-

Rusmannulis

Senin, 14 Desember 2020

DUA ALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Oleh: RUSMAN

“Lamun yitna kayitnan kang miyatani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono"

 
(Serat Wredatama, 67, KGPAA Sri Mangkunegara IV).

Artinya:

 
Saat kita dalam kehati-hatian penuh, maka yang nampak adalah diri pribadi seutuhnya.

 
Begitulah raden Wrekudara yang tak lain adalah Bima, pada suatu hari telah diperintahkan oleh sang guru yakni Guru Drona untuk mencari tirta amerta ke dasar samodra. 

Menurut Guru Drona tirta amerta adalah air kehidupan, siapapun yang memperolehnya ia akan memikiki hakekat hidup seutuhnya. 

Setiap manusia memiliki dua alam, ialah mikrokosmos yang tak lain adalah dunia dalam diri pribadi, sedang alam satunya adalah makrokosmos yakni alam semesta dengan segala isinya.

 "Dua-duanya ada di dalam air kesucian itu ngger. Dan di antara semua muridku hanyalah kau Bima yang akan mampu mendapatkannya." Kata Guru Drona. 

 "Baik guru, apapun perintahmu aku akan lakukan." Jawab si murid tanpa bertanya lagi.

 Maka berangkatlah Bima ke dasar samodra. Sebenarnya ini hanyalah suatu siasat yang dibuat Drona atas permintaan kurawa agar Bima mengalami mala petaka. 

Jebakan yang pertama telah dibuat namun tak mampu mencelakakan panengah Pandawa itu. Bima telah ditugaskan Drona untuk mengambil air kesucian di sebuah goa di puncak gunung Candradimuka. 

Namun berkat pengawalan Anoman maka kakak Arjuna itu bisa selamat. Namun kini Guru Drona telah membuat penjerat baru, ialah agar Bima mencari air amerta itu ke dasar lautan. 

Bima adalah lambang kejujuran, dan orang jujur selalu di sisi Tuhan. Maka tanpa prasangka apapun satriya tinggi besar itu segera menuruti perintah gurunya. 

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, namun Bima belum muncul juga. Menangislah hati Drona, yang ada hanyalah penyesalan nengapa dia begitu tega terhadap muridnya yang sangat setia kepadanya itu.

 Pikir punya pikir akhirnya Drona pun bertekad untuk menyusul Bima ke dalam lautan. Tekadnya hanya satu, menolong Bima meskipun harus berkorban nyawa sekalipun. 

Demikianlah ketika dua orang itu sudah sekian lama tak kunjung kembali, maka pendhawa dan kurawa pun membuat kemah di tepi pantai. 

Puntadewa dan adik-adiknya tak senggang sedikitpun selalu berdoa agar Bima dan Drona keduanya dalam keadaan selamat (dan akhirnya dikabulkan). 

Sedangkan Duryudana dan adiknya tak henti-hentinya menangis dan berteriak memanggil nama Drona agar segera kembali. Tetapi ternyata di dasar samodra Bima yang lugu dan jujur itu dilindungi oleh Tuhan.

 Setelah melalui berbagai ujian dan rintangan Bima justru memperoleh kemuliaan. 

Sekali lagi: Lamun yitna kayitnan kang miyatani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono" Itulah gambaran yang telah dialami oleh Bima saat berada di dasar samodra.

 Dalam keadaan antara hidup dan mati di mana Bima mengalami berbagai ujian, maka yang ada hanyalah tekad untuk menjalankan perintah sang Guru. 

Maka di antara batas dua alam itu Bima justru menemukan kebenaran sejati. Bima telah menemukan jati dirinya, yaitu sesosok bima dalam bentuk keramat dan kecil.

 Dialah Dewa Ruci yang tidak lain adalah intisari Bima sendiri. Dewa Ruci adalah Bima dalam bentuk kecil (Bima Kunthing). 

Dewa Ruci adalah Bima di pintu kesadaran manusiawi. Dewa Ruci adalah saripati dari Bima sendiri yang muncul dalam kepasarahan total kepada Sang Maha Pencipta. 

Alam Barzakh Sebenarnya alam yang dijalani Bima itu telah diajarkan pula oleh Ibnu Arabi, seorang sufi yang amat terkenal di dunia Islam. 

Beliau menyebutnya sebagai alam imajinal atau alam barzakh (antara). Alam antara dunia dan akhirat, antara materi dan ruhaniah. 

Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Arabi Al-Hasmi atau dikenal dengan nama Ibnu Arabi (1165-1240M) merupakan ulama besar di dunia Islam. 

Beliau menjelaskan pula bahwa sifat alam ini masih merupakan campuran antara materi dan ruhaniah. Meskipun begitu sifat alam ini kedudukannya lebih tinggi dari alam keduniawian. 

 Sementara itu Plato telah menguraikannya pula jauh sebelum manusia tahu akan sejarahnya. Plato adalah seorang filosof Yunani (427- 347 SM), dia berpendapat bahwa semua jiwa manusia pada hakekatnya merindukan kegaiban.

