-

Rusmannulis

Kamis, 23 April 2020

SRIKANDI MUSLIMAH PANTAI MANYURAN

Kisah ini bernuansa sejarah Tuban, yaitu setelah Adipati Arya Teja lengser keprabon (1449), beliau digantikan oleh putranya, yaitu Tumenggung Wilatikta (ayahanda Sunan Kalijaga).

Waktu itu Tuban adalah kadipaten yang memiliki wibawa besar meski kehidupan rakyatnya konon kurang sejahtera. Kemarau yang panjang seringkali melanda, sawah dan ladang jarang menghasilkan, ditambah dengan keharusan untuk mengirimkan upeti kepada penguasa Majapahit.

Adipati Wilatikta memang tetap setia kepada negeri timur meskipun beliau sudah memeluk agama Islam.

Bahkan berbagai pendapat mengatakan bahwa Adipati ini bersikap mendua dan kurang memihak rakyat kecil.

Mentari pagi mulai mengembangkan senyumnya ketika puluhan burung camar bernyanyi riang di sepanjang pantai utara Tuban.

Nampak sekelompok nelayan masih bermalas-malasan, berkemul sarung, menggerombol dengan wajah kuyu dan rambut awut-awutan.

Angin terasa bertiup perlahan menggoyang dedaunan pohon siwalan yang banyak bertebaran di atas pasir.

Seperti biasanya, pantai utara jawa benar-benar nampak anggun dan berwibawa. Ombaknya yang jarang sekali bergerak liar, mengalir seirama dengan hembusan angin, menyapa dengan ramah siapapun yang mau datang berkunjung kepadanya.

Damai dan damai, sedamai hati seorang wanita berjilbab bernama Siti Syari'ah, atau dikenal pula dengan nama Nyai Ageng Manyuro.

Seorang muslimah berdarah Cempa dan Jawa, yang tidak no adalah putri Sunan Ampel atau saudara perempuan Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Meskipun beliau adalah wanita utama, namun tetap rela menghabiskan hari-harinya untuk puluhan santri yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

Mereka tinggal di sebuah bangunan sederhana di sela-sela pohon kelapa dan siwalan, bercanda dengan ombak dan angin serta bercengkrama dengan karang dan pasir.

Konon Siti Syari'ah adalah istri Ki Ageng Manyuro, salah seorang senopati Kerajaan Demak Bintoro.

Panglima perang yang cukup diandalkan di Keraton Demak, yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk pengembangan Agama Islam di Jawa.

Meskipun Nyai Ageng Manyuro termasuk keluarga pejabat Demak, namun panggilan jiwanya membuat beliau senang tinggal di asrama Manyuran, nama asrama yang sengaja dipilih demi kesetiaannya kepada suami tercinta.
Meskipun begitu acap kali pula Nyai Ageng menyusul ke Demak yaitu saat sang suami tidak dalam tugas perang, mengingat Kerajaan Demak masih dalam tahap perjuangan.

Di antara sekian banyak siswa Nyai Ageng, tersebutlah seorang santri muslimah bernama Kembang Arum.

Santri ini sangat disayang oleh Nyai guru, di samping karena keuletannya dalam menimba ilmu juga karena dia memiliki bakat yang tinggi dalam memimpin teman-temannya.

Namun sudah beberapa hari ini kegelisahan dirasakan oleh Kembang Arum. Satu persoalan telah mengganggu ketenangannya sehingga membuat gadis ini selalu susah tidur.

Semua itu disebabkan oleh pendirian kakaknya, Sri Aji, yang merasa memiliki hak waris atas kekuasaan Manyuran.

Kedua saudara ini adalah putra-putri mendiang penguasa dusun ini, yaitu Ki Sumbu Karang yang juga seorang mandor pelabuhan Kambang Putih pada saat Adipati Arya Dikara memerintah.

Sri Aji merasa terganggu dengan kehadiran suami istri Manyuro yang semakin lama bertambah banyak pengikutnya.

Bukan saja kaum perempuan yang secara ikhlas berguru di pesantren Nyai Ageng, melainkan banyak pula para lelaki yang merelakan diri untuk menjadi pengawal setia putri Sunan Ampel ini.

Karena itu Sri Aji telah merasa dirampas hak-haknya. Putra Ki Sumbu Karang ini merasa diperlakukan tidak adil, dan untuk itu dia harus berjuang guna merebut kembali kekuasaan ayahnya.

Sikap pemuda ini mendapat dukungan gurunya pula, Ki Jala Sabrang. Bahkan orang tua itu bersedia turun tangan dengan cara mengundang bantuan para pendekar, termasuk kaki tangannya yang sering berkeliaran di antara kapal-kapal di pelabuhan.

Sementara itu Kembang Arum sebagai saudara muda Sri Aji sikapnya berbeda, dia lebih memilih menuruti pesan ayahnya, mengabdikan diri menjadi seorang muslimah.
Gadis ini teringat apa yang diinginkan sang ayah, yaitu agar kakaknya kelak bisa menjadi prajurit Kasultanan Demak.

Dan hal itu sangat mungkin tercapai kalau kakang Sri Aji mau menjadi pengikut setia Ki Ageng Manyuro. Bukankah Ki Ageng adalah pejabat Demak Bintoro ?

Aku harus segera bertemu dengan Kakang Sri Aji untuk mengingatkan pesan ayah, pikirnya.

Begitulah, dengan seijin Nyai Ageng iapun segera mengambil kuda. Meskipun tidak terlampau jauh, tapi karena jalannya berkelak-kelok akan lebih cepat jika ia tidak berjalan kaki.

Sejak awal memang Ki Sumbu Karang rajin melatih putra-putrinya. Bukan saja ketrampilan mengendarai kuda, melainkan dalam permainan pedangpun merupakan hal yang secara rutin diperkenalkan pada anak-anaknya.

Ki Sumbu Karang memang pemimpin yang bertanggung jawab, bahkan konon pada waktu muda dia adalah orang kepercayaan Adipati Tuban yang ke-6, yakni Raden Arya Dikara.

Ketika Adipati Arya Dikara masuk Islam (karena pengaruh dari menantunya Raden Arya Teja) maka Ki Sumbu juga mengikuti jejak junjungannya, yaitu sebagai muslim.

Begitulah Kembang Arum mengingat apa yang pernah diceritakan Paman Karta pengawal setia ayahnya.

"Andaikan saja ayah masih hidup pasti kakang Sri Aji tidak akan berbuat seperti ini. Ayah pasti akan membimbingnya untuk mengabdi kepada Ki Ageng Manyuro," pikir gadis itu sambil mengendarai kudanya.

Kembang Arum memang sengaja tidak memacu kudanya terlampau cepat karena ia ingin menikmati pemandangan pantai utara yang terkenal indah.

Ombaknya yang merayap pelan diselingi dengan semilir angin yang meniupi dedaunan pohon bogor (siwalan) yang banyak tumbuh di daerah ini.
Juga hamparan pasir putih yang memanjang di sepanjang pantai laksana permadani alam yang tiada tara indahnya. Diam-diam Kembang Arum tersenyum bangga menyaksikan hadiah dari Sang Pencipta ini.

"Berhenti !" Tiba-tiba teriakan keras mengagetkan gadis itu "he, ternyata kau seorang wanita".

Beberapa lelaki yang masih berusia muda membuyarkan lamunannya, mereka nampak berdiri beberapa langkah di depan kuda gadis itu.

Sebagian dari mereka duduk bersender di pohon bogor yang banyak tumbuh di kanan kiri jalan sambil menikmati air legen yang masih segar.

"Hai, siapakah kau ini nduk ?"

Kembang Arum tidak menjawab. Tetapi ia mendengar seorang yang lain berkata.

"Lihatlah, perempuan ini membawa pedang di lambungnya."

Pemuda yang berdiri paling depan, yang berwajah menakutkan tertawa. "Ya, memang Ia membawa pedang di lambung seperti ayam betina yang bertaji satu di kakinya."

Dada Kembang Arum berdebar-debar. Sikap para pemuda yang tidak dikenalnya itu terasa memuakkan.

Meskipun begitu dengan sekuat hati ia tahan gelora dadanya, supaya tidak menimbulkan hal yang justru akan menutup kemungkinan untuk bertemu kakaknya.

Lebih dari itu, iapun tidak mau menyalakan api dalam genangan minyak seperti yang terjadi saat ini di tlatah Manyuran.

"Kakak, apakah aku diperbolehkan lewat?" Gadis itu bertanya dengan sopan.

