-

Rusmannulis

Kamis, 17 Januari 2019

FALSAFAH "SAWANG SINAWANG" BAGI KEHIDUPAN KITA

Oleh: RUS RUSMAN.

Kehidupan masyarakat Indonesia memang penuh dengan pitutur (nasehat) yang diwariskan secara turun temurun dari para pendahulunya.

Pitutur itu umumnya dalam bentuk kalimat atau ujaran yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai luhur, yaitu nilai yang merupakan kristalisasi dari pengalaman-pengalaman nyata para leluhur.

Berbeda dengan jaman "now" yang umumnya cara sosialisasinya menggunakan media massa atau media sosial, untuk pitutur-pitutur ini para orang tua kita hanya menggunakan cara informal, seperti keluarga, lingkungan tetangga, atau lewat media cultural.

Media cultural yang dimaksud misalnya pentas wayang, kethoprak, ludruk, dsb.

Salah satu butir kalimat yang sering menjadi pedoman bagi kehidupan penduduk negeri ini khususnya wong Jawa adalah:
"Sawang Sinawang" (Saling Mau Mengerti).

Pemahaman kita tentang makna sawang sinawang ini umumnya sama, ialah bahwa orang hidup itu tak semudah yang dilihat orang, tak seindah pandangan orang lain.

Apa yang kita saksikan dari luar seolah-olah "kehidupan si dia itu kok selalu mulus ya, seperti tak pernah menemukan kendala apapun,".

Ternyata belum tentu seperti itu. Jadi kehidupan setiap orang itu bersifat relatif, tergantung dari bagaimana cara memandang kita, cara memaknai kita dan cara menyimpulkan kita.

Mereka yang hidupnya terlihat indah dan nyaman, siapa tahu sesungguhnya tidak seperti itu.

Ada kemungkinan kesulitan dan beban orang tersebut tidak kita ketahui. Bahkan bisa juga mungkin justru lebih berat daripada beban kita.

Coba saja pandang dengan seksama pemandangan alam yang berupa pegunungan nun jauh di sana.

Bukankah permukaannya nampak lurus tiada cacat?
Tapi ketika suatu saat kita ke sana, ternyata tanah permukaannya penuh dengan lobang dan jurang yang terjal.

Nah, lihat pula air laut di tengah-tengah sana, nampaknya begitu tenang dengan panoramanya yang kebiru-biruan.

Tapi ketika kita mendayung perahu ke tengah-tengah sana ternyata gulungan ombak bisa mendebarkan jantung pula. Nah, betul kan?

Lantas hikmah apa yang mesti diambil dari ajaran para orang tua kita itu

Salah satu maknanya adalah bahwa kita tidak boleh iri terhadap nikmat dan karunia yang diamanahkan Allah SWT kepada saudara-saudara kita itu.

Tidak boleh dengki tentang anugerah yang diterima oleh tetangga, sahabat maupun handai taulan kita.
Allah SWT maha adil, karunia yang dia terima pasti merupakan buah dari perjuangan yang tidak mudah.

Tentu banyak yang harus dia lalui sebelum akhirnya memetik hasil panennya

kitapun juga harus mengambil nilai positifnya, bahwa kitapun harus berjuang dengan keras melalui cara yang benar agar dapat memperoleh karunia dari Allah SWT.

Nah, itulah falsafah "Sawang Sinawang" yang maknanya adalah saling mau mengerti.

Semoga bermanfaat.***

Keterangan:
Penulis adalah pemerhati budaya, tinggal di Tasikmadu Tuban.

Rabu, 16 Januari 2019

SIKAP ADIGANG ADIGUNG ADIGUNA

Oleh: RUS RUSMAN.

Satu lagi pitutur jawa yang amat populer di tengah masyarakat kita adalah agar kita menghindari sifat: "Adigang Adigung Adiguna."

Hampir semua orang jawa pernah mendengar pitutur tersebut, mungkin dari ayah ibu atau kakek nenek, saudara atau teman maupun sahabat-sahabat kita.

Istilah adigang adigung adiguna merupakan istilah yang pertama kali dituliskan oleh Sri Pakubuwana IV (1788-1820) melalui karya beliau Serat Wulangreh.

Tercantum khususnya pada Pupuh ke-3 (Sekar Gambuh) bait 4-10.

Serat Wulangreh yang dikarang raja Surakarta ini sekarang tersimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta.

Isinya terdiri dari 13 pupuh, antara lain: Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmarandana, Sinom, dan Girisa.

Setiap pupuh isinya berupa tuntunan yang perlu dilaksanakan oleh semua manusia agar hidupnya selamat serta tidak terjerumus ke hak-hal yang bersifat nista.

Jadi isinya sesuai benar dengan judul bukunya, yaitu "Wulangreh" yang artinya ajaran atau pitutur menuju jalan keutamaan.

Pada pupuh ke-3 bait ke 4 itu digambarkan tentang apa yang dimaksud adigang adigung adiguna itu. "Pan adigang kidang adigung pan esthi Adiguna ula iku Telu pisan mati sampyoh."

Kalau diterjemahkan menjadi begini: Adiguna adigang adigung; Kijang adalah adigang dan gajah adalah adigung; Adiguna adalah ular; Ketiganya mati bersama (sampyuh).

1. Sifat Adigang

Kata adigang berasal dari kata "adi" yang artinya sesuatu yang lebih. Sedangkan "gang" mengandung arti kuat.

Jadi istilah adigang diartikan sebagai "kekuatan yang berlebihan" (sok kuat), yang oleh sang raja digambarkan seperti sifat hewan "kijang".

Penggunaan hewan kijang sebagai gambaran sifat "adigang" ini memang menimbulkan pertanyaan.

Secara harfiah kata adigang itu adalah kekuatan yang tinggi. Di sini tentu lebih mengabdalkan kekuatan otot atau fisik.

Kalau begitu mengapa Sri Pakubuwana tidak menggunakan singa atau harimau atau banteng misalnya?

Mengapa harus kijang, yang dalam kesehariannya justru menjadi incaran para predator hutan?

Menurut penulis di sinilah justru letak kelebihan beliau dalam menjangkau perkiraan masa depan. Istilahnya "sidik ing paningal," pikirannya menjangkau jauh ke masa depan.

Coba lihat sekarang, setelah dua abad kemudian kekuatan otot justru hanya menjadi orang suruhan.

Mereka yang terbukti kuat di jaman melinium ini adalah mereka yang mampu membuat jaringan sosial, yang lincah merakit komunikasi dengan para kolega, ibarat kijang yang melompat ke sana kemari menunjukkan superiornya sebagai orang profesional di bidangnya.

Para anak bangsa tentu wajib bangga dengan kepiawaian beliau sebagai seorang futurolog sejati.

Tidak kalah dengan para pendekar futurolog masa kini seperti Alfin Toffler yang menggegerkan dunia dengan karyanya "Future Shock" (1970) atau John Naisbitt melalui ide gilanya "Megatrends" (1982).

Masih tentang si kijang yang dalam Serat Wulangreh disebut memiliki sifat adigang (sok kuat).

Pada bait kelima dijelaskan "Si kidang ambegipun Angandelaken kebat linumpatipun."

Artinya: watak seperti si Kijang adalah mengandalkan kecepatannya melompat.

"Ambeg adigang iku Ngandelaken ing kasuranipun. Para tantang candhala anyanayampahi Tinemenan nora pecus Satemah dadi guguyon."

Artinya: sifat adigang itu mengandalkan kesaktiannya. Setiap orang ditantang ternyata tidak berhasil sehingga menjadi bahan tertawaan."

2. Sifat Adigung

Terdiri dua kata ialah "adi" dan "agung". Agung artinya kuasa atau kekuasaan atau kedudukan.

Jadi secara harfiah kata adigung berarti berkuasa secara berlebihan (Sok kuasa).

Dalam Wulangreh sifat adigung ini digambarkan seperti sifat hewan "gajah".

Dijelaskan pada bait ke-6 sebagai berikut: "Pan gajah ngandelaken geng ainginggil." (Sedangkan Gajah mengandalkan tubuhnya yang tinggi besar).

Lantas dikengkapi nasehat kepada sang putra raja: "Suteng nata iya sapa ingkang wani. Iku ambege wong digung. Ing wusanane dadi asor.

(Jangan mengandalkan bahwa kamu itu anak raja. Siapa yang berani. Itu adalah sifat Adigung yang merendahkan martabat).

Sebagai akibat perilaku gajah yang sok kuasa tadi digambarkan: "Pan si gajah alena patinereki", artinya: akibatnya si gajah mati akibat perbuatannya sendiri.

3. Sifat Adiguna

Adiguna terdiri dari kata adi dan "guna". Guna digambarkan sebagai hal yang penting atau bisa pula pintar.

Jadi istilah "adiguna" diartikan sebagai sikap merasa paling pintar, paling diperlukan atau paling dibutuhkan (sok pintar atau sok penting).

