-

Rusmannulis

Minggu, 15 Agustus 2021

DASAR NURDIN SI SONTOLOYO

Cerita Anak-Anak :

Oleh: Rus Rusman


Tidak ada yang menyangka kalau langit yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Siang itu mendung tebal menyelimuti udara kota Tuban, yaitu kota kecil di pantai utara Pulau Jawa. Kota tempat tinggal Dona dan Doni.  

Hari masih siang ketika hujan mulai turun. Kilat disertai suara petir menyambar-nyambar bagaikan seekor naga sedang mencari mangsa. Benar-benar cuaca yang sulit diduga, seperti sulitnya PR matematika yang baru saja kami kerjakan, pikir Dona. Oh ya Dona dan Doni sama-sama duduk di kelas 3 SD. Mereka adalah saudara sepupu atau saudara misan. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu. Mereka sedang berlibur di rumah nenek yang tinggal di sebuah desa di selatan kota.

Ketika hujan sudah reda kedua anak ini segera berpamitan, takut kalau nanti tia-tiba hujan lagi. 

”Hati-hati di jalan !” 

”Ya nek”, jawab keduanya sambil mencium tangan nenek.

Keduanya lantas menaiki sepeda agak tergesa-gesa. Dona di depan dan Doni di belakang sambil membawa tas sekolah mereka. Ketika hampir memasuki kota tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seorang anak laki-laki. 

“Hai, kalian dari mana ?”

Agaknya dia adalah Nurdin teman sekelasnya, yang kebetulan habis bermain sepak bola dengan teman-temannya. Kontan Dona menghentikan ayunan sepedanya.

”Kami dari rumah nenek’, jawab Doni.

”Mengapa kalian membawa tas sekolah, habis belajar ya ?”

”Ya, tadi sambil mengerjakan PR. Bukankah kata Bu Guru besuk harus dikumpulkan PR nya ?”

Kontan wajah Nurdin menjadi pucat. Rupanya dia lupa bahwa besuk PR matematika harus dikumpulkan. Sedangkan dia biasanya sering kesulitan mengerjakan soal matematika. Bahkan Bu Anik guru mereka sering memarahinya karena sering salah saat mengerjakan di depan. Bagaimana ini ? Pikirnya dengan wajah kecut.

Dasar Nurdin anak nakal yang akalnya banyak, dia segera mengajak kedua temannya itu mampir sebentar ke rumah pamannya yang kebetulan agak dekat dengan jalan itu.

”Tidak ah, hujan mau datang lagi. Kami harus segera sampai rumah”.

”Don, bukankah kamu ingin main playstation di komputer pamanku?” desak Nurdin ”Kebetulan paman punya komputer baru ”sebentar saja ayo !”

Karena Doni sudah melangkah maka terpaksa Dona ikut juga. Ternyata benar, Pak Yudi paman Nurdin baru saja membeli seperangkat komputer yang kebetulan di dalamnya ada beberapa jenis game.

Karuan saja kedua anak itu asyik bermain, melupakan hujan yang sebentar akan turun lagi. Di tengah keasyikan Dona dan Doni memainkan gagang staker itu, tiba-tiba Nurdin bangkit.

”Kalian tunggu di sini ya, aku pinjam buku PR nya sebentar. Nanti sore aku kembalikan ke rumahmu”.

Betapa terperanjatnya kedua anak itu, tanpa menunggu jawaban mereka, Nurdin langsung membawa lari tas sekolah Doni.

”He, jangan aku mau pulang”.

”Tidak lama, kalian main saja di sini”, jawab Nurdin sambil berlari.

”Jangan Din ! Ayo Dona kita kejar dia”, 

Tidak ada pilihan lain bagi Doni kecuali mengejar si anak bengal itu. Dia takut nanti ketahuan Bu Guru dan dia yang kena marah. Dona pun segera mengikuti Doni sambil mengayuh sepedanya.

”Tadi sudah kuperingatkan, Nurdin itu anak gila. Kamu sih yang mau saja”, gerutu Dona.

”Aku tak menyangka.”

Begitulah Nurdin si anak gila itu lari dengan cepatnya melewati gang-gang sempit di antara rumah-rumah penduduk. Tentu saja Dona dan Doni yang mengejar sambil menggayuh sepeda tidak bisa mengimbangi kelincahannya. Mereka kesulitan meliuk-liuk di antara lorong-lorong sempit. Belum lagi seringkali ada orang lewat sehingga terpaksa kedua kakak beradik itu mengurangi kecepatannya.

”Gila .., gila benar si Nurdin itu,” teriak Dona sambil menghentikan sepedanya. Di belakangnya terlihat Doni yang juga berhenti di sampingnya. 

”Ayo kita ke rumahnya,” ajak Dona.

”Tidak mungkin dia pulang, ini bukan jalan menuju rumahnya.” Jawab Doni.

”Lantas mau kemana si anak gila itu ?”

”Tak tahulah, besuk kita ceritakan apa adanya kepada bu guru.” Gerutu Doni lagi.