"He," pemuda yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya, "Tentu, tentu boleh. Tetapi siapa namamu adik?"

"Kembang Arum."

"Kembang Arum? Namamu begitu manisnya. Aku tidak menyangka bahwa di tanah pesisir yang gersang dan panas ini ada wajah semanis wajahmu."

Kembang Arum menahan hatinya sehingga keringat telah membasahi sebagian pakaiannya. Hampir saja ia mengatakan dirinya sebagai puteri Ki Sumbu Karang yang dulu menguasai pesisir Karang Kepoh ini.

Tetapi maksud itu dia urungkan, dikatupkannya saja mulutnya rapat-rapat.

"He, Kembang Arum, siapakah yang sedang kamu cari? Apa kau mencari aku atau salah seorang di antara kami?" berkata pemuda yang ada di paling depan itu dan disambut suara tertawa teman-temannya.

Kembang Arum tidak menjawab bahkan semakin lama ia menjadi semakin malas untuk menjawab pertanyaan orang-orang itu.

 "Turunlah," berkata pemuda itu lagi, "tidak baik berbicara dengan orang yang lebih tua dari atas kuda."

Kembang Arum menjadi ragu, pemuda itu benar juga. Mungkin sikap mereka yang menyakitkan itu karena sikapku yang kurang sopan.

Apakah sebaiknya aku turun dan minta maaf supaya segera aku diijinkan lewat? Tetapi Kembang Arum masih juga ragu-ragu.

"Turunlah," pemuda di paling depan itu melangkah maju lagi sehingga bulu tengkuk Kembang Arum bergidik.

"Hai adik, aku hanya mau menjawab pertanyaanmu kalau kau turun dari atas punggung kuda. Apakah orang tuamu tidak pernah mengajarimu?"

Suara pemuda itu nampak bersungguh-sungguh membuat Kembang Arum semakin ragu. Sekali lagi dipandanginya wajah pemuda itu, keningnya berkerut dan alisnya terangkat hampir bertemu matanya.

Akhirnya diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang itu, turun dari kudanya.
Dengan sedikit mengangguk ia berkata:

"Maaf kakak, aku kurang sopan. Aku sangat tergesa-gesa, sehingga aku telah melupakan adat kesopanan. Kini aku telah turun, apakah aku boleh lewat?"

Ternyata pemuda itu menjadi agak tegang. Tiba-tiba tanpa disangka pemuda itu membungkukkan badannya dan tangannya meraih sesuatu dari atas tanah.

Tanpa diduga pula orang itu melempar batu ke arah kuda Kembang Arum. Akibatnya kuda itu terkejut, meringkik dan melonjak.

Karena Kembang Arum tidak menduga sama sekali maka tali kendalinya pun terlepas. Kuda itu meloncat dan berlari kencang sekali.

Para pemuda lain yang berdiri di belakang berloncatan menepi, menghindarkan diri dari sergapan kuda Kembang Arum.

Sekejap Kembang Arum berdiri terpaku. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain berdiri tegak di tempatnya.

Anak itu baru sadar ketika kemudian terdengar suara tertawa riuh. Suara para pemuda yang ada di depannya. Selangkah Kembang Arum mundur, ditatapnya wajah orang-orang yang sedang tertawa itu.

Gadis itu pun menggeretakkan giginya. Sekarang ia merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kini orang-orang yang lain pun tertawa pula.

"Kau hebat kakang," terdengar salah seorang berteriak. "Nampaknya kau akan berhasil memetik bunga dari tanah pesisir ini."

Perkataan itu terasa menusuk perasaan Kembang Arum, sangat sekali. Hampir saja ia menjerit.


MMMMMMMMM


Namun ia segera ingat nasehat Nyai Ageng yang diangkat dari salah satu ayat :

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (Al- 'Imraan: 200).

Teringat ajaran Nyai Ageng itu, tiba-tiba disadarinya bahwa ia membawa sebuah pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis kecil yang berlari-lari melihat seekor tikus di hadapannya.

"Nah, begitulah adik," berkata pemuda yang berwajah seram itu, "begitulah berbicara dengan orang yang lebih tua. Kau harus bersikap hormat dan jangan melawan. Bukankah kau dengar kawanku menyebutmu bagaikan sekuntum bunga ?"

Dada Kembang Arum berdentangan mendengar kalimat itu. Dengan tegang ia berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Para pemuda itu kini benar-benar nampak liar. Sedang Kembang Arum merasa belum pernah menghadapi orang-orang seperti itu.

Demikian mudahnya ia dapat dikelabuhi sehingga kudanya terlepas. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan dari laki-laki yang kasar dan liar itu.

"Mengapa diam saja Kembang Arum?" terdengar suara salah satu pemuda itu.

Kembang Arum sama sekali tidak menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.

"Apakah kau marah, manis?"

Mmmmmmmm


Namun ia segera ingat nasehat Nyai Ageng yang diangkat dari salah satu ayat :

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (Al- 'Imraan: 200).

Teringat ajaran Nyai Ageng itu, tiba-tiba disadarinya bahwa ia membawa sebuah pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis kecil yang berlari-lari melihat seekor tikus di hadapannya.

"Nah, begitulah adik," berkata pemuda yang berwajah seram itu, "begitulah berbicara dengan orang yang lebih tua. Kau harus bersikap hormat dan jangan melawan. Bukankah kau dengar kawanku menyebutmu bagaikan sekuntum bunga?"

Dada Kembang Arum berdentangan mendengar kalimat itu. Dengan tegang ia berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Para pemuda itu kini benar-benar nampak liar. Sedang Kembang Arum merasa belum pernah menghadapi orang-orang seperti itu.

Demikian mudahnya ia dapat dikelabuhi sehingga kudanya terlepas. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan dari laki-laki yang kasar dan liar itu.

"Mengapa diam saja Kembang Arum?" terdengar suara salah satu pemuda itu.

Kembang Arum sama sekali tidak menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.

"Apakah kau marah, manis?"

Masih tetap diam. Tidak ada jawaban.

"Jangan kau sesali kudamu yang lepas itu. Aku akan menggantinya kuda yang jauh lebih baik. Tidak hanya seekor, tetapi berapapun yang kau inginkan. Setidaknya kami setiap orang dapat menggantikan seekor."

Orang itu kemudian berpaling ke belakang sambil bertanya, "Benarkan teman-teman?"

Terdengar gelak tawa meledak di antara para pemuda itu. Salah seorang menyahut, "Aku akan memberinya dua atau tiga ekor."

Dan yang lain lagi bersuara, "Aku empat ekor."

Sedang yang berada di sisi lain yang lebih gemuk, "Aku malah berapapun yang dimintanya."

Pemuda yang ada di paling depan menatap tajam pemuda itu, tetapi kemudian ia pun tertawa pula.

Katanya, "Nah kau dengar. Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta."

Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawan-kawannya.

 "Sikap yang sangat memuakkan," gumam Kembang Arum di dalam hatinya.

Tetapi mulutnya masih terkatup rapat-rapat dan giginya masih bergemeretak.

"Nah, bagaimana sekarang?" bertanya pemuda itu. "Kini letakkan saja pedangmu. Tidak pantas seorang perempuan membawa pedang. Bagiku kau akan lebih cantik apabila memakai pakaian yang biasa layaknya seorang perempuan."

Kembang Arum sama sekali tidak menyahut.

"Jangan hanya diam," berkata pemuda itu pula, "jawablah walau sepatah kata, apa tujuanmu sebenarnya. Kau harus tahu bahwa kami bukan orang Manyuran. kami adalah para priyayi pelabuhan Kambang Putih yang datang ke sini karena diperlukan. Maka Manyuran harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya kepada kami."

Kembang Arum masih tetap mematung. Ia benar-benar sudah muak. Kini kedua tangannya telah bersilang, yang kanan memegang hulu pedangnya.

"He," pemuda yang berdiri di paling depan berseru, "apakah kau akan melawan?"

Kembang Arum tidak menjawab. Tetapi sorot matanya memancarkan kemarahan yang memuncak. Pemuda yang berjambang itu tertawa.

"Jangan nakal adik, jangan bermain-main dengan senjata. Lihatlah kami juga bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golok-golok kami yang jauh lebih besar. Jangan bermain-main dengan kami."

Kembang Arum tetap tidak menjawab, hanya darahnya yang terasa kian mendidih.

"Lepaskanlah pedang itu," berkata pemuda itu.

"Cepat, buanglah senjata yang tidak akan berarti apa-pa."