Wulangreh menjelaskan sifat ini dimiliki oleh hewan "ular". Ular yang selalu menari-nari saat berjalan dan menyerang dengan racunnya kepada siapapun yang dia anggap mengancam.

Wulangreh membahas hal ini pada bait ke 7 dan 8 yang masing-masing menjelaskan sifat adiguna sebagai sikap yang membangga-banggakan kepintarannya, atau sering menyinggung peranannya yang penting dalam suatu persoalan.

Sifat yang pongah dengan kedudukannya yang sangat penting, seolah-olah tidak ada orang lain yang berperan pula.

Tetapi Ternyata kemudian terbukti apa yang ia banggakan itu tidak sesuai. Ia gagal akhirnya hanya menjadi bahan tertawaan.

Adapun bait ke 9 dan 10 berisi pesan supaya orang hidup tidak perlu berperilaku seperti tiga sifat itu.

"Ing wong urip puniku Aja nganggo anggep kang tetelu anganggoa rereh ririh ngati-ati. Den kawangwang barang laku Den waskitha solahing wong."

(Orang hidup itu tidak petlu memakai watak tiga tersebut. Gunakanlah kesabaran, kehalusan serta kehati-hatian dalam semua perbuatan. Waspadalah dengan perilaku manusia).

Bait ke-10: "Dene katelu iku si kidang suka ing patinipun, Pan si gajah alena patinereki, Si ula ing patinipun Ngandelaken upase mandos."

(Akibat ketiga hal itu, Si kijang mati karena selalu bersenang-senang; Si gajah mati karena dia lengah; dan si ular mati karena selalu mengandalkan racunnya yang manjur).

Kita hendaknya tetap selalu "rereh ririh", dalam kradaan ngati-ati dan waspada.

Jangan seperti kijang, gajah dan ular yang akhirnya mati karena lengah dan akibat ulah mereka sendiri.

Demikian semoga bermanfaat.***

Keterangan:
Penulis adalah praktisi pendidikan dan pemerhati budaya, tinggal di Tasikmadu Tuban.

Senin, 14 Januari 2019

TRADISI KHITANAN ING KERATON JAWA

Tradisi Khitanan Ing Keraton Ngayogjakarta



Dening: RUS RUSMAN

Tetak utawa sunat kanggo wong ing Islam lan sawetara agama liyane iku minangka bab kang wajib ditindakake.

Dadi iki minangka kewajiban menggahing agama, nanging ing pengetrapane pranyata nduweni cara sing beda antarane siji wilayah lan liyane.

Lha cara-cara sing beda mau banjur ndadekake keunikan dhewe-dhewe kang mesthi banget nyenengke kanggo dipirsani.

Malah ing sawetara panggonan ana tahapan-tahapan khusus sing nglahirake kaya dene tradisi.

Ing kene aku arep njlentrehake sethitik babagan prosesi sunat ing keluarga Keraton Ngayogyakarta, kang dak woco saka sumber-sumber wewacan kang dak klumpukake.

Ing lingkungan keraton sunat asring diarani "supitan" lan ditrapake kanggo para priya sing bakal ngancik dewasa, kalebu para pangeran, wayah dalem uga para putra kerabat kraton liyane.

Dene tujuane kanggo ngilangake sesuker utawa ndadekake reresik ing pirantining lelanang.

Ana tetahapan sajroning upacara Supitan ing Keraton utamané kanggone para putra kraton antara liya yakuwi:

1. Tabuh Gamelan

Ing wayah sore sadurunge ditindaiake supitan, gamelan pelog lan slendro katabuh ing Gedong Gangsa lor lan kidul lan dipungkasi ing tabuh nenem sore.

Para penabuhe Abdi Dalem Punakawan Kridamardawa. Ewondene gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang ditata di Bangsal Mandalasana.

2. Tratag lan krobongan

Bebarengan karo unine gamelan saka bangunan gangsa mau ing sacedhake Bangsal Kencana abdi-abdi liyané ngedegake Tratag lan nyiapake Krobongan utawa pekobongan.

Tratag yakuwi wewangunan sing mung sauntara sing ing masyarakat umum biasane disiapake kanggo anyenyambut rawuhe para tamu deneng kulawarga sing kagungan hajat.

Tratag digawe rodo ombo banjur ing sanjerone biasane dipasang meja lan kursi. Nanging uga bisa digelar klasa utawa babut kanggo panggonan lungguh-lungguhan utawa jagongan.

Dene Krobongan arupa wewangunan cilik sing uga ora premanen. Ing wewangunan iki ing sakiwa tengene diwenehi dekorasi arup tetuwuhan (tanduran) sing utamané dumadi saka uwit gedhang lengkap karo godhonge lan uwoh setundun.  Dilengkapi uga karo wit liyane, kalebu kembar mayang. Wit gedgang mau minangka lambang kasuburan.

3. Sesajen

Ana uga klompok sing nyiapake sesaji yakuwi dening Abdi Dalem Wedana Keparak.

Sesaji supitan ini arupa tumpeng rombyong, tumpeng gundul, pisang ayu, pisang pundutan peken, siji pitik urip sajroning keranjang, dan sepasang kembar mayang.

4. Siraman lan dhahar wengi

Ing wayah sore watara tabuh telu, para Bendara Putri lan kulawarga cedhak Sultan lumebet kedhaton ing saperlu bakal ngasta dekorasi ana sajroning kamar putra sing arep tetak.

Sawise rampung saka pakaryan ing sajroning kamar, para putra sing arep tetak banjur tindak menyang Bangsal Kasatriyan diiringi deneng para Bendara Putri lan para abdi dalem sing kajibah mbiyantu.

Ing Bangsal Kasatriyan iki para putra sing arep disunat banjur nglampahi siraman, digebyur ngagem banyu setaman. Sawise siraman, para bendara putri dan istri para kerabat keraton kaaturan tindak menyang Bangsal Pengapit.

Watawis tabuh pitu bengi utawa sawise shalat Isya' para Pangeran lan para punggawa kakung liyane banjur kaaturan ing Gadri Kasatriyan ing saperlu dhahar bengi. Kanti mengkana adicara ing dina iki wus kaleksanan kabeh.

5. Nengga Kerawuhan

Dina sabanjuré ing wayah esuk, watara tabuh wolu gamelan wiwit tinabuh dening Abdi Dalem Kridamardawa.

Nalika kuwi uga para putra kraton sing arep katetak wis padha ngagem busana.

Ing tabuh sanga luweh para Bendara putri, para garwa Bupati saha para Bendara liyane uga wus katon siap ing gawe.

Nalika para pangeran lan putra Bendara liyane katon mapan ing sacedhake Bangsal Kencana.

Ewondene para abdi Pengulu, para abdi Bupati lan sing liyane sawise sowan ing ngarsa Dalem Keraton banjur tindak ing Bangsal Kotak ing saperlu nengga para Pangeran lumebet ing Bangsal Kencana.

Sawise para Pangeran katon liwat mula para bupati banjur pinarak ing Tratag Bangsal Kencana.

6. Kerawuhan Ndalem

Ing watara tabuh sepuluh esuk, katon Sri Sultan kepareng tindak ing Bangsal Kencana kanti ngagem ageman 'baju takwa'.

Mila para Putra Dalem sing arep kasunat sigra tinimbalan saka Bangsal Kasatriyan.

Sawise lumebet Bangsal Kencana, para putra sing arep katetak banjur suwan ngabyantara 'caos Bekti' marang Sri Sultan.

Ing sabanjure Sri Sultan ngutus dumateng satungaling Bendara Pangeran kanggo neliti kesiapane jejibahan dan ubarampe Supitan

Sawise diaturake yen wis siap, Sultan banjur paring dhawuh
supaya para Putra Dalem ingkang badhe kasunat enggal lenggah ing Pengkrobongan piyambak-piyambak.

Sawise putra Dalem ingkang siap kasunat wus lenggah ing saben panggenan mila enggal katimbalan Abdi Dalem Pengulu saperlu paring donga keslametan.

Sawise iku sigra kawiwitan tinabuh Gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, lan Pangeran Sepuh kautus kersaa amangku para Putra Dalem ingkang siap dipun tetak.

Sawise kabeh wis kelampahan katetak kanti lancar mila sedaya ingkang sampun katetak enggal kalungguhake ing kursi ing salebete Bangsal Kencana.

Ya ing wektu kuwi Sri Sultan enggal paring dhawuh secukupe lan para Putra Dalem sing wus katetak wangsul kondur ing Bangsal Kasatriyan.

Sawise Sri Sultan kepareng jengkar saka palenggahan, upacara khitanan wus kena diarani pungkas kanti lancar.

Para kadang sedaya, sabenere akeh upacara ing lingkungan kraton sing ngidini para abdi melu minangka pendherek ing salebete adicara. Kalebu sunatan utawa supitan iki.

Para abdi dalem lan kulawarga sing melu disunat ing upacara supitan kuwi diarani Bela.

Yen penjenengan para maos mirsani gambar ing dhuwur, yakuwi wangunan sing diarani Pekobongan utawa krobongan.

