-

Rusmannulis

Sabtu, 02 Mei 2020

JALAN BERLIKU SEJARAH MATARAM


OLEH: KI GURU RUSMAN



Priya bertubuh dempal dengan kumis tebal melintang itu bernama Raden Mas Rangsang atau Pangeran Jatmika. Dia adalah putra Sultan Hanyokrowati (1601-1613), raja ke-2 Kerajaan Mataram Islam patutan dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benowo.

Kini setelah duduk sebagai raja ke-3 di kasultanan Mataram iapun mengenakan gelar Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo (1613-1645).

Sehari setelah pelantikannya sebagai sultan, pria itu merenungkan perjalanan hidupnya, sekilas rasa bersalah terhadap adik tirinya sempat membayang dalam pikiran.

Adimas Wuryah adalah adik yang sangat disayanginya meskipun ia bukanlah saudara seibu. Sementara eyang Juru Martani dengan gamblang telah membeberkan duduk persoalannya.

Konon sebelum Rama sultan Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang menikahi ibuku, beliau telah memiliki istri ibunda Tulungayu Dari kadipaten Ponorogo. Waktu itu mendiang Rama Sultan Hanyokrowati masih berkedudukan sebagai calon raja (Putra Mahkota).

Menurut eyang Martani, Rama pernah berjanji kepada istrinya bahwa kelak jika dirinya jumeneng nata yang akan menggantikan beliau sebagai Putra Mahkota adalah anak yang lahir dari rahim ibunda Tulungayu.

Tapi karena lama sekali tidak dikaruniai anak maka Rama kemudian menikah lagi dengan ibu Dyah Banowati sekar kedaton dari kadipaten Pajang. Dari rahim ibunda Banowati itulah kemudian lahir diriku.

Tentu saja ketika Rama jumeneng sultan menggantikan raja ke-1, yaitu eyang Panembahan Senopati (1587-1601), rama sultan lantas mengangkat diriku sebagai Putra Mahkota.

Tetapi ternyata Tuhan menciptakan kisah hidup manusia tidaklah sesederhana itu. Empat tahun setelah pengukuhanku sebagai pangeran utama, tanpa disangka ibunda Tulungayu anggarbeni dan lahirlah Adimas Wuryah.

Adalah kebetulan sekali, mungkin sudah ginaris ing pepesthen bahwa Adimas Wuryah lahir dengan keadaan kurang beruntung, yakni ia memiliki cacad atau tuna grahita.

Menyadari akan hal itu maka menjelang wafatnya Rama Sultan Hanyokrowati berpesan agar sebelum diriku duduk di singgasana, Adimas Wuryah harus dinobatkan dulu sebagai raja sehari, yaitu sebagai bukti dari janji Rama sultan terdahulu.

Sabdo pandhita pangandikaning ratu datan kena wola-wali.

Begitulah yang terjadi waktu itu, setelah di pagi hari Adimas Wuryah mengenakan ageman keprabon dan duduk di kursi singgasana maka pada sore harinya semua atribut itu lantas berpindah pada diriku. Semua itu dipandu oleh sesepuh utama, ialah kanjeng eyang Juru Martani.

Bismillah, ingsun amung sadermo, tan ambibiti ala, mula wahyuning keraton tan bakal sirna.

Sigap tanggap cerdas trengginas, begitulah jika Sri Sultan Agung Hanyokrokusuma telah bertekad menerima amanah para leluhur. Dan sudah menjadi wataknya, sekali kaki melangkah tak akan ada yang membuatnya jengah.

Eling-eling Raden Rangsang adalah tedhaking Kusuma rembesing madu,  sekali tangan bersedekap menyatukan cipta rasa karsa maka dhel .., seleret asap tipis mengitari sakujur sarira. Seketika hening - heneng - hanung.


".. sesungguhnya Allah beserta dengan orang-orang yang sabar .... maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang indah" (QS: Al-Ma’arij ayat 5)

Itulah pertanda terbentuknya harmonisasi antara makrokosmos (jagat gedhe) dan mikrokosmos (ndonya cilik) di mana orang-orang pilihan senantiasa mampu menjadi titik keselarasan hakekat alam semesta dan cita-cita luhur kemanusiaan.

Dan Sultan Agung Hanyokrokusuma sebagai pewaris perjanjian mistis antara segitiga kekuatan, yaitu Panembahan Senopati, Ratu Laut Selatan dan Penguasa Merapi (Ki Juru Taman) artinya beliau telah menyediakan diri untuk menjadi ajang (layah) bagi jantraning lelakon sejati.