”Tapi nanti kita sendiri yang kena marah bu guru. Kemarin sudah diingatkan harus dikerjakan sendiri.” Keluh Dona pula.

”Ayo kita kaporkan ke pamannya, biar nanti kita dibantu paman Nurdin.” ajak Doni.

”Ya, itu ide yang bagus. Ayo kita kembali.”

Maka dengan terpaksa kedua kakak beradik itu kembali lagi ke rumah paman Nurdin.

Tapi belum sempat mereka masuk ke pintu rumah, tiba-tiba si anak gila itu sudah berada di situ sambil tersenyum-senyum.

”Darimana kalian, he ?” tanya Nurdin.

”He, kamu anak bandel. Mana bukuku?” bentak Dona.

”Sudah kubilang kan? Aku Cuma pinjam sebentar,” jawab Nurdin sambil tersenyum ”Ini aku kembalikan.”

Seperti orang yang tak merasa bersalah, Nurdin mengajak mereka bermain game lagi.

”Din, kamu foto kopi ya PR ku. Awas aku laporkan bu guru kalo pekerjaanmu sama dengan punyaku.” ancam Dona.

”Ayo kita pulang saja, jangan hiraukan lagi si anak bengal ini. Nanti kita pusing sendiri kak.” ajak Doni lagi.

Si Nurdin diam mendengar ejekan Doni itu. Dia hanya memandang kedua temannya itu sambil tersenyum-senyum saja tanpa merasa sakit hati.

”Terimakasih kawan atas pinjaman bukunya ya. Besuk pasti aku juga bisa mengumpulkan PR ku.” kata Nurdin seperti tak merasa bersalah. 

Akhirnya Dona dan Doni cepat-cepat menggayuh sepedanya pulang kembali ke rumah. Mereka ingin segera sampai ke rumah karena hujan sudah mulai turun. Dasar Nurdin si anak gila, pikirnya.

”Ada apa Nurdin, kok terdengar ramai sekali?”

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar orang bertanya. Agaknya Pak Yudi paman Nurdin yang baru keluar dari kamar. Rupanya beliau yang tadi sedang istirahat agak terganggu karena suara ribut-ribut.

”Oh nggak paman, hanya guyon sedikit saja dengan teman Nurdin yang tadi mencari Nurdin ke sini,” jawab Nurdin setengah berbohong.

”Hayo Nurdin, jangan berbohong lagi. Kau kira paman tidak mendengar sejak dari tadi kalian berbicara?”

Tentu saja wajah si anak bengal itu mendadak menjadi pucat. Rupanya paman Yudi mengetahui apa yang telah terjadi. Ah, terus bagaimana ini?

”Nurdin, berkatalah sejujurnya pada pamanmu ini. Ingat, anak yang suka berbohong pasti tidak akan disayang oleh Tuhan,” berkata Pak Yudi sambil duduk di ruang tamu. Melihat keponakannya merasa kebingungan, orang tua itu mencoba tersenyum.

”Cobalah ke sini cah bagus, ayo sini nak duduk bersama paman!”

Mau tidak mau Nurdin segera melangkah mendekati pamannya. Iapun duduk di kursi yang ada di samping pamannya.

”Kenapa wajahmu muram? Anak laki-laki tidak boleh mudah menangis. Harus kuat menghadapi kesulitan. Itu si Tatak anaknya pak dhe Karno yang rumahnya di tepi jalan raya itu, kau tahu kan?”

”Ya paman,” jawab Nurdin sambil menunduk.

”Dulu waktu kecilnya juga persis seperti kamu ini. Kalau ada PR pasti terlambat mengerjakan, senangnya hanya bermain ke sana ke mari. Pak dhe Karno itu cerita sama paman. Nah kemarin waktu kelulusan, dia berhasil mencapai nilai terbaik di SD-nya. Tatak menerima piagam khusus dari bapak Kepala Sekolahnya. Coba kalau kau bisa begitu, alangkah senangnya ibumu. Kau ingin seperti Mas Tatak atau tidak?”

”Ya, paman,” jawab Nurdin lagi sambil menganggukkan kepala.

”Nah kalau begitu kau harus belajar bersungguh-sungguh. Harus rajin belajar. Bermain itu tentu boleh, tapi kewajibannya, tugas-tugasnya, harus dipenuhi juga. Kau mau Nurdin?”

”Ya, paman.”

”Kau mau berjanji pada paman?”

”Ya, paman. Saya berjanji.”

”Bagus, ini baru keponakan paman. Jangan menangis, paman percaya kepadamu,” kata paman Yudi sambil mengelus rambut keponakannya.

”Tidak apa-apa sayang, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Tentu saja dia harus berani memperbaiki kesalahannya itu.”

Nurdin si anak bengal itu semakin sesenggukkan di samping pamannya. Nampak sekali ia menyesal atas perbuatannya.

”Coba sekarang kamu tunjukkan pada paman apa yang sudah kamu foto kopi dari buku temanmu tadi.”