Ana wangunan cilik kuwi para putra keraton utawa wayah kraton dipuntetak. Bentenipun namung ing babagan ukiran wae.

Dene Bela sing saka para Abdi Dalem tetakane cukup bareng-barenh ing kamar, dadi ora tetak ing krobongan.

Kanggone masyarakat Jawa, supitan kuwi minangka upacara sing penting banget, khususe kanggo saben bocah lanang sing arep ngancik diwasa. Supitan artosaken minangka upacara dumadining bocah lanang saka alam kang durung diwasa menyang alam diwasa. Ing kahanan ini umume ditindakake nalika bocah antarane yuswa 10 nganti 16 taun.

Kajaba iku, upacara supitan iki uga asring kasebut ngislamke, kang ateges ngesahake utawa menehi tandha yen para putra mau wajib nindakake pakaryan ngibadah salaras karo sing dikersakake Gusti Allah SWT. Mekaten menggah jlentrehipun, ing wasana nyumanggaaken. Nuwun. ***

Katrangan:
Pangripta iki pengamat budaya, netep ing Tasikmadu Tuban.

Sabtu, 12 Januari 2019

SEMAR MEJANG KHAYANGAN


Oleh: RUS RUSMAN.

Dalam dunia wayang makna Memayu Hayuning Bawana terlihat jelas pada lakon "Semar Mejang Khayangan."

Saat itu Semar atau Sang Jiwa Minulya melalui instink gaibnya merasakan bahwa dunia akan mengalami kerusakan akibat polah tingkah sebagian manusia.

Namun alangkah myasgulnya hati Semar saat ia tahu di khayangan Suralaya pun keadaan tidak jauh berbeda.

"Para Dewa yang seharusnya menjadi panutan para titah, jebul keadaannya seperti ini."

Tegur Semar kepada Bethara Guru.
"Maafkan aku kakang Ismaya," suara Bethara Guru.

"Kamu tidak sepantasnya minta ma'af kepadaku. Mintalah restu dan ma'af kepada Rama Pukulun, " tegur Semar setengah marah,"tapi begini ya Guru, sepanjang anak-anakmu kamu biarkan bertindak sewenang-wenang di khayangan ataupun di tengah manusia, maka keadaan ini tidak akan berubah baik.Apa yang diamanahkan Rama Pukulun tidak akan bisa kau capai."

"Ya kakang, aku hanya bisa pasrah kepadamu kakang."

"Aku dan Kakange Sarawita sudah rela melepas kamulyan di sini, kaulah yang mewakili kami, tumplek bleg kau terima semua dari kanjeng Rama pukulun. Eee.. jebul kelakuanmu sendiri seperti ini."

"Ya kakang Ismaya, aku terima salah. Terus laku apa baiknya kakang."

"Oo Guruu, Guru..! Sudah sana, undang semua anakmu saat ini juga. Inti kedewaan mereka harus disegarkan kembali melalui kuncung janggan yang diamanahkan Rama Pukukun ini."

"Baik kakang."
Begitulah Semar pada hari itu juga madeg suraningdriya jumeneng sebagai guru besar di antara para dewa.

Eling-eling Semar sejatinya adalah Bethara Ismaya atau Sang Hyang Wungku yang menghuni alam Sunyaruri ribuan tahun lamanya, maka para dewa muda itu bagaikan terhipnotis oleh magnet kedewataan Semar.

Tak ada yang berani memandang cahaya yang memancar dari tubuh sang Jiwa Minulya Semar saat sukma Jatiwisesa-nya sedang manjing.

Semarlah satu-satunya dewa yang menegang amanah mustika manik astagina yang murni, terdiri dari delapan daya kegaiban yang kemudian terikat sebagai kandungan kuncung janggan di kepalanya.

Ialah:
1. Ora bakal kaluwen (tak akan lapar)
2. Ora bakal keturon (tak pernah tidur)
3. Ora bakal kesusahan (tak pernah bersedih)
4. Ora bakal nista (tak pernah bertindak jelek)
5. Ora bakal gerah (tak pernah sakit)
6. Ora bakal kepanasan
7. Ora bakal kadhemen (tak akan kedinginan)
8. Ora bakal kayungyung (tan akan jatuh cinta).

"He.. Brahma, Bayu, ... lan jeneng kita kabeh para putra wayah kadewatan, kabeh budi candhala, rasa iri dengki jahil methakil yang manjing dalam jiwa raga kalian akan lumpuh dengan sendirinya apabila kalian mampu mempertemukan tiga kekuatan inti kehidupan, ialah sumbering panembah, sumbering kapribaden, dan sumbering bebrayan (pusat keimanan, pusat kepribadian dan pusat kebersamaan).

Sumbering panembah tidak ada lain kecuali Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa dan itu ada di dalam kitab suci kalian.

Oleh karena itu harus sering-sering kawaos.
Sumbering kapribaden tidak lain adalah inti kekuatanmu sendiri yang berpedoman pada nilai dan norma keutamaan agamamu.

Dan sumbering bebrayan ialah cipta, rasa, karsa yang semua mengkristal dalam sikap dan perilakumu untuk mengamalkan nilai dan norma keagamaanmu itu.

Jika inti kekuatan dapat terkumpul dalam genggaman kalian maka semua keangkaramurkaan dunia akan terkikis dengan sendirinya.

Begitulah Sang Hyang Ismaya bertausiyah dan di akhir ceramahnya Semar sengaja berdiri di atas panggung, memancarkan sinar kegaiban yang berasal dari kekuncungan janggannya.

Maka tak pelak, Bethara Guru dan semua dewa muda yang hadir memandang dengan gemetar dan akhirnya menunduk malu kepada perbuatannya masing-masing.

Singkat cerita khayangan para dewa dan keadaan dunia telah kembali normal setelah Semar turun tangan.

Matahari, bulan dan seluruh isi alam semesta kembali berada pada jalur dan garis peredarannya masing-masing.

Dan kehidupan manusiapun telah terproses sesuai dengan fitrah dan kapasitas kemanusiaannya.

Semua kesadaran yang tercipta akan membuat hidup atau urip menjadi urup (menyala) dan ada karunia.

Urip sing urup itu pada haekatnya adalah lelaku atau memayu.

Memayu berarti membangun jiwa dan raga. Kita diminta untuk mampu mengendalikan nafsu aluamah (kerakusan) dan nafsu amarah.

Sebaliknya banyak memelihara nafsu supiyah (keindahan) dan  nafsu mutmainah (kebajikan).

Itulah laku yang akan membimbing langkah manusia menuju hidup barokah sejahteda dunia dan akhirat.

Amiiin YRA.

Rabu, 09 Januari 2019

SURODIRO JAYANINGRAT, LEBUR DENING PANGASTUTI



Oleh: RUS RUSMAN

Adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita ( 1802-1873), seorang pujangga besar pada masa Kasunanan Surakarta.

Beliau menyusun "Serat  Witaradya." yang salah satunya memuat pupuh kinanti (semacam tembang).

Dalam pupuh itulah ada dua deret kalimat yang seperti tak pernah sepi menjadi paugeran (pedoman hidup) masyarakat kita.

Tidak lain bunyinya: Surodiro Jayaningrat lebur dening Pangastuti. Artinya: keberanian, kekuatan, keberhasilan dan kedudukan itu jika dijalankan dengan sewenang-wenang, maka ia akan segera hancur oleh do'a dan kesabaran.

Ada kisah yang melengkapi isi pupuh kinanti itu, salah satunya kisah peperangan Prabu Salya dengan Sri Puntodewa.

Di sini penulis telah mengembangkan cerita tersebut menjadi begini:
Satu lagi kisah yang menginspirasi kita dalam panggung kehidupan manusia yang penuh fenomena.

Kali ini yang ingin saya tampilkan adalah epos pewayangan dalam kisah Mahabarata.

Saat itu hari ke-18 yang juga hari terakhir dalam perang Bharatayuda. Para Kurawa tinggal beberapa orang saja yang masih hidup.

Hampir semua para senopati andalan "ludhes khewes" gugur dalam perang dunia ke-4 (versi wayang Ki Narta Sabda).

Namun justru di hari-hari terakhir ini sang penasehat agung Pandhawa yang tak ada lain adalah Sri Kresna berkali-kali menarik nafas panjang.

Sinyal-sinyal kewisnuannya seperti membisikkan tentang beratnya perjuangan para satriya utama Pandhawa.

Buru-buru lelaki pilihan ini segera mencari tempat yang agak teduh dan dengan naluri linuwihnya Sri Kresna memejamkan mata terhubung dengan Sang Pencipta.

Ternyata benar, Kurawa telah menabuh genderang perang lagi.

Kali ini mereka mengangkat seorang senopati baru yang maha sakti, ialah Prabu Salya, raja Mandaraka yang tak lain adalah mertua Sang Duryudana sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa Salya muda yang saat itu bernama Raden Narasoma telah mewarisi aji candrabirawa dari mertuanya mendiang begawan Bagaspati.

Begitulah, waktu itu mataharipun sudah agak condong ke barat.