**

MALAM INI di kamar paleremannya, sultan Agung Hanyokrokusuma sengaja ingin menyendiri. Ia sudah berpesan untuk tidak diganggu oleh siapapun, meski itu oleh nimas ayu permaisuri.

Apa yang harus aku lakukan dalam kedudukanku sebagai raja? Pikirannya melayang-layang memenuhi isi batinnya. Bisakah aku menjunjung tinggi amanat para leluhur, mengibarkan bendera Mataram sebagai kerajaan besar?

Maka lamunan sang sultan muda itupun segera merayap menelusuri kebesaran silsilah keluarganya. Urutan darah leluhur yang terus saja akan selalu membuatnya senang dan bangga.

Sesuai dengan isi kitab pusaka keraton Mataram yang sempat dibacanya, konon orang-orang besar kerajaan Majapahit adalah merupakan leluhur para raja Mataram.

Jika diurut dari keberadaan Rama Sultan Hanyokrowati adalah putra Panembahan Senopati, + putra Ki Ageng Pemanahan, + putra Ki Ageng Enis, + putra Ki Ageng Sela, + putra Ki Ageng  Getas Pandawa, + putra Ki Bondan Kejawen/lembu peteng, + putra Brawijaya V raja Majapahit (Soedjito Abimanyu, Sejarah Mataram, 2015: 30).

Mengingat itu semua tiba-tiba saja sang sultan muda meraba punggungnya. Pelan ia menghunus keris piandelnya. Matanya yang tajam memandang lama benda itu seolah-olah ada yang perlu ia cerna di antara gerat-gerat logam pusaka.

Tiba-tiba saja tubuh yang dempal itu bergetar hebat, sambil terus memandang keris di tangannya mulut berkomat-kamit membisikkan sesuatu yang tak jelas. Semakin lama getaran badannya kian bertambah keras, kini tubuh itu bahkan bergoyang-goyang, keringat pun bagaikan gerimis keluar dari lubang pori-porinya.

Pria itu sekarang tak peduli lagi, entah apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Tapi Sultan Agung tetap teguh pendirian, tak hendak melepaskan keris piandelnya, tak akan pula berhenti memandang dan mengucap do'a-do'a mantranya.

Hai kalian semua saudara sinorowedi, Mar Marti kakang Margo Ino, Kakang Kawah sedulur putih yang ada di timur, Adi ari-ari sedulur kuning yang ada di barat, Getih abang yang ada di selatan, si Puser sedulur hitam yang ada di utara, dan Sedulur"Pancer" yang ada di tengah.

Mari bergandeng tangan dengan saudara kalian si Rangsang, aku butuh bantuan kalian seperti saat kita bersama brol keluar dari guwo garbo ibu. Oh, saudaraku lingkari aku, jangan ada lubang sekecil apapun yang dapat tertembus oleh siapapun.

"Ingsun nedya ngumboro !"

DAN TIBA-TIBA saja tubuh yang semula bergetar penuh keringat itu kini  berangsur tenang, lees ..., tersandar dinding di sudut ruang. Sedang keris pusaka yang semula tegak tergenggam kini lungkrah di pangkuan. Matanya terpejam, tiada gerakan sedikit apapun.

Yang ada hanya wadag, sementara sang sukma sejati tengah berkelana menjalani sebuah lelakon. Itulah ajian rogoh sukma atau lelaku astral yang telah dikuasai sang sultan secara turun temurun.

Sultan menganggap lelaku ini harus ia lakukan, setidaknya untuk saat ini juga, karena dirinya ingin memastikan masihkah sinyal-sinyal energi dalam segitiga mistik yang pernah terhubung itu bisa dihidupkan kembali.

Bisakah Kanjeng Ratu Kidul dan Ki Juru Taman Merapi memandangku sebagai figur pengganti eyang Panembahan Senopati? Bisakah bukit Geger Boyo yang membentengi Mataram dari amukan lahar tetap dipertahankan?

Itulah misi utama sang sukma agung angumboro, menerjang kedalaman dasar samudra serta menelusup mega mendung andedel pethit ing arga. Sementara di ruang semedi para dulur sinorowedi puguh kukuh angugemi ing sesanggeman.***

(Bersambung)

Tasikmadu-Palang-Tuban.