Kini gadis itu telah sampai pada batas kesabarannya. Ia bertekad melawan orang-orang itu.

Ia belum tahu seberapa jauh kemampuan mereka, tetapi ia tetap harus melawan, membela dirinya agar tidak mengalami perlakuan yang lebih jelek daripada mati.

Karena itu saat pemuda yang berkumis dan berjambang itu maju lagi selangkah sambil tertawa-tawa, Kembang Arum juga melangkah surut.

Dalam sekejab tangan kanannya telah menggenggam pedangnya. Langkah pemuda itu terhenti. Tampak dia menjadi heran.

Meski begitu sejenak iapun tertawa lagi. Bahkan lebih keras, dibarengi tertawa pemuda lain di belakangnya.

"Ah, jangan nakal, adik," berkata pemuda yang berkumis dan berjambang itu. "Apa kau kira pedangmu itu akan berguna?"

Kembang Arum semakin bersiap.

"Letakkan pedangmu wahai adikku," suara pemuda itu semakin menjengkelkan. "Aku tak menyangka bahwa di tanah yang keras dan di sekitar deru ombak ini dapat berkembang bunga yang sangat pemberani."

Terasa kini seluruh tubuh gadis itu menjadi dingin dan keningnyapun basah oleh keringat. Tangan Kembang Arum menjadi gemetar. Ujung pedangnya pun semakin menunduk.

"Bagus," desis pemuda itu sambil tersenyum,

"letakkanlah. Letakkan di situ."

Namun ketika ujung pedang itu menyentuh tanah, tiba-tiba serasa ada yang menggelora di dalam dadanya.

Ia merasa mendapatkan tenaga yang luar biasa dari tanah di mana ia dilahirkan. Serentak hatinya bergolak dahsyat.

"Tidak!" tiba-tiba gadis itu membentak. Tanpa disangka oleh laki-laki itu, maka ujung pedang Kembang Arum terangkat kembali.

Bahkan kini terjulur lurus ke depan. Terdengar ia kemudian berkata, "Jangan kurangajar. Aku akan menumpas kalian."

Pemuda yang ada di paling depan itu mengerutkan keningnya. Kini anak-anak muda itu tidak tertawa lagi.

Dilihatnya mata Kembang Arum memancarkan sinar yang teramat tajam menusuk dada mereka.

Mereka merasa heran, gadis ini nampak bersungguh-sungguh. Dan Kembang Arum memang bersungguh-sungguh. Ia tidak mau bergurau dengan orang-orang gila.

Selasa, 21 April 2020

WANITA PERKASA DI BALIK KEJAYAAN MAJAPAHIT (4)


OLEH: KI GURU RUSMAN


PENGANGKATAN Dyah Gitarja atau Tribuana Tunggadewi sebagai rajaputri Majapahit (1329) ternyata memiliki efek yang panjang.

Suami adiknya yang bernama Raden Kudamerta diam-diam cuwo ing penggalih, meskipun ibunda Gayatri juga menghadiahkan Negeri Timur untuk putri  bungsunya Dyah Wiyat dengan gelar Sri Rajadewi.

Namun suami Dyah Wiyat itu terlanjur menyimpan bara di dalam hatinya, bagi dia pengangkatan istrinya sebagai penguasa Negeri Timur hanyalah upaya untuk menyisihkan mereka dari istana barat.

Sementara Ratu Tribuana menjadi Kian leluasa mengembangkan pusat kerajaan. Apalagi ditambah dengan peran Mahapatih Gajahmada yang semakin menggila.

Hanya Karena rasa hormat kepada sang mertua maka semua masih nampak tentram-tentram saja. Begitu kata batin Kudamerta atau Wijayarajasa.

Kini Kudamerta masih tetap aktif sebagai Bre Wengker dan istrinya Dyah Wiyat sebagai Bre Daha. Sedang Negeri Timur yang konon berpusat di Lumajang mereka biarkan tetap berjalan sebagaimana biasa.

Tapi entah apa yang menggayuti pikiran mereka, sesudah wafatnya ibu Gayatri (1350) tiba-tiba saja Dyah Wiyat Dan suaminya mulai sering berkunjung ke Lumajang.

Perhatian mereka mulai terbagi di samping tetap mengurus Wengker dan Daha juga beberapa kali telah mengunjungi pusat Kerajaan Timur.

Bara itu adalah awal dari percikan api, sedang percikan merupakan induk dari kobaran yang lebih besar. Tentu semua itu tinggal menunggu pemicunya saja.

Dan pemicu itu kini telah tiba ketika Prabu Hayamwuruk bermaksud meminang putri pasundan Dyah Pitaloka atau Dyah Citraresmi sebagai permaisuri (1357).

Sebenarnyalah pernikahan itu dilandasi oleh tujuan yang luhur, di samping memang sang prabu masih lajang juga untuk menyambung kembali jalinan kekeluargaan.

Konon mendiang Raden Wijaya (kakek Hayamwuruk) adalah satria Pajajaran yang hijrah ke Singosari untuk mengabdi kepada sang Paman Prabu Kertanegara disusul bedahnya Singosari oleh Jayakatwang dari Kediri (1292).

Dengan alasan itulah maka Dewan Agung Kerajaan yang disebut Batara Saptaprabu sangat mendukung rencana pernikahan sang sinuwun.

NAMUN agaknya ada sedikit kelalaian dalam proses timbang menimbang pernikahan itu, yakni sang Mahapatih Gajahmada merasa tidak pernah dimintai pendapatnya.

Padahal sudah sejak zaman Prabu Tribuana Tunggadewi,  Patih Gajahmada diberikan kewenangan penuh untuk melaksanakan program Kesatuan Nuswantara.

Pada waktu itu satu-satunya kerajaan di Pulau Jawa yang belum menyatakan tunduk kepada kekuasaan Majapahit hanyalah Pajajaran. Tentu ini merupakan kesempatan yang bagus untuk menanting pengakuan itu, pikirnya.

Dalam pada itu Dyah Wiyat selaku Bibi Prabu Hayamwuruk dan sekaligus sebagai anggota Batara Saptaprabu juga jarang hadir dalam pertemuan.

Mungkinkah ada benang merah antara kekecawaan suami Dyah Wiyat dengan tragedi perang Bubat? Sejauh ini belum ada sumber yang menguatkan hal tersebut.

Tapi menurut Analisa penulis tidak ada yang tak mungkin dalam politik. Bukankah ada semacam sindiran lama dari India yang mengatakan bahwa: musuhnya musuhku  adalah teman baikku - Your enemy is my best friend (Kautilya Canakya, Artha Sastra,th. 301M^).

Lagi pula mana mungkin Patih Gajahmada berani berbuat sekejam itu terhadap calon mertua dan istri raja beserta para prajurit dari pasundan? Rasanya hal itu tak masuk akal kecuali apabila ada benteng kuat di belakangnya.

Yang jelas setelah tragedi Perang Bubat (1357) yang menewaskan semua pasukan Pajajaran termasuk sang Prabu Lingga Buana dan putrinya Dyah Pitaloka yang bunuh diri, maka keakraban Prabu Hayamwuruk dengan Gajahmada menjadi renggang.

Gajahmada disidang oleh seluruh keluarga kerajaan, dimintai pertanggungjawaban oleh Batara Saptaprabu. Dan sebagai reaksinya Mahapatih yang sakti itupun menyatakan cuti panjang dan ingin mencari ketenangan di desa.

Ada yang mengatakan untuk kepentingan itu Prabu Hayamwuruk memberikan sepetak tanah di wilayah Probolinggo lengkap dengan pesanggrahannya.

Semua ini merupakan ujian besar bagi Prabu Hayamwuruk. Di usianya yang masih muda ia sudah harus berhadapan dengan kondisi yang serba dilematis.

Pada satu sisi ia harus bisa mendamaikan kembali keluarganya yang porak poranda, sedang pada bagian lain banyak program negara yang terbengkelai. Ternyata orang-orang pilihan yang ia tugaskan belum cukup mampu untuk menggantikan peran sang mahapatih.

Menyaksikan kesulitan yang dihadapi Raja Hayamwuruk maka Batara Saptaprabu segera bersidang, dan hasilnya sungguh merupakan jalan keluar yang bijaksana.

Pertama, Sang Prabu Hayamwuruk harus segera mempunyai permaisuri dan calon istri itu adalah putri penguasa keraton timur yakni Wijayarajasa atau Kudamerta.