Di padang kurusetra sang Arjuna dan Wrekudara sudah hampir berputus asa, melayani daya kesaktian Aji Candrabirawa yang digelar oleh sang Salyapati.

Sudah hampir seratus kali rasanya buta-buta bajang itu jatuh terkapar, namun sesaat itu juga justru jumlah mereka semakin berlipat.

Maka setangguh apapun kedua satriya itu dalam berperang akhirnya tenaganya kian susut pula.

Dalam keadaan seperti itu, Prabu Kresna yang sidiq ing paningal segera membisikkan mantra gaibnya ke alam kewisnuannya.

Seketika jleg ...! Tanpa membutuhkan waktu lama Sarira Wisnu tiba-tiba saja hadir di hadapan Prabu Yudistira.

"He, titah ulun ngger Puntadewa. Cobalah lihat susahnya kedua adikmu menghadapi keangkaramurkaan itu."

Yudistira yang saat itu berdiri menyaksikan mengarahkan pandangannya ke arah yang dituju Kresna.

Kaget bukan main sang Yudistira, menyaksikan Arjuna dan Wrekudara yang sedang dikerubung seribu Candrabirawa.

Ada yang merangkul kakinya, ada yang merakut pundaknya, bertengger di kepala, bahkan darah dua adiknya itu sudah mulai mengalir karena garutan cakar dan gigitan para buta bajang.

"He, titah ulun ngger Puntadewa. Jangan hanya diam seperti anak kecil, kehadiran ulun di depanmu harus kau jawab sebagaimana darmanya seorang ksatriya sejati."

Laksana sebuah dentuman keras, kata-kata Kresna yang sedang sedang nyarira Wisnu itu laksana lonceng yang berdentang dalam sanubari raja Amarta itu.

Maka seperti tak perlu berpikir lagi Yudistira pun mengarahkan laju keretanya untuk menggantikan peran adik-adiknya.

Raja Amarta yang berdarah putih, perilakunya lembut tak pernah marah, tak mau perang kalau tak dipaksa Kresna (Wisnu).

Dalam pada itu, Prabu Salya yang sedang mengerahkan aji Candrabirawa masih berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Birawa, birawa, birawaa..!" bibirnya yang sudah mulai keriput itu tak henti-hentinya membisikkan rapal birawa.

Sekarang kemenangannya atas para Pandhawa seperti tinggal menunggu waktu.

Sementara tak jauh darinya ia menyaksikan anak-anak bajangnya itu masih bergerak liar. Mengobrak-abrik daya pertahanan Arjuna dan Bima.

Namun tak seberapa lama datanglah sebuah Kereta Kencana Kerajaan Amarta.

Seorang lelaki nampak turun dari pintu kereta yang tak lain adalah Sang Yudistira.

Bukan main kagetnya Prabu Salya, seketika terbayang dalam benaknya dua satriya kembar anak si Madrim yang tidak lain adalah keponakan yang sangat dikasihinya.

Tergoyang oleh susana batin itu maka tangannya yang sedang bersilang itu bergetar hebat.

Dan orang tua itupun hanya bisa berdiri tanpa mampu mengendalikan anak-anak bajang di depannya.

Di pihak lain, Arjuna dan Bima yang menyaksikan kehadiran kakaknya Puntodewa atau Yudistira segera tanggap ing sasmita.

Seperti sama-sama sepakat keduanya segera bergerak meloncat ke belakang. Kini yang tinggal hanyalah Prabu Yudistira.

Polah tingkah para buta bajang yang liarnya melebihi singa itu kontan terhadang oleh figur yang hanya berdiri di depan mereka, hanya diam tanpa ekspresi permusuhan dan amarah.

Terkejut bukan main anak-anak bajang itu, seperti berhadapan dengan orang yang selama ini mereka rindukan, ialah bapak Bagaspati.

Maka gerakan dan tingkah laku liar Candrabirawa bagaikan luluh dan justru menyusut jumlah mereka kembali menjadi satu.

Sifat liar dan keperkasaannya tersedot oleh darah putih sang Yudistira, dan akhirnya buta bajang yang tinggal satu itupun merangkul tubuh sang Yudistira.

"Aku elok kowe hapaak !" Tangisnya dan tiba-tiba anak bajang itupun hilang dari pandangan mata.

Menyaksikan drama kehidupan yang ada di depannya itu, akhirnya tubuh Prabu Salya pun jatuh terjerembak.

Tak ada siapapun yang menyerangnya sebab Puntodewa dari awal sudah bertekad untuk tidak melemparkan pusakanya ke arah sang paman.

Ternyata hanya karena hembusan bau keringat Yudistira yang di matanya saat itu adalah mertua yang dulu dia binasakan.

Maka pemuda Narasoma yang kini sudah berusia lanjut itu mati atas penyesalanya sendiri.

Begitulah, sekali lagi:;"Surodiro jayaningrat, lebur dening pangastuti". Semoga bermanfaat.. !

Tasikmadu, 090119.

Keterangan:
Penulis adalah praktisi pendidikan dan pemerhati masalah budaya.

Senin, 07 Januari 2019

TRADISI KHITANAN ING LINGKUNGAN KERATON


Tradisi Khitanan Ing Keraton Ngayogjakarta

Dening: RUS RUSMAN

Tetak utawa sunat kanggo wong ing Islam lan sawetara agama liyane iku minangka bab kang wajib ditindakake.

Dadi iki minangka kewajiban menggahing agama, nanging ing pengetrapane pranyata nduweni cara sing beda antarane siji wilayah lan liyane.

Lha cara-cara sing beda mau banjur ndadekake keunikan dhewe-dhewe kang mesthi banget nyenengke kanggo dipirsani.

Malah ing sawetara panggonan ana tahapan-tahapan khusus sing nglahirake kaya dene tradisi.

Ing kene aku arep njlentrehake sethitik babagan prosesi sunat ing keluarga Keraton Ngayogyakarta, kang dak woco saka sumber-sumber wewacan kang dak klumpukake.

Ing lingkungan keraton sunat asring diarani "supitan" lan ditrapake kanggo para priya sing bakal ngancik dewasa, kalebu para pangeran, wayah dalem uga para putra kerabat kraton liyane.

Dene tujuane kanggo ngilangake sesuker utawa ndadekake reresik ing pirantining lelanang.

Ana tetahapan sajroning upacara Supitan ing Keraton utamané kanggone para putra kraton antara liya yakuwi:

1. Tabuh Gamelan

Ing wayah sore sadurunge ditindaiake supitan, gamelan pelog lan slendro katabuh ing Gedong Gangsa lor lan kidul lan dipungkasi ing tabuh nenem sore.

Para penabuhe Abdi Dalem Punakawan Kridamardawa. Ewondene gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang ditata di Bangsal Mandalasana.

2. Tratag lan krobongan

Bebarengan karo unine gamelan saka bangunan gangsa mau ing sacedhake Bangsal Kencana abdi-abdi liyané ngedegake Tratag lan nyiapake Krobongan utawa pekobongan.

Tratag yakuwi wewangunan sing mung sauntara sing ing masyarakat umum biasane disiapake kanggo anyenyambut rawuhe para tamu deneng kulawarga sing kagungan hajat.

Tratag digawe rodo ombo banjur ing sanjerone biasane dipasang meja lan kursi. Nanging uga bisa digelar klasa utawa babut kanggo panggonan lungguh-lungguhan utawa jagongan.

Dene Krobongan arupa wewangunan cilik sing uga ora premanen. Ing wewangunan iki ing sakiwa tengene diwenehi dekorasi arup tetuwuhan (tanduran) sing utamané dumadi saka uwit gedhang lengkap karo godhonge lan uwoh setundun.  Dilengkapi uga karo wit liyane, kalebu kembar mayang. Wit gedgang mau minangka lambang kasuburan.

3. Sesajen

Ana uga klompok sing nyiapake sesaji yakuwi dening Abdi Dalem Wedana Keparak.

Sesaji supitan ini arupa tumpeng rombyong, tumpeng gundul, pisang ayu, pisang pundutan peken, siji pitik urip sajroning keranjang, dan sepasang kembar mayang.

4. Siraman lan dhahar wengi

Ing wayah sore watara tabuh telu, para Bendara Putri lan kulawarga cedhak Sultan lumebet kedhaton ing saperlu bakal ngasta dekorasi ana sajroning kamar putra sing arep tetak.

Sawise rampung saka pakaryan ing sajroning kamar, para putra sing arep tetak banjur tindak menyang Bangsal Kasatriyan diiringi deneng para Bendara Putri lan para abdi dalem sing kajibah mbiyantu.

Ing Bangsal Kasatriyan iki para putra sing arep disunat banjur nglampahi siraman, digebyur ngagem banyu setaman. Sawise siraman, para bendara putri dan istri para kerabat keraton kaaturan tindak menyang Bangsal Pengapit.

Watawis tabuh pitu bengi utawa sawise shalat Isya' para Pangeran lan para punggawa kakung liyane banjur kaaturan ing Gadri Kasatriyan ing saperlu dhahar bengi. Kanti mengkana adicara ing dina iki wus kaleksanan kabeh.

