 80-an. Agaknya kali ini kita boleh mengiakan atau setidaknya sedikit menganggukkan kepala terhadap lirik lagu ini.

Coba ingat, anda pernah mendengar kisah Sangkuriang? Pemuda sakti dari tanah Pasundan yang ditakdirkan bercinta dengan ibunya? Ternyata kisah melegenda semacam itu tidak hanya dimiliki oleh leluhur kita.

Orang Yunani kuno juga punya kisah Dewa Zeus yang mengawini Dewi Hera yang merupakan kakak kandungnya sendiri. Di Mesir ada Dewa Osiris yang juga menikah dengan saudaranya sendiri, yakni Dewi Isis. Tragisnya legenda yang terakhir ini bahkan mengilhami raja Ptolemeus II untuk menikahi Elsinoe yang merupakan adik kandungnya.

Pada era pertengahan, dunia kian banyak dikejutkan oleh kisah nyata pernikahan sedarah yang justru melibatkan tokoh-tokoh ternama.  Misalnya Thomas Jefferson (mantan Presiden AS) yang menikah dengan sepupunya Martha Wayles. Albert Einstein melakukan pernikahan kedua dengan Elsa Lowenthaal, Ratu Elizabeth II dengan Pangeran Philip yang tak lain adalah putra pamannya, dan tak ketinggalan pula Mao Zedong (bapak pendiri RRC) dengan kerabat dekatnya Lou Yuxiu.

Meskipun tidak dipungkiri bahwa kisah-kisah di atas merupakan kejadian nyata namun sebagian besar pernikahan mereka dilatarbelakangi oleh motif-motif terselubung yang pada intinya mengarah pada satu ambisi yang disebut orang Jawa sebagai: kursi-rejeki-putri.

Nah, sekali lagi benar kan sindiran si krebo Ahmad Albar? Dunia adalah panggung sandiwara, dimana setiap orang akan mengambil peran yang harus ia mainkan. Ada peran wajar namun ada pula peran yang berpura-pura alias kurang ajar.

Pernikahan sekerabat yang dikenal pula dengan sebutan perkawinan "silang dalam" atau istilah baratnya inteelt / incest, ternyata banyak sekali terjadi sejak zaman kuno sampai sekarang, tidak terkecuali di kalangan raja-raja Nuswantara.

Jika kita menyisir sejarah raja-raja Majapahit terdapat Raden Wijaya yang menikahi putri-putri Prabu Kertanegara (Singosari) yang merupakan sepupunya sendiri, Tri Buwana Tungga Dhewi dengan Cakradara, Hayam Wuruk bahkan dengan saudara seayah beda ibu yaitu Sri Sudewi.

Tujuan utama dari perkawinan sekerabat ini adalah untuk meredam perang saudara atau dengan kata lain untuk melanggengkan kekuasaan (The political marriage).

Pada zaman Islam raja yang dikenal paling rajin melakukan perkawinan politik adalah Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Konon agar ia memiliki pengaruh kuat di daerah pesisir utara maka Sultan Pajang atau Mas Karebet itu banyak menikahkan putrinya dengan para raja kecil di pesisir laut Jawa, seperti Sultan Pangiri dari Demak, Raden Wiryakrama dari Surabaya, Raden Pratanu dari Madura, dan tak ketinggalan pula Raden Pemalat dari Kadipaten Tuban.

Mereka adalah para menantu Sultan Pajang yang amat setia membela mertuanya saat terjadi pemberontakan oleh Mas Ngabehi Loring Pasar alias Sutawijaya dari Mataram (1582).

ADIK SUNAN KALIJAGA

Tetapi apa yang dilakukan oleh Sultan Pajang itu agaknya diilhami pula olah rentetan peristiwa di tanah kelahiran gurunya, yakni Sunan Kalijaga. Konon jauh sebelum Mas Karebet menjadi raja peristiwa unik telah terjadi di Kadipaten Tuban sekitar tahun 1460 M.

Timbul perdebatan sengit dalam pertemuan agung setelah wafatnya Adipati Wilatikta. Diawali dari penolakan Raden Syaid untuk menggantikan ayahnya sebagai Adipati dengan alasan ingin mengabdikan diri di Kasultanan Demak.

Karuan penolakan Raden Syaid itu telah memusingkan para sesepuh kadipaten dan berpotensi menimbulkan perang saudara.

Sebenarnya putra Wilatikta itu bukannya tidak menyadari bahwa ketidakmauannya duduk di kursi adipati justru dapat memperuncing perselisihan antar kerabat kadipaten, namun sebagai bekas berandal Lokajaya yang telah menemukan jalan Allah dia yakin sekali pasti ada cara untuk meredam pertikaian itu.

Dan ternyata benar, para tetua kadipaten telah menemukan kata sepakat yang akan mampu menjadi penerang bagi kesulitan itu.
Memang kecil kemungkinan adiknya Dewi Sari mau memegang kursi pemerintahan, di samping ia seorang perempuan juga selama ini Dinda Sari tidak pernah tertarik pada urusan negara.

Tetapi di lingkungan dalem kadipaten ini ada seorang putra Arya Dikara (adipati ke-6) yang tentu darah Ranggalawe yang juga memiliki hak atas Kadipaten Tuban ini. Beliau adalah Pangeran Ngraseh yang merupakan adik Nyi Arya Teja atau ibu Raden Wilatikta. Dengan demikian Pangeran Ngraseh adalah kakek paman (mbah lek) dari Raden Syaid.

Menurut para tetua kadipaten untuk menyelamatkan negeri Tuban ini jalan satu-satunya adalah dengan menjodohkan Pangeran Ngraseh dengan Nini Dewi Sari dan sekaligus menobatkan  Kanjeng Ngraseh ke kursi Adipati.

Tentu saja semula keputusan itu ditentang oleh sang Dewi dan ibunya. Mana mungkin anakku dewi menikah dengan pamanku yang berarti juga kakek dari temanten putri? Sungguh kenyataan yang akan sulit diterima.

Namun berbeda dengan ibu dan adiknya, Raden Syaid atau Sunan Kalijaga setuju dan bisa menerima pendapat para sesepuh dalem itu. Bahkan sunan muda itu sempat memuji pendapat para tetua itu sebagai keputusan yang sangat bijaksana.

Kontan dengan bergegas pula Raden Syaid suwan kepada ibunya yang saat itu tengah bersedih ditemani oleh adik perempuannya. Bukan Sunan Kalijaga namanya kalau tidak mampu meluluhkan hati kedua perempuan yang sangat ia sayangi itu.

Jangankan ibu dan adiknya, Sang Brawijaya V saja lilih penggalih dan berkenan masuk Islam juga atas belaian kata dari sunan muda ini.

Maka demikianlah pada tahun 1461 M di halaman istana Kadipaten Tuban terjadi pernikahan agung antara Dewi Sari (adik Sunan Kalijaga) dengan Pangeran Ngraseh yang tidak lain adalah kakek pamannya sendiri.

Sehari setelah itu Pangeran Ngraseh dinobatkan sebagai Adipati Tuban ke-9 menggantikan keponakannya ialah Raden Wilatikta.

Dewi Sari yang merupakan putri Wilatikta dinobatkan pula sebagai garwa permaisuri. Dari perkawinan itu telah lahir seorang putra yang gagah dan tampan yang diberi nama Raden Gegilang yang kelak menggantikan ayahandanya sebagai adipati Tuban.***

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu-Palang-Tuban