Kedua, sang Mahapatih Gajahmada diminta segera hadir kembali untuk meneruskan progran Kesatuan Nuswantara yang beberapa bulan telah terhenti.

Ketiga, Majapahit harus mengutus duta ke Pajajaran untuk meminta maaf atas tragedi di lapangan bubat dan tetap berkeinginan menjalin hubungan kekeluargaan.

DEMIKIANLAH, pernikahan agung rajamuda Hayamwuruk dengan Dyah Sri Sudewi atau Paduka Suri (1358^) ditandai dengan hadirnya kembali Sang Gajahmada ke kotaraja.

Cahaya yang cerah segera menghiasi langit Wilwatikta, dari rakyat kecil hingga keluarga raja semua menyambut dengan hingar bingar serta ikut merasakan kebahagiaan.

Jalan-jalan utama dan semua gapura dipasang dengan hiasan yang beraneka ragam. Di alun-alun kotaraja serta lapangan-lapangan di seluruh negeri disajikan hiburan untuk rakyat.

Tak ketinggalan pula para pemuka agama yang melakukan pemujaan dan berdo'a untuk kebahagiaan sang prabu beserta permaisurinya yang baru.

Namun seiring dengan bergulirnya waktu kecerahan itu menjadi semakin pudar ketika telah cukup lama sang permaisuri belum juga dikarunia buah hati.
Kekhawatiran itu yang melahirkan keinginan Prabu Hayamwuruk untuk menghadirkan seorang selir.

Baginya andai tidak dikaruniai anak dari dinda permaisuri tidak mengapa kalau harus melalui istri lain. Bukankah hal itu tidak melanggar aturan maupun etika manapun?

Akhirnya Raden Kudamerta atau Wijayarajasa mempersembahkan seorang wanita kerabat dekatnya dan untuk menghormatinya secara bijaksana sang raja menerima juga.

Dari garwa selir inilah segera lahir putra Prabu Hayamwuruk yang terkenal namanya, ialah Bre Wirabumi. Tentu saja hal ini membuat bangga Prabu Hayamwuruk.

Dan kebahagiaan itu semakin lengkap ketika tidak lama setelah itu permaisuri Sri Sudewi juga memberinya bayi putri yang diberi nama Dyah Kusumawardani (1363^)

Nah, pada diri Dyah Ayu Kusumawardani inilah kunci perdamaian Majapahit kelak akan tercapai, setidaknya sampai pada akhir tahun 1400 M. Mengapa begitu?

Pertama, Dyah Kusumawardani adalah putri kesayangan seluruh istana. Bahkan pada usia 15 tahun, tepatnya tahun 1379^, Prabu Hayamwuruk telah mengangkatnya sebagai Putri Mahkota.

Kedua, ia adalah putri permaisuri Sri Sudewi yang berarti juga cucu dari penguasa Kraton Timur, yaitu pasangan Dyah Wiyat-Kudamerta. Artinya dia adalah sosok yang mewakili unsur keluarga barat dan timur.

Ketiga, ia telah dijodohkan dengan Raden Wikramawardana yang berarti menantu Dyah Netarya, yaitu adik kandung Prabu Hayamwuruk.

Dengan demikian Dyah Kusumawardani bisa diibaratkan sebagai segitiga emas bagi perdamaian Majapahit.

Ia adalah poros utama dari tiga jalur keluarga besar, yang ketiganya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).

Kemuliaan hati Dyah Kusumawardani menjadi kian jelas saat rama Prabu Hayamwuruk wafat (1389). Meskipun ia adalah Putri Mahkota namun karena hormatnya kepada sang suami, maka ia serahkan kursi keprabon kepada Raden Wikramawardana.

Namun maksud baiknya itu justru memicu percikan baru dalam hati Bre Wirabumi. Bukankah aku adalah putra rama Prabu Hayamwuruk? Meskipun ibuku hanya garwa selir.

"Kalaupun dinda Kusumawardani tidak berkenan duduk di singgasana, mestinya aku sebagai putra Rama prabu yang berhak menggantikannya", demikian keluh kesah Bre Wirabumi kepada Dyah Wiyat atau Raja Dewi.

Wirabumi memang sangat dekat dengan keluarga Keraton timur, ibaratnya dia adalah pangeran Lumajang.  Di samping menjadi putra angkat Kudamerta atau Wijayarajasa ia juga dijodohkan dengan cucunya yang bernama Negarawardani.

Ketika hal itu disidangkan di Dewan Kerajaan, istri Wikramawardana berkilah bahwa suaminya hanyalah raja perwalian atas dirinya.

"Kami memimpin secara bersama-sama," demikian katanya melengkapi.

Wirabumi terpaksa harus menerima kenyataan itu, namun sejak kejadian itu Keraton timur ia pindahkan ke wilayah Blambangan. Baginya keberadaan Dyah Kusumawardani tetaplah sosok yang harus ia hormati.

Bagaimanapun mendiang Rama Prabu Hayamwuruk adalah panutanku, dan dinda Dyah Kusuma adalah putri kinasihnya. Aku harus menghormatinya pula.

"Nini Kusuma adalah adikmu, meskipun kalian dari ibu yang berbeda. Kaulah yang harus menjaganya jika suatu saat Rama sudah tiada," itulah pesan beliau sebelum wafat.

Tak terasa mata Ksatriya Blambangan itu berkaca-kaca teringat akan ayahanda yang telah tiada. Ramanda seorang satria agung dan bijaksana, aku harus selalu mengingat petuahnya.

Namun Tak pelak seringkali kebijakan Prabu Wikramawardana terasa menggerogoti ketahanan batinnya.

Sebagaimana penulis singgung di atas, Wirabumi merupakan putra angkat pasangan Kudamerta-Dyah Wiyat. Sedang suami istri ini memiliki seorang putri kandung bernama Dyah Indudewi yang menjadi Bre Lasem sejak lama.

Dyah Indudewi menurunkan seorang putri bernama Dyah Negarawardani yang kemudian dijodohkan dengan Wirabumi.

Suatu ketika Dyah Indudewi sakit dan mengikuti suaminya sebagai Bre Matahun. Maka kedudukan Bre Lasem diserahkan pada Negarawardani. Namun saat itu juga Prabu Wikrama bermaksud mengangkat menantunya (istri Bre Tumapel) sebagai Bre Lasem pula.

Agar tidak terjadi percikan lebih lanjut, Dyah Kusumawardani segera mengambil jalan tengah. "Biarlah aku yang berangkat sebagai penguasa Lasem."

Sejak itulah ada dua penguasa kerajaan Lasem, yang satu disebut Bre Lasem Sang Halemu (gemuk) yakni istri Wirabumi, sedang satu lagi Bre Lasem Sang Ahayu (cantik) yakni istri Wikramawardana.

Untunglah Kusumawardani menyikapi dengan cara yang bijaksana, ia tetap sekali-sekali datang ke Lasem namun hanya sebagai anjangsana sedang penguasa sehari-hari tetap Sang Halemu.

Percikan demi percikan seringkali timbul namun sang permaisuri selalu mampu berperan sebagai air yang menyiram api sebelum menyala.

Bisa jadi itulah yang membuat sang Putra Mahkota Rajakusuma selalu prihatin dan  meninggal di usia yang masih muda (1399).

Wafatnya Putra Mahkota membuat keprihatinan yang mendalam seluruh isi istana terutama Prabu Wikramawardana sendiri.

Ia kemudian memutuskan untuk beristirahat panjang sebagai raja dan menyerahkan sepenuhnya urusan negara pada sang istri.

Namun semua hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang menentukan. Belum genap dua tahun beliau memimpin, ternyata putri Hayamwuruk itupun pergi menyusul sang putra tercinta (1400).

Sang kunci perdamaian itu telah pergi, permaisuri sejati, pemomong guru laki, maka kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi semua yang menyayanginya.

Tak terkecuali Bre Wirabumi yang merasa amat sedih ditinggalkan saudara seayah yang disayanginya. Tak ada lagi yang bisa mengendalikan cara raja memimpin negeri ini, pikirnya.

Alkisah, Prabu Wikramawardana yang semula bertapa kini kembali berkuasa. Menjalankan kembali roda pemerintahan. Namun kedatangannya justru mencipta mala petaka.

Belum lama ia duduk lagi di singgasana, iapun telah mengangkat penguasa baru untuk kerajaan Lasem. Kini ada Bre Lasem lagi yang baru ialah menantunya, istri Bre Tumapel.