5. Nengga Kerawuhan

Dina sabanjuré ing wayah esuk, watara tabuh wolu gamelan wiwit tinabuh dening Abdi Dalem Kridamardawa.

Nalika kuwi uga para putra kraton sing arep katetak wis padha ngagem busana.

Ing tabuh sanga luweh para Bendara putri, para garwa Bupati saha para Bendara liyane uga wus katon siap ing gawe.

Nalika para pangeran lan putra Bendara liyane katon mapan ing sacedhake Bangsal Kencana.

Ewondene para abdi Pengulu, para abdi Bupati lan sing liyane sawise sowan ing ngarsa Dalem Keraton banjur tindak ing Bangsal Kotak ing saperlu nengga para Pangeran lumebet ing Bangsal Kencana.

Sawise para Pangeran katon liwat mula para bupati banjur pinarak ing Tratag Bangsal Kencana.

6. Kerawuhan Ndalem

Ing watara tabuh sepuluh esuk, katon Sri Sultan kepareng tindak ing Bangsal Kencana kanti ngagem ageman 'baju takwa'.

Mila para Putra Dalem sing arep kasunat sigra tinimbalan saka Bangsal Kasatriyan.

Sawise lumebet Bangsal Kencana, para putra sing arep katetak banjur suwan ngabyantara 'caos Bekti' marang Sri Sultan.

Ing sabanjure Sri Sultan ngutus dumateng satungaling Bendara Pangeran kanggo neliti kesiapane jejibahan dan ubarampe Supitan

Sawise diaturake yen wis siap, Sultan banjur paring dhawuh
supaya para Putra Dalem ingkang badhe kasunat enggal lenggah ing Pengkrobongan piyambak-piyambak.

Sawise putra Dalem ingkang siap kasunat wus lenggah ing saben panggenan mila enggal katimbalan Abdi Dalem Pengulu saperlu paring donga keslametan.

Sawise iku sigra kawiwitan tinabuh Gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, lan Pangeran Sepuh kautus kersaa amangku para Putra Dalem ingkang siap dipun tetak.

Sawise kabeh wis kelampahan katetak kanti lancar mila sedaya ingkang sampun katetak enggal kalungguhake ing kursi ing salebete Bangsal Kencana.

Ya ing wektu kuwi Sri Sultan enggal paring dhawuh secukupe lan para Putra Dalem sing wus katetak wangsul kondur ing Bangsal Kasatriyan.

Sawise Sri Sultan kepareng jengkar saka palenggahan, upacara khitanan wus kena diarani pungkas kanti lancar.

Para kadang sedaya, sabenere akeh upacara ing lingkungan kraton sing ngidini para abdi melu minangka pendherek ing salebete adicara. Kalebu sunatan utawa supitan iki.

Para abdi dalem lan kulawarga sing melu disunat ing upacara supitan kuwi diarani Bela.

Yen penjenengan para maos mirsani gambar ing dhuwur, yakuwi wangunan sing diarani Pekobongan utawa krobongan.

Ana wangunan cilik kuwi para putra keraton utawa wayah kraton dipuntetak. Bentenipun namung ing babagan ukiran wae.

Dene Bela sing saka para Abdi Dalem tetakane cukup bareng-barenh ing kamar, dadi ora tetak ing krobongan.

Kanggone masyarakat Jawa, supitan kuwi minangka upacara sing penting banget, khususe kanggo saben bocah lanang sing arep ngancik diwasa. Supitan artosaken minangka upacara dumadining bocah lanang saka alam kang durung diwasa menyang alam diwasa. Ing kahanan ini umume ditindakake nalika bocah antarane yuswa 10 nganti 16 taun.

Kajaba iku, upacara supitan iki uga asring kasebut ngislamke, kang ateges ngesahake utawa menehi tandha yen para putra mau wajib nindakake pakaryan ngibadah salaras karo sing dikersakake Gusti Allah SWT. Mekaten menggah jlentrehipun, ing wasana nyumanggaaken. Nuwun. ***

Katrangan:
Pangripta iki pengamat budaya, netep ing Tasikmadu Tuban.

Minggu, 06 Januari 2019

TUHAN TAHU KAPAN WAKTUNYA


Oleh: RUS RUSMAN.

Ternyata di balik air mata itu kerap ada kenikmatan

Di seberang tangisan itu kelak lahir kegembiraan

Dan di ujung penderitaan itu muncul kebahagiaan

Saudaraku, bisakah semuanya itu kau bayangkan?

Ooo.. andai kita tahu kapan Allah akan memberikannya

Mungkin kita tidak perlu harus bermandi keringat

Tak usah berlari, jatuh terjerembak dan bangkit lagi

Bahkan kitapun mungkin merasa tak penting lagi untuk berdo'a

Tuhan sengaja menyuruh kita belajar dari orang lama

Yang betah berjam-jam duduk bersila memejamkan mata

Bahkan bisikan do'anyapun tak jelas kata dan kalimatnya

Tapi toh Tuhan tetap berkenan menterjemahkan maknanya

Saudaraku, Allah tahu kapan hadiah itu harus kau terima

Bisa jadi permata itu Allah gantungkan di puncak pohon

Untuk mengambilnya tentu harus kau susun anak tangga

Bahkan mungkin belum sempat berhasil keburu habis waktu kita

Lalu kapan, kapan harus aku terima buah dari do'a-do'aku itu?

Oh Tuhan, begitu lamakah Engkau mencoba kesabaranku

Air mata ini rasanya sudah kering mengalir, bahkan membeku

Untuk kembalipun tak mungkin, terlalu jauh sudah langkahku

Jangan pernah berputus asa wahai saudaraku, teruslah berjalan

Sekali lagi Tuhan tahu kapan waktunya, pasti kelak diberikan

Layaknya menabung, lama diunduhnya tentu terkumpul juga

Siapa tahu nanti untuk keturunanmu: anakmu atau cucumu

Dan akhirnya kau pun pasti mengerti apa yang dimaksud oleh Tuhan

Tiada lain ialah "keikhlasan."


Tasikmadu, 291018

Sabtu, 05 Januari 2019

TRADISI KHITANAN DI LINGKUNGAN KERATON



Oleh: RUS RUSMAN.

Tradisi Khitanan Di Keraton Ngayogjakarta

Sunat atau khitan bagi seorang pria dalam agama Islam dan beberapa agama lain merupakan hal yang wajib dilakukan. 

Memang ini perintah agama, namun pelaksanaannya melahirkan cara yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain.

Cara berbeda-beda itulah yang kemudian menjadikan keunikan-keunikan tersendiri, yang tentu saja sangat menarik untuk disimak. 

Bahkan di beberapa tempat tata cara yang khas cenderung mengkristal menjadi sebuah tradisi.

Berikut ini penulis akan bercerita sedikit tentang prosesi sunatan yang berlaku di lingkungan keraton Ngayogjakarta Hadiningrat, bersasarkan bacaan-bacaan yang penulis kumpulkan.

Di lingkungan keraton hajat sunatan sering disebut "supitan" dan berlaku bagi para pria yang akan menginjak jejaka termasuk para pangeran dan putra sentana dalem yang lain. 

Tujuan supitan ini untuk menghilangkan sesuker atau kotoran dalam alat kelamin lelaki.
Tahapan pelaksanaan supitan di lingkungan Keraton Yogyakarta khususnya bagi putra dalem antara lain begini.

1. Tabuh Gamelan

Sore hari sebelum pelaksanaan supitan, gamelan Slendro dan Pelog ditabuh di Gedong Gangsa sebelah utara dan selatan dan berakhir pukul 18.00. Wib. 

Penabuhnya para Abdi Dalem Punakawan Kridamardawa. Sedangkan gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang ditata di Bangsal Mandalasana.

2. Tratag dan Krobongan

Bersamaan dengan alunan gamelan dari gedung Gangsa tadi, di dekat Bangsal Kencana para abdi yang lain mendirikan tratag dan menyiapkan krobongan atau pekobongan. 

Tratag adalah bangunan buatan non permanen yang kalau di mayarakat umum disiapkan untuk menyambut tamu bagi keluarga yang mau punya hajat. 

Tratag ini dibuat agak lebar dan di bawahnya biasanya lantas dipasang meja dan kursi. Tapi bisa pula dipasang tikar atau karpet untuk tempat duduk-duduk atau jagongan.

Sedangkan Krobongan berupa bangunan berbentuk bilik kecil   tidak permanen. Bangunan ini di kanan kirinya dihiasi dengan hiasan tetuwuhan (tumbuhan) terutama terdiri dari dua batang pisang lengkap dengan daun dan buahnya setundun dan dilengkapi dengan pohon-pohon lain termasuk bunga-bunga secukupnya. Pohon pisang ini sebagai perlambang kesuburan.

3. Sesaji

Ada juga sekelompok asesaji dipersiapkan oleh Abdi Dalem Wedana Keparak. 