Sambil masih meneteskan air mata, Nurdin melangkah mengambil kertas yang tadi ia dapatkan dari buku si Dona. Lalu ia serahkan kepada pamannya. Nampak paman Yudi mengangguk-angguk sambil tersenyum.

”Kamu juga mencatat semua soal-soal ini di bukumu?”

’Ya, paman.”

”Kalau begitu, datanglah sekarang kamu ke rumah Dona. Kau harus berani meminta ma’af dan serahkan kertas foto kopi ini kepada temanmu itu.”

Terkejut Nurdin mendengar perintah pamannya itu. Nampaknya ia agak ragu melakukan hal itu. Iapun mencoba memberanilkan diri untuk berkata pada pamannya.

”Tapi paman ...!”

”Nah, ini ni ni nih ... kamu belum ikhlas untuk berubah kan? Katanya ingin seperti Mas Tatak. Ingin jadi juara kelas. Dulu Mas Tatak juga begini, tapi dia berani menghadapi kesulitan. Berani juga meminta maaf kepada siapapun yang ia berbuat salah.”

Nurdin masih terdiam. Anak ini agaknya merasa sulit untuk bersikap.

”Nurdin harus percaya pada paman. Minta ma’af pada si Dona, serahkan kertas ini dan nanti setelah magrib Nurdin datang ke sini. Belajar bersama paman, nanti akan paman tunjukkan cara mengerjakan soal-soal itu. Paman yakin pasti kamu bisa.”

Nurdin yang dari tadi hanya menunduk menjadi sedikit terhibur pada ucapan pamannya. Anak yang kulitnya sedikit kehitaman itu nampak menengadahkan wajahnya. Ia melihat ke arah pamannya. 

”Hiya betul, nanti ke sini, paman akan menunjukan cara mengerjakan soal-soal itu,” kata Pak Yudi sambil tersenyum.

 Akhirnya sambil tersipu-sipu anak bengal itu mau sedikit tersenyum. Iapun lantas menjawab pelan.

”Baiklah paman, saya akan ke rumah Dona meminta ma’af dan mengembalikan foto kopi ini.”

”Alhamdulillahi Robilalamiin,” jawab Paman Yudi sangat gembira,” ini baru keponakan paman. Coba-coba ulangi yang lebih keras lagi.”

”Saya akan ke rumah Dona meminta ma’af dan mengembalikan foto kopi ini, paman,” ulang Nurdin dengan wajah yang lebih cerah.

”Nah, begitu dong. Ayo bersalaman dengan paman,” kata Pak Yudi sambil mengulurkan tangan. Mau tidak mau Nurdin juga menyambut uluran tangan pamannya itu.

”Terimakasih atas kesediaannya Bapak Nurdin. Tinggal selangkah lagi kamu sudah menang. Selamat ya bapak!” kata Pak Yudi sambil mengoncang-ngoncang tangan keponakannya. Mendengar candaan pamannya itu Nurdinpun ikut tertawa-tawa setengah malu.

”Nah, sekarang senyampang hujan sudah reda datanglah ke Dona. Jangan ragu untuk meminta ma’af, calon juara harus berani. Dan nanti malam paman tunggu kedatangan Pak Nurdin ke rumah ini. Oke!?”

”Oke paman, saya berangkat. Assalamu alaikum!”

”Wassalamu alaikum waromatullai wabarokatuuh!”

”Hati-hati Nurdin!”

”Ya paman, terimakasih.”

Dengan penuh semangat dan wajah yang berapi-api Nurdin si anak gila itu melangkah menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah padat penduduk. Hatinya nampak berbunga-bunga penuh percaya diri. Hati nuraninya telah terketuk oleh cara pamannya yang berhasil membuka pintu kesadaran keponakannya.

”He, kau ini ada apa sih?” tanya Dona yang tak menduga Nurdin akan datang ke rumahnya,” bawa saja foto kopi ini, aku dan Doni tak membutuhkannya.”

”Nggak ah, aku minta ma’af. Aku harus mengerjakannya sendiri nanti malam,” jawab Nurdin sambil nggloyor pergi. Setengah tak percaya Dona memandang tak henti-henti ke arah Nurdin. Biasanya ia tidak begini.

”Din, kamu belajar saja ke sini nanti malam,” teriakknya karena merasa kasihan pada temannya itu.

”Terimakasih Don, aku akan belajar di rumah paman saja. Besuk pasti PR-ku sudah selesai.”

”He, kamu tidak boleh pasrah kepada pamanmu lho!”

”Ya nggaklah, kau tahu Don pamanku orangnya tidak seperti itu.”

Akhirnya Dona hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala sambil sorot matanya tak berkedip mengarah pada sahabatnya itu.

Rupanya paman Yudi berhasil membuka pintu baru dalam hati Nurdin yang semula si anak gila itu untuk pelan tapi pasti kelak menjelma menjadi sang juara di kelasnya.**

  • TAMAT  -