Kebijakan raja inilah yang kemudian memicu kembali kobaran api. Jika sebelumnya selalu sang Kusumawardani yang mampu menjadi juru penengah, menjadi pemomong bagi suaminya.

Maka kini tidak ada lagi sang pemomong itu, hilang sudah sang kunci perdamaian. Terciptalah ledakan api yang membumbung tinggi, menggulung habis sendi-sendi keluhuran yang dirintis para pendiri kerajaan.

Dan "dheeer....!"

Majapahit hangus terbakar oleh perang saudara yang terkenal dengan sebutan: PERANG PAREGREK (1404-1406).

Ibarat sapu lidi yang kekuatannya berada di tali pengikatnya, kini tali itu telah terputus oleh tangan-tangan penguasa yang hanya mampu memimpin dengan kepicikannya.***

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu, april 2020.


Sabtu, 18 April 2020

WANITA PERKASA DI BALIK KEJAYAAN MAJAPAHIT (3)


Oleh: Ki GURU Rusman


SEORANG WANITA muda nampak duduk bersila di bawah beringin di puncak sebuah bukit. Tangannya bersedekap dengan rambut yang dibiarkan terurai, panjang bergerai tertiup angin. Bibirnya Tak henti-henti membisikkan kata-kata do'a. Menelusup di antara nyanyian belalang dan burung malam.

Sudah cukup lama wajah sayu itu menengadah, memandang rembulan yang bersinar redup. Segumpal-segumpal awan silih berganti menutupi cahaya, dan beberapa kali wanita itupun menarik nafas dalam-dalam.

Merenungi nasib yang remang-remang seperti redupnya sinar bulan. Kadang-kadang ia rasakan bahkan gelap menyelimuti bayangan kehidupan.

"...., Ingkang kawijil tumetesa
Hardaning driya kang angu-angu
Amedhar anteping manah
Tan kinira landheping pacoban
Duh Gusti ....
Kang Wenang peparing
Tidha-tidha lumaksono
Anggayuh tirta tentreming kalbu
Hambo amung sadermi lelaku ..."

"..... Yang terkandung di air mataku
Perasaan diri yang ragu-ragu
Menguraikan isi hati
Tak terkira sakitnya rintangan
Oh Tuhan ...
Yang Maha Pemberi
Kucoba untuk melangkah
Meraih air kedamaian
Aku sekedar menjalankan ..."

WANITA ITU bernama Dyah Suhita, putri Prabu Wikramawardana (1389-1427) raja ke-5 pengganti Hayam Wuruk. Meski ia seorang putri raja namun hidupnya selalu dirundung duka.

Ibarat kusuma amembo sudra, Dyah Suhita jarang berada di dalam istana. Ia lebih sering mengurung diri di padepokan ibunya. Mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, mengadukan nasib seraya berharap sinar yang redup beralih menjadi bulan purnama.

Ternyata benar, do'a orang-orang yang teraniaya tak akan pernah sia-sia, dan Tuhan pun telah memberikan jawaban kepadanya. Jawaban yang sangat tak terduga oleh semua orang, bahkan sama sekali tak masuk di angan-angan.

Mengapa begitu? Sebab wanita ketiga yang berhasil menduduki tahta kerajaan Majapahit adalah Dyah Suhita (1427-1447). Ia adalah raja  ke-6 yang menggantikan ayahanda Prabu Wikramawardana.

Meskipun sebenarnya Dyah Suhita bukanlah sosok yang memiliki garis utama tedhaking narendra, namun jikalau Tuhan yang menghendaki siapa yang bisa memungkiri?

Kridaning ati tan bisa mbedhah tibaning pasti, budidayaning manungsa tan bisa ngrubah garising kang kawasa.

Alkisah, Dyah Suhita memang hanyalah putri kandung Prabu Wikramawardana dari garwa selir. Itupun bukan tergolong selir kinasih sebab sang ibu adalah anak Pangeran Wirabumi, musuh bebuyutan sang prabu dalam perang Paregreg (1404-1406).

Jadi ibunda Dyah Suhita adalah wanita boyongan perang dari keraton Timur akibat kekalahan dalam perang paregreg. Ouch..., alangkah malangnya nasib Suhita dan adik-adiknya.

JAUH SEBELUM kelahiran Dewi Suhita sebenarnya Prabu Wikrama telah memiliki putera mahkota. Ia bernama Pangeran Rajasakusuma yang lahir dari garwa permaisuri yaitu Dyah Kusumawardani. 

Sedangkan Dyah Kusumawardani adalah putri Prabu Hayamwuruk, artinya Prabu Wikramawardana adalah menantu sekaligus keponakan mendiang prabu Hayamwuruk, Karena dia putra Dyah Netarya adik kandung raja yang terkenal itu.

Namun agaknya Tuhan berkehendak lain, Putra Mahkota yang bergelar Hyang Wekasing Suka itu tiba-tiba meninggal dunia di tahun 1399. Pangeran itu masih sangat muda dan disayang oleh semua orang.

Untunglah Prabu Wikrama masih mempunyai putra lain meskipun lahir dari garwa selir, sedangkan garwa selir itu adalah keponakannya sendiri (anak Dyah Surawardani). Putra mahkota yang kedua ini bergelar Bre Tumapel yang ikut menyerbu kedaton wetan dalam perang paregreg.

Akan tetapi lagi-lagi calon raja itupun juga meninggal dunia, kali ini karena sakit (1427). Putus asalah sang prabu Wikrama memikirkan nasib putra-putra keturunannya.

Meskipun begitu ternyata Tuhan masih memberikan jalan keluar lewat cara-Nya yang luar biasa.

Ketika itu sang senopati Raden Gajah berhasil membedah Keraton Timur dan memenangkan perang paregreg, ia membawa pulang dua tanda bukti.

Yang pertama adalah mustaka (kepala) Pangeran Wirabumi yang ia penggal saat penguasa keraton timur itu hendak melarikan diri.

Dan yang kedua adalah seorang dara manis anak perempuan Wirabumi (Bre Daha) sebagai persembahan kepada sang Prabu Wikrama.

Dari Rahim Bre Daha inilah lahir putra-putri Prabu Wikrama, ialah Dyah Suhita (1406), Arya Damar dan Arya Kertawijaya. Sumber yang lain mengatakan kalau Arya Damar lahir dari istri yang berbeda.


Sekali lagi budidayaning manungsa tan bisa ngrubah garising kang kawasa, ketika Prabu Wikrama wafat di akhir tahun 1427 maka tak ada pilihan lain, Dyah Suhita sebagai putri pembayun yang madeg jumeneng nata sebagai Raja Majapahit yang ke-6.

Jadi ini semacam keadilan Tuhan, di saat semua orang berkeyakinan bahwa keturunan Keraton Timur tak akan bisa duduk di singgasana, maka Tuhan dengan cara-Nya yang berbeda telah merubah keadaan.

Bagaikan durian runtuh, siapa yang pernah menyangka kalau suatu saat trah Wirabumi akan memimpin Majapahit? Sedangkan dulu para leluhur mereka yang berjuang dengan bertaruh nyawapun selalu kembali dengan tangan hampa.

Meskipun demikian sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil, mengingat Wirabumi adalah putra Prabu Hayamwuruk dari garwa selir. Artinya dalam diri Dyah Suhita tetap ada rembesing madu raja-raja besar.

KEPEMIMPINAN Dyah Suhita berlangsung selama 20 tahun, tidak banyak yang bisa dicerirakan tentang bagaimana ia mengelola negeri sebab ia mewarisi keadaan yang sudah sangat berat.

Majapahit sudah mengalami banyak kemunduran, bahkan konon memiliki banyak hutang untuk membiayai perang paregreg. Banyak negara bawahan yang tidak lagi mengirim upeti bahkan terang-terangan berani memisahkan diri.

Sebelum Dyah Suhita memimpin, telah banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri tanpa bisa dicegah. Misalnya tahun 1405 Kalimantan Barat direbut Cina, disusul lepasnya pula Palembang, Melayu, dan Malaka dimana daerah-daerah ini tumbuh sebagai bandar-bandar ramai. Kemudian lepas pula Brunei yang terkenal kaya minyaknya.

Untuk menangani semua itu maka pada tahun 1433 Dyah Suhita mengirimkan Arya Damar ke Palembang guna menjadi penguasa di sana, sekaligus merebut kembali daerah-daerah yang sudah terlepas.

Pada tahun yang sama Prabu Dyah Suhita menghukum mati Raden Gajah, mungkin sebagai pembalasan atas perbuatannya yang lancang memenggal kepala kakeknya, yaitu Wirabumi. Sungguh sial nasib Raden Gajah, abebasan gulung gemak, gluput pulut ora mangan nangka.