Sesaji supitan ini berupa tumpeng rombyong, tumpeng gundul, pisang ayu, pisang pundutan peken, seekor ayam hidup dalam keranjang, dan sepasang kembar mayang.
 
4. Siraman dan Santap Malam

Pada sore hari sekitar pukul 15.00 WIB, para Bendara Putri dan keluarga dekat Sultan masuk ke dalam Kedhaton untuk menghias tempat tidur para putra yang akan disunat. 

Setelah selesai para putra yang akan disunat dipersilakan menempati Bangsal Kasatriyan ditemani para Bendara Putri dan Abdi Dalem yang sedang bertugas. 

Di Bangsal Kasatriyan ini para putra yang akan disunat menjalani siraman (dimandikan). Usai siraman, para bendara putri dan istri kerabat keraton dipersilakan ke Bangsal Pengapit.

Sekitar pukul 19.00 atau sehabis sholat Isya' para Pangeran dan bendara kakung lainnya memasuki Gadri Kasatriyan untuk santap malam bersama dan acara pada hari itu pun berakhir.

5. Nengga Kerawuhan

Keesokan hari berikutnya, sekitar pukul 8.00 pagi gamelan mulai ditabuh oleh Abdi Dalem Kridamardawa. 

Sedangkan para Putra dalem yang akan disunat sudah mengenakan busana.

Pada sekitar pukul 9.30 para Bendara Putri, istri para Bendara dan istri para Bupati menempati Bangsal Pengapit. 

Sedangkan para Pangeran dan para Bendara putra lainnya menempati sisi timur Tratag Bangsal Kencana yang sebelah utara.

Di tempat lain para abdi Pengulu, para abdi Bupati dan yang lainnya sesudah sowan ing ngarsa dalem keraton kemudian menuju Bangsal Kotak untuk menunggu para Pangeran memasuki Bangsal Kencana. 

Setelah para Pangeran masuk maka para bupati lalu maju ke Tratag Bangsal Kencana.

6. Kerawuhan Ndalem

Pada sekitar jam 10 pagi Sultan memasuki Bangsal Kencana dengan ageman pakaian takwa. 

Putra Dalem yang akan disunat dipanggil dari Bangsal Kasatriyan. 

Setelah menempati Bangsal Kencana, para Putra yang akan disunat melakukan penghormatan atau 'caos bekti' kepada Sri Sultan.

Kemudian Sultan mengutus satu Bendara Pangeran untuk memeriksa kesiapan dan ubarampe Supitan.

Ketika dilaporkan sudah siap, Sultan lantas paring dhawuh supaya para Putra Dalem yang akan disunat memasuki Pengkrobongan masing-masing.

Setelah para putra Dalem yang akan disunat berada di posisi masing-masing maka Abdi Dalem Pengulu memimpin doa secara adat.

Setelah itulah mulai ditabuh gamelan Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, dan seorang Pangeran Sepuh ditugaskan untuk memangku Putra Dalem yang disunat.

Setelah selesai disunat kemudian para putra dalem itu duduk di kursi di Bangsal Kencana.

Di saat itu Sultan memberi dhawuh secukupnya dan para Putra Dalem yang telah disunat lalu kembali ke Bangsal Kasatriyan. 

Setelah Sri Sultan jengkar dari palenggahan, upacara khitanan pun selesai.

Sebenarnya banyak acara-acara di lingkungan  keraton yang memberi kesempatan kerabat dan abdi dalem untuk ikut serta. Termasuk acara khitanan atau supitan ini.

Keluarga abdi dalem yang ikut serta disunat dalam upacara ini disebut dengan istilah bela. 

Para pembaca dapat melihat gambar Pekobongan atau krobongan di atas. 

Di dalam bangunan kecil itulah putra dalem atau wayah dalem disunat. Yang membedakan hanya ukurannya.

Sedangkan untuk bela dari Abdi Dalem cukup disunat kamar, jadi tidak disunat di dalam krobongan itu.

Sebagaimana diyakini oleh masyarakat Jawa, Supitan adalah upacara yang sangat penting dan menjadi perhatian istimewa. 

Setiap anak laki-laki harus disunat sebelum usia dewasa. Supitan ini telah dimaknai sebagai upacara peralihan seorang anak laki-laki ke masa-masa dewasa. 

Pada masa dahulu supitan umumnya dilakukan saat anak berusia antara 10 sampai dengan 16 tahun. 

Di samping itu, upacara supitan sering diistilahkan ngislamke (mengislamkan), yaitu semacam mengesahkan atau menandai seorang anak harus menjalankan kewajiban dalam agama Islam yang dianutnya.***

Keterangan:
Penulis adalah pemerhati budaya, tinggal di Tasikmadu Tuban.

Kamis, 03 Januari 2019

SEJENAK TENTANG KONSEP NEGARA

Oleh: Drs. RUSMAN, MPd.

Semenjak manusia dilahirkan, ia memiliki dua hasrat yang amat penting bagi perkembanghan berikutnya, yakni: hasrat untuk menyatu dengan manusia lainnya, dan hasrat untuk menjadi satu dengan alam sekitarnya. Keinginan manusia untuk dapat hidup bersama dengan manusia lain itu disebut sebagai gregarionees.

Para ahli ilmu sosiologi mengemukakan bahwa perasaan gregrarionees inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan interaksi sosial. Tetapi pada sisi lain secara filsafati hakekat manusia adalah "indisidualityas sosialitas".

Dikatakan individualistis sebab manusia selalu ingin berbeda satu sama lain. Dia memiliki gengsi untuk membuktikan diri bahwa dirinya lebih baik, lebih unggul, lebih pantas untuk memimpin, dsb. Sedangkan hakekat sosialitas mengisyaratkan cara bahwa manusia selalu ada bersama, dan ada bersama itu berarti saling ingin bertemu.

Kesadaran untuk selalu bertemu itu melahirkan konsekwensi harus bermasyarakat. Bermasyarakat berarti merupakan penggabungan, dan pengabungan itu merupakan kesatuan yang sewaktu-waktu dapat bubar atau tidak selamanya. Semua yang penulis uraikan di atas melahirkan sikap dalam diri manusia, ialah perasaan ingroup dan outgroup.

Perasaan ingroup itu menciptakan kewajiban kawan-kawan anggota kelompok untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan kelompoknya. Melahirkan kode etik atau kesepakatan, yang pada gilirannya tercipta norma dan nilai sesama. Sedang perasaan outgroup berarti ia merasa tidak diperkenankan turut serta dalam kelompok lain yang berbeda, merasa sebagai orang luar. 

Untuk bisa berkumpul atau bersatu dalam kelompok tersebut ia harus membuktikan dahulu tingkat solidaritasnya dalam kelompok tersebut baik suka maupun duka. Kalau dalam kelas yang lebih besar gabungan dari kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat yang memiliki perasaan atau nasib sejarah yang sama itu akhirnya membentuk kelompok besar yang disebut "bangsa".

 Bangsa menyadari adanya bahaya yang sewaktu-sewaktu dapat mengancam, maka mereka membentuk "tata ikatan bersama" (body politic) yang artinya adalah bahwa negara merupakan cita-cita bersama dari berbagai kelompok masyarakat itu. Dari sinilah terlihat betapa pentingnya Pancasila yang merupakan basis idealis bagi Bangsa Indonesia. Pancasila merupakan basis cita-cita yang mampu menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai tata hidup.

Maka pada gilirannya Pancasila juga dapat dikatakan sebagai pegangan ethic untuk menjadi penyorot atau pengontrol tingkah laku kita sehari-hari. Pun sebagai pegangan ethic maka Pancasila mengandung dasar statis dan leadstar (bintang utama) yang dinamis yang dibangun dari berbagai unsur kehidupan (life) dalam diri Bangsa Indonesia.

Unsur yang hidup secara statis dan dinamis (pada sisi lain) itulah yang merupakan cita-cita nasional yang sekaligus merupakan respon terhadap situasi yang ditimbulkan oleh masa penjajahan. Demikian sekilas, semoga bermanfaat. Salam!** 


Penulis pernah memberikan kuliah tentang Pancasila pada S1 PGSD
Universitas PGRI Ronggolawe TUBAN.

Rabu, 02 Januari 2019

PROSESI PERNIKAHAN MENURUT ADAT JAWA



Oleh: RUS RUSMAN.

Adat jawa memang dikenal sebagai salah satu adat yang rinci dalam melakukan setiap upacara.

Bahkan tidak sedikit pula yang menyebutnya "ribet" atau rumit.

Meskipun demikian, serumit apapun tetap saja masyarakat akan menerapkannya sebab mereka berkeyakinan bahwa kekurangan sedikit saja dalam upacara adat bisa berakibat tidak baik.

Upacaranya memang terkesan sangat sakral, namun justru hal yang demikian jika dilakukan secara sungguh-sungguh pasti akan banyak maknanya.

Lebih-lebih jika yang akan dihajatkan adalah acara pernikahan, maka sudah pasti kedua keluarga akan sangat berhati-hati dalam melakukannya.