 Dunia inilah yang pada intinya akan dicapai oleh siapapun. Tetapi manusia akan selalu menghadapi hambatannya. Mereka sering salah dalam mengambil jalan, acap gagal dalam mencapai kebaikan.

 Itulah sebabnya baik Plato maupun Ibnu Arabi menasehatkan agar manusia selalu berhati-hati, jangan sampai tergelincir ke bawah sadarnya dan kehilangan keseimbangan jiwani. 

Dalam cerita pewayangan misalnya, hilangnya keseimbangan jiwa itu pernah dialami oleh dua tokoh sakti, ialah Prabu Arjuna Sasrabahu dan Ramabargawa. 

Meskipun konon keduanya sempat dititisi jiwa Wisnu, namun mereka menjadi tergelincir karena keangkuhannya sendiri. 

Prabu Arjuna Sasrabahu yang amat sakti itu menjadi gila karena ditinggal mati oleh permaisurinya karena ulah Rahwana. 

Maka hidup sang raja itu selanjutnya bagaikan layang-layang putus talinya. Sementara Ramabargawa atau Ramaparasu mengalami degradasi mental dan menganggap bahwa hakekat hidupnya adalah justru kematian itu sendiri, sebab baginya kematian adalah kebaktian yang paling sempurna. 

Syahdan, pada suatu hari dalam pengembaraannya Arjuna Sasrabahu yang mantan raja agung Maespati itu tiba-tiba perjalanannya terhalang oleh sesosok tubuh yang kekar, tinggi besar dan hanya memakai cawat seperti manusia purba. 

Meski demikian ternyata dari tubuhnya telah memancar sinar yang cemerlang. Di tengah kekagumannya itulah Arjuna Sasrabahu tanpa sadar berkata : 

"kini aku menemukan Wisnu". 

Sebaliknya si purba Ramabargawa yang juga melihat cahaya terang dari tubuh Arjuna Sasrabahu iapum berkata:

 "Aku telah bertemu dengan siapa yang kucari, ialah kau Wisnu". 

Setelah kedua-duanya saling berpandangan, maka terjadilah dialog: 

"Hai, bukankah engkau Wisnu? Tolonglah aku, binasakan aku," ujar Arjuna Sasrabahu. 

Ramabargawa menjawab: "jangan menggigau, engkaulah yang wisnu. Hayo binasakan aku, lemparkan senjata cakra itu."

 Agaknya kedua sosok itu sama-sama merindukan kematiannya. Karena dua-duanya adalah wisnu yang keadaan samar maka yang bisa membinasakan mereka haruslah wisnu juga. 

Kewisnuan Arjuna Sasrabahu telah redub karena akan sirna, sedang si purba Ramabargowo kewisnuannya baru akan mesanggrah. 

Maka terjadilah pergulatan yang amat seru di antara kedua orang sakti itu. Prabu Arjuna adalah raja yang pernah mengalahlkan Rahwana, bahkan si Dasamuka itu telah dihukumnya dengan cara mencincang tubuhnya dan menyeret dengan kereta kerajaan. 

Sedangkan di pihak lain Ramabargawa telah berhasil membunuh semua ksatria yang dijumpainya karena dendamnya atas perbuatan nista Raden Citrarata kepada ibunya. 

Namun perang tanding antara kedua satriya sakti itu telah membuat raja Maespati Prabu Arjuna Sasrabahu terbunuh.

 Sepeninggal Arjuna Sasrabahu, maka Ramabargowo menerima keutuhan wisnunya. Akhirnya dia memilih untuk menjadi pertapa di tempat yang belum pernah diinjak manusia. 

Tapi bagi pertapa sakti ini roda kehidupan ternyata harus tetap berputar, apalagi sejak seorang lelaki telah menemukan tempatnya. Tidak lain adalah Raden Dewa Brata pangeran Astina yang akhirnya menjadi muridnya pula. 

Dewa Brata ini kelak dikenal pula dengan nama Begawan Bisma, yaitu pewaris asli Kerajaan Gajahoya atau Liman Benawi atau Astina. 

Jadi pelajaran yang dapat kita petik dari uraian di atas adalah bahwa manusia tidak bisa hidup sempurna. 

Agar dapat mencapai kebaikan penuh maka pertama ia harus “tarlen mung pribadinipun” yang artinya sering berintrospeksi, mengaca, atau mengenal diri sendiri. “Man arafa nafsahu arafa rabbahu”. 

Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya. 

Kedua ia harus pandai pula mengendalikan hawa nafsunya demi kebaikan sesama. Banyak mengekang kemauan dan mengutamakan keikhlasan. 

Jika manusia masih banyak kemauannya maka ia akan menemukan kekecewaannya. 

Jika ia banyak kekecewaannya maka ia akan terbelenggu kedewasaannya, dan jika ia tak mencapai kedewasaannya maka manusia akan dikuasai hawa nafsunya. 

Demikian semoga berguna.*** 

Keterangan: 

Penulis adalah pengawas sekolah senior di Kabupaten Tuban.