Catatan lain tentang pemerintahan Dyah Suhita adalah bahwa beliau bersama suaminya senang membangun tempat-tempat pemujaan.

Suami Dyah Suhita adalah Bra Prameswara Ratnapangkaja, ialah putra dari Dyah Surawardani adik Prabu Wikrama. Artinya suami Dyah Suhita adalah sepupunya sendiri.

Perang Paregrek di samping menguras banyak biaya juga merusak sendi-sendi moral di kalangan masyarakat, karena itu Raja Putri Suhita sengaja menekankan pengembangan bidang keagamaan.

Sayang sekali suami istri ini tidak memiliki keturunan sehingga saat beliau wafat di tahun 1447 yang menggantikan sebagai raja adalah adiknya, yaitu Raden Arya Kertawijaya.

Dyah Suhita didarmakan di Candi Singhabaya, berkumpul dengan mendiang sang suami yang meninggal sepuluh tahun sebelumya.  Tentang letak candi in belum ada sumber yang jelas.***

Demikian semoga bermanfaat

Tasikmadu, April 2020


Kamis, 16 April 2020

WANITA PERKASA DI BALIK KEJAYAAN MAJAPAHIT (2)


Oleh: KI GURU RUSMAN


Dia bernama Dyah Gitarja, seorang wanita yang benar-benar trahing kusuma rembesing madu. Wanodya pilihan, wijining tapa tedhaking andhanawarih.

Dalam dirinya mengalir darah biru keturunan tus para narendra trahing ngaluhur kang awatak sinatriya kahambeg pandhita.

Betapa tidak, karena Dyah Gitarja adalah putri Sri Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) raja besar pendiri kerajaan Majapahit.

Ibunya bernama Dyah Gayatri atau Rajapatni, putri Prabu Kertanegara, yakni raja Singosari yang memiliki keberanian besar mengirimkan ekspedisi Pamalayu (1275) untuk memulai ambisinya menyatukan Nuswantara.

Maka tidak mengherankan jika sejak kecil wanita kinasih ini terlihat bakat kepemimpinannya. Nampak dari cara dia melindungi adiknya, Dyah Wiyat, saat diganggu oleh Kakak tirinya Raden Kalagemet (Jayanegara).

Selalu saja dengan caranya yang bijaksana Dyah Gitarja mampu mendamaikan kembali kedua saudaranya yang bertengkar.

Konon Dyah Gitarja berwajah cantik, bertubuh semampai, dengan pembawaan yang lembut keibuan, serta sangat berbakti kepada ibunya.

Setidaknya itulah kesan penulis pada lukisan Mpu Haris Poerwadi (2016) yang konon selama tiga kali bermeditasi untuk bisa bertemu dengan sosok yang hidup di awal abad ke-14 ini.

PADA WAKTU Majapahit dipimpin Prabu Jayanegara, Dyah Gitarja ditugaskan menjadi penguasa di Jiwana bergelar Bre Kahuripan. Sedang Dyah Wiyat menjadi Bre Daha.

Ini adalah usulan ibu suri yang disetujui Prabu Jayanegara dengan satu syarat mereka tidak boleh kawin dan menurunkan anak. Suatu upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

Tapi ketika sang raja wafat (1328) maka pihak istana segera menyelenggarakan sayembara bagi priya yang ingin mempersunting kedua mutiara itu. Alhasil terpilihlah Raden Cakradara (Bre Tumapel) sebagai suami Dyah Gitarja dan Raden Kudamarta (Bre Wengker) sebagai suami Dyah Wiyat.

Pada tahun 1329 Dyah Gitarja dinobatkan sebagai Rajaputri menggantikan sang ibu yang mahas ing asamun madhep ing panembah sebagai biksuni. Sejak itu wanodya pilihan ini menyandang gelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (1329-1351).

Ketika itu Majapahit sedang dihantui oleh tingkah polah raja Sadeng (daerah Jember) dan raja Keta (Besuki). Keduanya sedang menyusun kekuatan untuk mbalela kepada Majapahit.

Tersebutlah Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, seorang ksatriya sepuh yang sudah mengabdi sejak zaman Raden Wijaya. Ia merasa usianya tak mampu lagi menghadapi dua kekuatan Sadeng dan Keta. Orang tua ini mengusulkan agar Gajahmada bisa menggantikan kedudukannya.

Dewan Kerajaan (Bathara Saptaprabu) yang beranggotakan tujuh orang pilihan menyetujui, namun sebelum diangkat sebagai mahapatih Gajahmada harus menakhlukkan Sadeng dan Keta terlebih dahulu.

Mendengar hal itu perwira lain, Ra Kembar dan Ra Warak, diam-diam menyusun kekuatan untuk memotong peran Gajahmada. Mereka Tak rela selalu dia saja yang diistimewakan, mereka menggiring pasukannya mendahului Gajahmada.

Melihat potensi perpecahan itu Tribuana langsung mengambil alih komando pasukan. Bersama sepupunya, Raden Adityawarman, ia menyusun strategi dan jumeneng senopati perang menghadapi musuh.

Jangan hanya dilihat dari sikapnya yang lembut mempesona, jangan pula diukur dari wajahnya yang cantik bak mutiara, ternyata di medan laga Rajaputri Majapahit itu adalah singa betina yang menggemparkan.

Konon ia adalah salah seorang yang mewarisi ajian Cakrasewu milik ramanda Raden Wijaya. Meski jarang sekali ia terapkan namun di saat-saat tertentu tangan yang gemulai itu bagaikan guntur yang memporak-porandakan pasukan lawan.

Jayalah negeriku jayalah wilwatikta, sejarah telah membuktikan bahwa Kerajaan Sadeng dan Keta berhasil ditundukkan (1331). Semua perwira yang berjasa dinaikkan pangkatnya, tak terkecuali dua orang yang saling berselisih, ialah Gajahmada dan Rakembar.

PADA TAHUN 1334 Tribuana Tunggadewi mengangkat Gajahmada sebagai Mahapatih Amangkubumi. Dan di saat itu pulalah Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa.

Pengangkatan mahapatih baru ini menyulutkan api dendam di hati Rakembar, dadanya hampir pecah menahan amarah. Ia memprovokasi banyak orang untuk menentang prinsip kesatuan Nuswantara yang digagas Gajahmada.

Padahal Ratu Tribuana dan Adityawarman sangat mendukung cita-cita mulia itu dan bahkan menetapkannya sebagai program kerajaan.

Atas tindakannya yang sering mengancam nilai persatuan, akhirnya raja menghukum mati Rakembar dan mempidana para penganutnya sesuai dengan aturan kerajaan.

DIMULAILAH kemudian ekspedisi-ekspedisi penaklukan kerajaan lain. Sasaran pertama adalah raja-raja di tanah Jawa. Mereka yang tunduk secara damai dirangkul, dilindungi, sedang yang menentang diperingatkan kalau perlu ditendang.

Selanjutnya perhatian diarahkan ke wilayah timur. Diawali dari Kerajaan Pejeng (Bali) di tahun 1343, lalu Kerajaan Bedahulu, baru kemudian seluruh Bali. Sukses di wilayah timur dilanjutkan ke wilayah Sumatera tahun 1347 (S. Raharjo, dkk., ‎Sejarah Kebudayaan Bali, 1998).

Pada tahun 1348 Adityawarman diangkat sebagai penguasa wilayah Sumatra. Kebijakan Sang Tribuana dinilai sangat tepat mengingat ksatriya ini adalah putra Swarnabumi.

Adityawarman adalah putra Mahamantri I Hino Dyah Adwayabrahma, seorang pejabat Singosari. Ibunya bernama Dara Jingga ialah kakak Dara Petak istri Raden Wijaya atau ibu Sri Jayanegara.

Dara Jingga dan Dara Petak merupakan putri raja Swarnabumi yang bergelar sang Mauliwarmadewa.

Adityawarman pandai berbahasa China dan pernah berkunjung ke negeri tirai bambu sebagai utusan prabu Jayanegara (1325) dan Tribuana (1332).

Adityawarman sangat dihormati oleh Gajahmada, disamping pilih tanding, bijaksana, juga pengalaman politiknya sangat matang.

Sebaliknya Adityawarman juga menghargai Gajahmada karena kesaktian dan jiwa satrianya. Gajahmada punya ilmu lembu sekilan dan ilmu Guntur Sayuta. Konon ilmu ini bisa membelah gunung dan melompati samodra.