Berikut ini adalah rangkaian prosesi pernikahan menurut adat Jawa. Penulis hanya mengambil secara garis besar saja mengingat dalam kenyataannya banyak unsur-unsur ritual yang sulit dilukiskan melalui tulisan.

Misalnya saat pendirian tratag dan tarub lima hari sebelum punya hajat.

1. Siraman:

Siraman merupakan tahapan penting pertama yang harus dilakukan dalam prosesi pernikahan.

Pada acara ini pihak pengantin wanita melakukan siraman dengan dipandu oleh para sesepuh.

Siraman artinya mandi dengan air setaman yang dimaksudkan untuk mensucikan diri sebelum penganten menjalankan upacara yang sakral.

Ada tujuh orang terpilih yang akan menyiramkan air ke tubuh calon pengantin.

Tujuh dalam Bahasa Jawa artinya "pitu" yang bemakna pitulungan (pertolongan).

Jadi acara ini dimaksudkan agar kedua mempelai selalu dalam pertolongan atau perlindungan dari Allah SWT.

Pada siraman terakhir sang ayah penganten wanita melakukannya kepada putrinya, lalu dituntun masuk ke dalam rumah.

Acara siraman ini kemudian diakhiri dengan "adol dawet" oleh ibu penganten putri, dijual kepada yang hadir tapi membayarnya secara simbolis saja.

2. Midodareni

Pada daerah tertentu prosesi midodareni ini diawali dengan potong tumpeng oleh ayah dsn ibu calon mempelai.

Namun ada juga yang potong tumpeng dilakukan setelah acara siraman dan jual dawet.

Acara Midodareni pada intinya meminta calon penganten wanita untuk mengurung diri di rumah.

Dia harus berdandan cantik bagaikan seorang bidadari setelah mandi air suci, tapi tidak diperkenankan bertemu dengan calon pasangannya.

Ini dilakukan sehari sebelum pernikahan.
Pada saat seperti ini diyakini sebagai turunnya para bidadari dari kahyangan untuk ikut menyambut hari bahagia ini.

3. Injak Telur

Acara injak telur dilakukan pada saat prosesi temu manten dan balang bantal. Kedua mempelai saling membalang (melempar bantal).

Baru kemudian dilaksanakan injak telur. Telur dimaknai sebagai lambang kesuburan seorang wanita.

Harapannya ialah agar kedua pengantin segera memiliki keturunan yang merupakan tanda cinta kasih berdua.

Setelah menginjak telur, pengantin wanita akan segera membasuh kaki pengantin pria yang merupakan bentuk kesetiaan seorang istri kepada suaminya.

4. Sikepan Sindur

Sindur adalah kain yang terbuat dari bahan yang halus dan indah.

Acara Sikepan Sindur ini dilakukan setelah tahapan injak telur selesai, sedangkan kegiatannya berupa membentangkan kain atau sindur kepada kedua mempelai.

Ayah mempelai wanita akan membentangkan kain sindur di punggungnya dengan tangan kanan kiri memegang pucuk kain.

Sementara kedua mempelai yang ada di dalam lingkaran kain ikut melangkah menuju pelaminan, diiring oleh ibu dan kedua mertua serta kerabat dekat kedua temanten.

Bagian ini melambangkan harapan dari orang tua agar kedua mempelai selalu erat karena telah dipersatukan.

5. Pangkon timbang

Pada tahap ini kedua mempelai duduk di atas pangkuan sang ayah temamten wanita.

Pengantin wanita duduk di atas paha kiri dan laki-laki di paha sebelah kanan.

Bagian ini menunjukkan bahwa kelak sang ayah harus dapat membagi kasih sayang secara adil seperti ayah sendiri. Tidak ada perbedaan antara anak dan menantu.

6. Kacar Kucur

Merupakan lambang kesejahteraan dalam berumah tangga. Mempelai pria akan mengucurkan sebuah kantong yang berisi biji-bijian, uang receh dan beras kuning ke pangkuan pasangannya.

Hal ini mengandung arti bahwa tugas suami adalah mencari nafkah dan si istri wajib mengelolanya dengan baik.

7. Dulang-dulangan

Dulangan atau ada yang menyebut Dahar Klimah (suap-menyuapi).

Kedua penganten akan saling menyuapi masing-masing sebanyak tiga kali.

Harapannya agar pasangan mempelai ini selalu rukun dan saling tolong menolong dalam menempuh kehidupan baru sebagai keluarga.

8. Sungkeman

Acara sungkeman merupakan bentuk bakti kedua mempelai kepada orang tua atau sesepuh.

Sungkeman ini dilakukan kepada kedua orang tua masing-masing pihak.

Ada juga yang diteruskan kepada sesepuh yang lainnya, tergantung dari kelonggaran waktu.

Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis ingin menambahkan sedikit tentang hal-hal penting yang terkait dengan sarana pernikahan.

1. Janur kuning

Janur dalam bahasa Arab berarti cahaya dari Surga, sedangkan warna kuning bisa diartikan bersih atau suci.

Jadi janur kuning itu melambangkan cahaya Surga yang suci.

Ada pula yang menjelaskan bahwa janur bisa diartikan sebagai "sejatining nur," atau cahaya sejati.

Peggunaan janur kuning dalam acara pernikahan diharapkan dapat memberikan sinar suci yang cerah, meriah dan penuh dengan suasana optimis tentang masa depan.

2. Kembar mayang

Merupakan sepasang hiasan simbolik yang terbuat dari rangkaian janur, debog pisang, buah dan kembang panca warna.

Ukurannya  setinggi satu meter dan nantinya dipasang di sebelah kanan kiri kursi pelaminan.

Kembar mayang ini bisa dikatakan sebagai lambang prestise bagi penganten maupun keluarga sebab posisi tempatnya yang sangat strategis dan dilihat banyak orang.

Sedang makna ritualnya adalah sebagai simbol doa dan harapan keluarga tentang optimisme serta motivasi dalam menjalani kehidupan, mengingat bentuk fisik kembar mayang yang didominasi janur kuning.

3. Tarub

Tarub semacam pintu gerbang buatan untuk memasuki rumah yang yang dipakai hajatan pernikahan.

Ini juga merupakan tanda bahwa keluarga tersebut sedang mengadakan acara pernikahan.

Tarub dibuat dengan sedikit atap di atas lalu di kanan kiri di pasang pohon pisang utuh dengan buah pisang masing-masing satu tundun.

Tarub dibuat dari macam-macam tumbuhan yang masing-masing memiliki makna utama yaitu sebagai lambang kemakmuran dan harapan bagi keluarga baru.***

Keterangan:
Penulis adalah pemerhati budaya, tinggal di Tasikmadu Tuban.

Selasa, 01 Januari 2019

TRADISI MITONI ING ADAT JAWA


Ritual pitung sasi anggarbeni utawa sing luwih dikenal kanthi jeneng "mitoni" yaiku acara sing ditindakake dening wong Jawa nalika kandhutan bayi si ibu lumebu ing sasi kapitu.

Utamané ritual iki ditindakake deneng keluwarga kang arep kagungan putra kapisanan.

Ing umur pitung sasi janin ing kandhutan sacara medhis uga kena diarani wis mapan kanthi becik.

Ing wektu-wektu kaya iki, kabeh anggota kulawarga rumangsa was-was banget nanging uga seneng amarga dina laire jabang bayi wis cedhak.

Pancen ing kasunyatan, ora sethithik janin sing bisa uga lahir ing umur pitung wulan kaya dene ngene iki.

Sawetara para sepuh malah nyebatake bilih umur pitung wulan ing kandhutan punika minangka kandhutan kang kapetang sepuh.

Mlebu wolung sasi kalebu mbalik enom, lan umur sangang sasi dadi umur tuwa sing temenan.

Mulane, tradisi Mitoni diayahi kanthi tujuan supaya janin bisa tuwuh lan berkembang kanthi lancar, séhat sarta aman.

Ing wektu iki isih ana kulawarga sing tetep nuhoni prosesi Mitoni kanti liwat tahapan ritual.

Diwiwiti karo acara sungkeman, siraman, lan nyebarake salad marang para undangan.

Kajaba iku, ana tradisi sing identik karo lambang arupa benda tartamtu sing kebak makna kang luhur.

Mesthi wae ing kene dibutuhake peralatan sing lengkap lan jumlahe ana pitung bab.

Antara liya ana sing wujud bubur pitung werna, beras ketan utawa jadah pitung bentuk, tumpeng, procotan yaiku panganan legi sing dibungkus saka godhong gedhang, sawetara jajan pasar lan peralatan liyane.

1. Sungkeman

Ing acara kasebut calon ibu lan bapak kudu nindakaké sungkem marang wong tuwa kanggo nyuwun berkah supaya aman lan mulus nalika si bayi lahir.

2. Siraman

Program Siraman arupa adus gebyuran kang nduweni tujuan kanggo ngresiki lahir batin lan mental sang ibu lan calon bayi.

Ing pakaryan iki ibu ngagem kain batik lan lenggah terus disiram nganggo banyu mawa kembang setaman. Acara iki ditindakake dening sesepuh wadon lan anggota kulawarga pitung wong sing bakal meku nyiram nganggo cangkang kelapa.

Proses penyiraman kasebut dimulai karo wong sing paling sepuh lan terus dilajengaken karo sing liyane.

3. Cengkiran

Cengkir tegese kelapa enom sing minangka simbol kelahiran bayi sing isih mudha tumaruna lan besuk bakal dadi wong kang dewasa.

Cengkir loro kasebut mengko digunakake dening bapak kanggo ritual brobosan (glundhungan).

4. Brobosan

Ing tahap iki bapake bayi bakal ngetokake utawa ngglundhungake cengkir loro mau saka sajerone kain sing diagem ibune.

Nanging Sadurunge, awak cengkir kudu dilukis kanthi gambar Dewi Komaratih kang nglambangake sawijining wanita utami lan Bethara Kamajaya sing nglambangake priyantun utama.

5. Mecah cengkir

Ing acara iki, cengkir bakal dipecah utawa disigar dening calon bapake bayi minangka simbol mbukak dalan kanggene bayi sing bakal lair saenggo mbesuk laire bisa liwat dalan sing sak mesthine.

6. Pantes-pantesan busana

Ing tahap iki calon ibu bakal ganti busana kaping pitu. Ing pangajab supaya ibu bisa tansah katon resik lan ayu nalika nglairake.

Ing kene bakal ana dialog antarane para pinituwa sing nuntun karo para undangan apadene keluwarga. Kabeh padha ditakoni apa sandhangan si ibu iku cocok utawa ora.

Ing wiwitan nganti pitakonan kaping enem para tamu mangsuli yen durung trep, nanging sing ganti busana kaping pitu ana owah-owahan jawaban yaiku dijawab sampun sae utawa pantes.

7. Angreman

Ing tahapan ik minangka ritual sing paling menarik amarga ibu lan bapak kudu niru tindak-tanduke ayam sing arepe ngendhog.
Maknane ritual iki minangka wujud tanggung-jawabe bapak kanggo urip lan kamulyane calon bayi lan ibune mbesuk.

8. Potong tumpeng

Acara kasebut sajatine ora kalebu acara pitu sing utama. Nanging senadyan mengkana tetep kudu rampung amarga iki minangka wujud syukur dumateng Allah SWT yen prosesi keselamatan wis ditindakake kanthi lancar.

9. Takiran Panting

Takiran panting minangka acara kanggo mbagi wadhah panganan sing digawe saka godhong gedhang lan janur. Bentuke takir sengaja digawe kaya prahu.

Wewangunan takir saka prau kuwi mratelakake yen wong tuwa saklorone siap ngarungi kehidupan kaya dene kapal ing samodra.

Panganan ing takir panting disuguhake minangka sajian lan minangka atur pisungsung marang para sesepuh lan para undangan liyane sing wis kersa rawuh.

10. Dodolan Dawet lan Rujak

Dawet lan rujak minangka panganan favorit wong wadon sing lagi ngandhut. Rujak dumadi saka pitung jinis woh-wohan seger.

Ing acara iki wong sing nampa dawet utawa rujak saka ibune calon bayi kudu mbayar dhuwit minangka syarat.

Bab iki ngandharake bilih calon ibu kudu siap makarya kanggo kesejahteraane sang bayi besuk.

Kaya ngono menggah maknane, ing wasono nyumanggakaken. Nuwun ***

Penulis pemerhati budaya, tinggal di tasikmadu Tuban.

TRADISI MITONI DALAM ADAT JAWA


Oleh: RUS RUSMAN.

Ritual tujuh bulan mengandung bayi atau yang lebih populer dengan sebutan "mitoni" ialah acara yang dijalani masyarakat Jawa saat seorang ibu hamil memasuki bulan ke tujuh.

Terutama ritual ini dilakukan untuk anak pertama.

Pada usia ke tujuh ini, secara medis janin dalam kandungan juga dinyatakan dalam kondisi hampir sempurna.

Pada saat seperti ini semua anggota keluarga merasa cemas sekaligus antusias sebab hari persalinan sudah menjelang tiba.

Bahkan tidak jarang ada kejadian bayi lahir pada usia tujuh bulan seperti ini.

Sebagian orang tua bahkan menyebut bahwa usia tujuh bulan dalam kandungan itu adalah masa-masa kandungan tua.

Memasuki delapan bulan kembali muda dan pada usia sembilan bulan menginjak tua yang sebenarnya.

Untuk itulah, tradisi Mitoni diadakan dengan maksud agar janin dapat tumbuh dan berkembang dengan lancar, sehat serta selamat.

Di kalangan keluarga tertentu menggelar prosesi Mitoni harus dilaksanakan melalui tahapan ritual secara berurutan.

Diawali dengan acara sungkeman, siraman, serta membagikan rujak kepada para undangan.

Di samping itu juga ada tradisi yang identik dengan simbolisasi benda-benda tertentu yang sarat akan makna keluhuran.

Tentu saja memerlukan perlengkapan yang beragam dan jumlahnya serba tujuh.

Antara lain berupa bubur tujuh warna, ketan atau jadah tujuh rupa, tumpeng yang berbentuk kerucut kecil, procotan yakni penganan yang terbungkus daun pisang, beberapa jajanan pasar, serta perlengkapan lainnya.

1. Sungkeman
Pada acara ini calon ibu dan ayah harus melakukan sungkem kepada kedua orangtua guna memohon doa restu agar selamat dan lancar saat pesalinan.

2. Siraman
Acara siraman berupa mandi (gebyuran) yang bertujuan untuk mensucikan lahir dan batin mental sang ibu serta calon bayi.

Calon ibu terbalut kain batik serta duduk lalu disiram dengan air yang ditaburi kembang setaman. Acara ini dipandu oleh seorang sesepuh perempuan dan anggota keluarga tujuh orang yang akan menyiram sang ibu dengan batok kelapa.

Prosesi siraman ini diawali oleh orang yang paling tua dan dilanjutkan dengan yang lainnya.

3. Cengkiran atau rogoh cengkir
Cengkir berarti kelapa muda yaitu sebagai simbol cikal bakal bayi yang kelak menjadi orang dewasa.

Cengkir jumlahnya dua buah yang digunakan sang ayah untuk ritual brobosan (meluncurkan).

4. Brobosan
Di tahapan ini ayah bayi akan meluncurkan dua cengkir dari balik kain yang dipakai oleh sang ibu.

Sebelumnya di tubuh cengkir harus dilukisi wajah Dewi Kamaratih yang melambangkan bayi wanita cantik dan Dewa Kamajaya yang melambangkan bayi pria rupawan.

5. Belah cengkir
Pada acara ini cengkir akan dipecah atau dibelah oleh sang ayah sebagai simbol untuk membukakan jalan si jabang bayi agar lahir melalui jalannya.

6. Pantes Busana
Pada tahapan ini sang ibu akan berganti busana sebanyak tujuh kali. Ini dimaksudkan agar ibu tetap kelihatan bersih dan pantas saat melahirkan.

Di sini akan terjadi dialog antara sesepuh yang memandu dengan para undangan.

Para kerabat ditanya apakah busana si ibu ini sudah pantas atau belum.

Pada urutan pertama sampai ke enam undangan menjawab belum pantas, tapi pada pergantian budana sing ke tujuh baru dijawab pantas.

7. Angreman
Pada tahapan ini paling menarik karena Ibu dan ayah akan menirukan gerakan ayam yang mengeram telur sambil berkokok keras.

Ritual ini sebagai bentuk tanggung jawab ayah atas kehidupan dan kesejahtreraan sang calon bayi beserta ibunya.

8. Potong tumpeng
Acara potong tumpeng ini sebenarnya bukan termasuk tujuh acara utama.

Namun tetap harus tetap dilakukan sebab merupakan bentuk rasa syukur bahwa prosesi selamatan tersebut telah dilaksanakan dengan lancar.

9. Takiran Pontang
Takiran pontang adalah acara membagi wadah makanan yang dibuat dari daun pisang dan janur yang dibentuk menyerupai perahu.

Bentuk takir perahu ini maknanya bahwa calon orangtua harus siap mengarungi kehidupan layaknya kapal di lautan.

Makanan pada takir pontang disajikan sebagai hidangan dan sebagai ucapan terima kasih yang dibagikan kepada para sesepuh serta undangan lain yang menghadiri upacara tersebut.

10. Jualan Dawet dan Rujak
Dawet dan rujak adalah makanan kesukaan orang hamil. Rujak terdiri dari tujuh macam buah-buahan segar.

Di acara ini orang yang menerima dawet atau rujak dari sang ibu harus membayarnya dengan sejumlah uang sebagai syarat.

Hal ini melambangkan bahwa ibupun harus siap bekerja keras apabila diperlukan demi kesejahteraan sang anak kelak.***

Keterangan:
Penulis adalah pemerhati kebudayaan. Tinggal di Tasikmadu Tuban.