NAMUN di tengah semangat yang tinggi serta kiprah membangun negeri itu, tiba-tiba kabar duka datang bagaikan petir di siang bolong. Ada laporan bahwa Ibunda Dyah Gayatri berpulang menghadap Yang Maha Kuasa (1350).

Maka suasana duka segera menyelimuti langit Majapahit. Negara berkabung atas wafatnya sosok yang diibaratkan pusaka kerajaan itu.

Bagi Tribuana ibunda Gayatri bagaikan matahari atau bulan purnama yang sinarnya tak pernah pudar. Selalu menjadi penerang dalam suka maupun duka.

Maka kehilangan beliau rasanya tidak berbeda dengan kehilangan seluruh jiwa. Lantas untuk apa semua perjuangan ini?

Dan lagi pula, bukankah kedudukanku sebagai raja ini hanyalah mewakili beliau yang waktu itu lebih memilih jalan agama?

Begitulah perang batin Tribuana Tunggadewi yang rasanya terus mengaung-ngaung mengejar hati sanubarinya.

Maka setelah melalui berbagai pertimbangan dan musyawarah agung Bathara Saptaprabu akhirnya Tribuana Tunggadewi menyatakan mengundurkan diri sebagai Rajaputri Majapahit (1351).

Dewan kerajaan kemudian mengangkat Hayam Wuruk (1351-1389 M) sebagai penggantinya. Dia tidak lain adalah putra kinasih Tribuana Tunggadewi sendiri.

Sang dewi kemudian kembali menjadi Bre Kahuripan sampai wafatnya di tahun 1371. Beliau didarmakan di Candi Pantarapura yang berlokasi di Desa Panggih dekat Trowulan Mojokerta.***

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu, april 2020.

Jumat, 10 April 2020

WANITA PERKASA DI BALIK KEJAYAAN MAJAPAHIT (1)


Oleh: Ki Guru Rusman


"Huah!" Majapahit kembali geger, mendung gelap lelimengan menutup langit, angin bertiup kencang bersamaan dengan geludhug yang menggelegar bersaut-sautan.

Tak urung suasana yang kisruh itu telah pula menghantui hati para kawula alit di seluruh negeri. Tidak sedikit mereka yang menutup pintu rumahnya karena takut terjadi sesuatu.

Suasana lebih mencekam ketika tersiar kabar bahwa para pendekar dari Kerajaan  Sadeng dan Keta akan menyerang kota raja. Sadeng yang terletak di wilayah Jember (sekarang) merupakan lumbung padi bagi Majapahit, sedang Keta yang ada di pantai utara (Besuki) terkenal dengan hasil laut.

Kontan kabar itu sudah cukup menggetarkan sendi-sendi kehidupan rakyat kecil.  Jalan-jalan yang biasanya ramai mendadak sepi, pasar pun hanya buka sebentar, apalagi sawah dan ladang bagaikan ditinggal oleh para petani.

SEMENTARA ITU di Kotaraja Wilwatikta, wafatnya Prabu Jayanegara yang amat mendadak dengan cara yang tragis telah memanaskan suhu politik.

Banyak spekulasi yang berkembang, terutama tentang siapa pembunuh sebenarnya dari sang prabu, siapa yang akan menggantikannya sebagai raja, apalagi mengingat sang prabu masih sangat muda dan tentu belum mempersiapkan putra mahkota.

Namun semua intrik politik itu sama sekali tidak menggoyahkan langkah seorang pria berbadan tinggi besar, berwajah bundar, berambut ikal dan berpandangan tajam seolah akan menerobos semua rintangan.

Dialah Ki Bekel Gajahmada, sang pemimpin pasukan Bhayangkara pengawal raja yang belum lama menggantikan Arya Tilam sebagai patih di Daha. Bahkan sebelum itu Ki Bekel juga pernah dipercaya menjabat Patih di Kahuripan, setelah berhasil menyelamatkan raja dari kebiadapan Ra Kuti dan kawan-kawan.

Dan sekarang setelah masa berkabung telah usai, di saat bendera-bendera setengah tiang telah diturunkan dari jalan-jalan utama, suatu malam priya perkasa itu tinimbalan oleh ibunda Gayatri. Betapa terkejutnya ia ketika tahu bahwa di dalam ruang Ibunda Gayatri telah ada pula Mahapatih Arya Tadah dan Raden Adityawarman. Istri ke-4 mendiang Raden Wijaya itu bertanya kepada semua yang hadir tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh keluarga kerajaan.

Gajahmada memang termasuk salah satu yang dekat sekali dengan Ibunda Gayatri, meski kedekatan itu sebatas sebagai seorang hamba kepada junjungannya. Terutama sejak Gajahmada berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara dalam tragedi Badander (1319).

Namun miturut ujareng sambewara kang apireng ing karna, sejak peristiwa memilukan di kamar palereman raja serta terbunuhnya Ra Tanca oleh tangannya, maka banyak pihak yang bertanya-tanya tentang keterlibatan ki bekel dalam peristiwa pembunuhan itu. Malapetaka ini sungguh merupakan teka-teki yang tiada berakhir. Kecurigaan abadi yang bahkan telah berkembang sampai zaman sekarang.

Buktinya seorang peneliti sejarah dari Belanda, N.J. Krom, seperti dikutip oleh Parakitri Simbolon (2006) dalam buku: Menjadi Indonesia, yang secara tegas menyatakan bahwa Gajahmada berada di balik pembunuhan itu.

Namun Pararaton dan sebagian penulis lainnya membantah pula dan berani memastikan bahwa yang digoda oleh mendiang sang prabu Jayanegara adalah istri Ra Tanca, bukan Nyi Gusti Ayu Bebed istri Gajahmada.

Jadi andaikata betul Gajahmada ada di lingkaran peristiwa itu, sang lakon hanyalah ingin membela perlakuan keji si tabib saja. Lagi pula bukankah ki bekel adalah pahlawan yang menyelamatkan raja dari keserakahan Ra Kuti. Rasanya tidak masuk akal jika ia harus dicurigai, demikian sebagian pendapat yang lain.

Baiklah, biarkan para cerdik pandai itu berpolemik tentang pekerjaan mereka, yang jelas setelah kematian sang raja, ki patih Daha itu kian berkibar peran dan kiprahnya. Semakin dibutuhkan kehadirannya.

PADA SAAT ITU satu-satunya istri Raden Wijaya trah Singosari yang masih ada tinggal Dyah Gayatri. Sebagian sudah meninggal atau mendahului manjing sebagai biksuni.

Dan seminggu setelah pertemuan para pembesar kerajaan itu, di parapatan agung Bathara Saptaprabu (semacam dewan tertinggi) berlangsunglah pelantikan Dyah Gayatri sebagai rajaputri dengan gelar yang amat ringkas Sri Rajapatni.

Memang benar pemerintahan Sri Rajapatni tidak berlangsung lama namun waktu yang hanya beberapa bulan itu telah mampu meletakkan dasar pengembangan negara yang luar biasa.

Dengan dibantu oleh Arya Tadah, Gajahmada dan keponakannya Adityawarman, Dyah Gayatri Sri Rajapatni telah berhasil menyusun langkah-langkah strategis bagi negara.

Yang paling mengagumkan adalah upayanya untuk mencegah perang saudara dengan menerapkan strategi pernikahan kerabat (silang dalam).

Meskipun awalnya konon dikemas dalam bentuk sayembara, namun hasil akhir toh tetap sesuai dengan skenario para pembesar keraton.

1. Putri pertamanya Dyah Gitarja menikah dengan Pangeran Cakradara (Bre Tumapel). Tujuannya untuk meredam potensi pemberontakan dari Singosari.

2. Putri keduanya Dyah Wiyat dipersunting oleh Pangeran Kudamerta Wijayarajasa (Bre Wengker). Dimaksudkan untuk meredam serangan dari arah barat.

Pada waktu itu kedua wilayah, yaitu Singosari dan Wengker (sekitar Ponorogo) merupakan dua daerah terkuat. Di samping Sadeng yang kini justru kian berani bersikap mbalelo.

Cerdiknya lagi kedua pernikahan itu digelar setelah Sang Gayatri melantik putrinya Dyah Gitarja sebagai raja putri perwalian bergelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (1329-1351)

Dengan skenario ini maka sepeninggal dirinya nanti tampuk pimpinan kerajaan Majapahit tetap berada di tangan trah Sri Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya).

Itulah kecerdikan sang rajaputri, sampai kehebatannya itu sempat membuat kagum Earl Drake seorang penulis berkebangsaan Kanada yang pada tahun 2012 menulis buku dengan judul: Gayatri Rajapatni, Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit (Uncovering The Woman Behind Majapahit).

LANTAS SIAPAKAH sebenarnya Dyah Gayatri itu? Ia adalah putri raja Singosari Prabu Kertanegara (1268-1292), si bungsu dari empat saudara yang semuanya adalah istri Raden Wijaya.

Yang pertama adalah Tribuwaneswari (permaisuri), kedua Jayendradewi atau Narendraduhita, ketiga Pradnyaparamita, dan keempat Dyah Gayatri atau Rajapatni.

Keempat putri Kertanegara ini diungsikan oleh Raden Wijaya ke Madura dan dititipkan kepada Arya Wiraraja (ayah Ranggalawe), pada saat Singosari diserang Kediri tahun 1292.

Selama beberapa tahun keempat putri raja itu nunut gesang di kediaman Arya Wiraraja bahkan berkat pembesar Madura ini pula Raden Wijaya diterima mengabdi oleh Prabu Jayakatwang di Keraton Kediri.

Setelah Raden Wijaya dibantu Ranggalawe dan pasukannya berhasil mendirikan kerajaan Majapahit barulah keempat istrinya diboyong ke kotaraja.

Dari keempat istri Raden Wijaya itu hanya Dyah Gayatri sajalah yang menurunkan dua putri, yakni Dyah Gitarja dan Dyah Wijat.

Diceritakan bahwa Dyah Gayatri Sri Rajapatni memilih menjadi Biksuni tak seberapa lama setelah mengangkat putrinya sebagai raja. Iapun sempat menanting kesetiaan ki Bekel Gajahmada kepada putrinya.

Dyah Gayatri Sri Rajapatni wafat tahun 1350 dan dicandikan di Desa Boyolangu Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungaung Jawa Timur.

Candi tersebut disebut pula Candi Boyolangu yang ditemukan pada tahun 1914. Di dalamnya terdapat arca sang Rajapatni berukuran panjang 1,1 m, lebar 1 m dan tinggi 1,2 m.

Menurut Negarakertagama candi ini dibangun oleh Prabu Hayamwuruk dan sekaligus merupakan tempat pemujaan agama Budha.

Bahkan pada tahun 1362 Prabu Hayamwuruk mengadakan upacara Sradda, yaitu upacara untuk memperingati 12 tahun wafatnya Gayatri Sri Rajapatni.

Itulah sebagai bentuk nyata rasa kasih dan berbaktinya sang cucu kepada arwah nenek yang dikaguminya. Meskipun Hayamwuruk adalah seorang maharaja namun rasa hormatnya kepada para leluhur patut menjadi contoh kita semua.***

Demikian semoga bermanfaat.


Tasikmadu, April 2020

Sabtu, 04 April 2020

SRI KRESNA TIWIKRAMA MENGUSIR SANG KALA

Oleh: Ki Guru Rusman




Kocap cap carita, ratusan tahun yang lalu, tersebutlah seorang dalang yang bergelar "Dalang Kandabuwono".

Konon sang dalang adalah manusia sakti yang mampu membaca unsur-unsur wadag sang Batara Kala, sehingga membuat sang Kala lungkrah energi mistiknya.

Konon sang Kala pun bertekuk lutut dan tidak berani meneruskan laku ngumboro di alam bawono untuk membedhag manusia calon mangsanya.

Lalu siapakah sebenarnya Dalang Kandabuwono itu?

Tak lain ia adalah sarira Wisnu yang sengaja turun ke dunia untuk melindungi manusia dari ancaman sang Kala (Ki Narto Sabdo, Pandawa Gubah)

Kini setelah ratusan tahun berlalu dan sang dalang sakti itu telah mati, sang Kala kembali turun ke madya padha untuk melampiaskan niatnya.

Tak tanggung-tanggung, kali ini sasaran utamanya adalah para Pandawa yang merupakan para ksatriya sejati kekasihing para dewa.

"Kali ini tidak boleh gagal," kata batinnya. "Siapapun tak akan mampu keluar dari cengkeramanku. Apalagi bunda bethari Uma sudah mengijinkan aku untuk turun mencari mangsa."

Maka begitulah, tanpa ragu-ragu sang Kala yang merupakan putra Sang Hyang Giri Nata itu melangkahkan kakinya.

Yang ia tuju adalah negeri Astina sebab ia mendengar para Pandawa yang merupakan sasaran utamanya itu sedang dijamu oleh para Kurawa dengan pesta yang meriah.

Hidangannya bermacam-macam, mulai dari makanan lezat sampai dengan minuman-minuman yang memabukkan.

Sebenarnya ini adalah jebakan Kurawa untuk para Pandawa yang baru pulang dari persembunyian selama 12 tahun di alas Kamiyaka.

"Ee..eh, aja takon dosa kowe Pandawaa.. , di saat kalian mabuk terlena oleh kenikmatan dunia nanti, di saat itu pulalah jatuhnya mangsa kala. Kalian akan menjadi santapan yang lezat pula bagiku eeh..".

DALAM PADA ITU di awang-awang negara Astina, ada cahaya sebesar lidi cemlorot andirgantara.

Di saat semua orang terlena dengan pesta pora, termasuk para Pandawa sendiri, beningnya cahaya itu semakin lama semakin membesar, mengkristal dan membentuk sesosok manusia yang mengitari langit astina.

Maka ketika saat yang menentukan itu telah tiba, Batara Kala melangkah galeyah-galeyah melewati gerbang negara Astina, langit yang semula mendung pekat tiba-tiba menjadi terang benderang.

Dan bersamaan dengan itu tanpa terlihat dari mana asalnya, padha sakala di depan raksasa pemangsa manusia itu sudah berdiri seorang manusia kecil berkulit hitam legam.

Berdiri bertolak pinggang seolah-olah menantang sang Kala yang berwajah mengerikan itu. Siapa sosok yang sangat berani ini? Tak lain dialah prabu Dwarawati alias sang Kresna.

Dengan lantangnya Prabu Kresna meminta agar sang Kala mengurungkan niatnya.

"Kalau tidak, maka jangan menyesal jika kali ini akan terulang lagi kejadian ratusan tahun lalu, karena sebenarnya akulah Dalang Kandabuwana yang sekarang kembali hadir di depanmu."

Tapi bukan Batara Kala namanya kalau mudah digertak seperti menjangan. Meskipun Kresna berbicara ndruwewel laksana bethet sewu, parandene sang Kala justru semakin melangkah maju.

Kini tibalah saatnya sarira Wisnu ngejawantah. Eling-eling Kresna kadunungan aji "Brahala Sewu", maka dengan sedikit mulutnya berkomat-kamit tiba-tiba jleg..

Bersamaan dengan sang Kala hendak mengayunkan tangannya, tanpa terduga tiba-tiba tubuh Batara Kala yang sagunung anakan gedhene itu terpental sepuluh langkah ke belakang.

Dan bersamaan dengan itu pula di depannya telah berdiri raksasa yang besarnya jauh melebihi dirinya.

"Eehh.. ayo Kalaa.. mana kesaktianmu sini tunjukkan padaku."

Kaget bukan main sang Kala menyaksikan musuh yang amat mengerikan itu semakin mendekat.

Untuk beberapa saat raksasa anak Batara Guru itu seperti tak tahu harus berbuat apa.

"Hai .. Kalaa, pergilah kau dari sini. Jika tidak jangan salahkan aku kalau tubuhmu aku lempar ke tengah lautan sana hee..!"

Maka sesaat kemudian  nampak sang Kala itu duduk menunduk di depan Brahala Kresna, badannya yang besar dengan wajah mengerikan itu bagaikan tak berarti sama sekali.

Tunduk takluk nyembah sesedhokan di depan sang Kresna.

"Aku jangan diapa-apakan ya pak dalaang.., ikhlaskan aku tak pulang ke khayanganku."

"Eehh.. ya Kalaaa, jangan kelamaan ayo pulanglah. Aku amati dari kejauhan langkahmu."

"Ya pak Dalaaang, aku minta pamit dan minta pengestumu."

Maka sesaat kemudian Batara Kala itupun seperti lenyap di telan bumi dan sang Brahala itupun kembali wujud aslinya sebagai Ratu Dwarawati lagi.

***
Seiring do'a agar covid-19 segera lenyap dari bumi Nuswantara.

Tasikmadu, April 2020