-

Rusmannulis

Kamis, 16 Januari 2020

WAYANG:

JAYAJATRA KERANGKENG



Oleh: Ki Guru Rusman

(Selalu ada hikmah di balik setiap kisah)

PARA KSATRIYA PANDHAWA semakin bingung melihat matahari kian condong ke barat.

Bagaimana tidak, Arjuna telah bersumpah dia akan membunuh diri jika sampai matahari tenggelam belum berhasil membinasakan Jayajatra.

Seorang ksatria Kurawa yang tak tahu malu dan telah membunuh putra kesayangannya, yaitu si Abimanyu, dengan cara yang sangat licik dan keji.

Tentu saja Sengkuni yang banyak akalnya itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Diam-diam Jayajatra dia sembunyikan di sebuah kamar yang sangat gelap.

"Setidak-tidaknya sampai matahari tenggelam di ufuk barat nanti, kau harus tetap berada di sini," begitu pesannya.

Sementara itu di pihak lain para Pandhawa semakin gelisah. Puntadewa tidak lagi dapat berdiri, Bima semakin keras raungannya, Nakula Sedewa bahkan mulai menangis.

Haruskah Arjuna yang terkenal sakti itu mati hanya karena membunuh diri?

Sabdo pandhita pangandikaning ratu, kalo sampai matahari tenggelam dan Jayajatra tetap belum ditemukan sudah pasti ksatria jagonya para dewa itu tidak akan mengingkari sumpahnya.

Sudah pasti senjata pasopatii atau mungkin keris pulanggeni akan dia tancapkan sendiri di tubuhnya.

Oh adikku, tidakkah ada cara lain untuk mencegah hal itu? Para ksatria luhur itu semakin tak berdaya.

Tapi di sini ada Sri Kresna, sang penasehat perang para pandhawa. Mengapa ratu agung Dwarawati tidak segera bertindak?

Dengan mata merah Bima mendekati Kresna. Namun di depan Sri Kresna satriya yang tinggi besar itupun bagaikan terkunci lidahnya. Dia hanya mampu memandang, seolah-olah menanyakan apa yang harus dia lakukan.

Sebenarnyalah ratu Dwarawati itupun juga tengah gelisah. Sang penasehat pandhawa itu sedang memutar otak bagaimana menyelamatkan panengah Pandawa itu.

Dengan penuh kekhawatiran Kresna memandang Arjuna yang saat itu sedang berada di puncak sebuah pohon.

"Arjuna adalah suami Dewi Subadra yang berarti ia adalah adik iparku, bagaimana mungkin aku tega membiarkan hal ini," pikirnya.

Arjuna yang banyak digandrungi para wanita itu sengaja mencari tempat yang tinggi untuk mencari di mana keberadaan si laknat Jayajatra.

Namun sudah hampir seharian dia mondar mandir ke berbagai tempat, berjam-jam pula dia menaiki puncak pohon, si pengecut itu tak kunjung terlihat batang hidungnya.

Kini sang Arjunapun sudah hampir berputus asa. Sebenarnya bukanlah kematiannya yang akan ia sesalkan, melainkan keinginannya untuk membalaskan gugurnya si Abimanyu yang belum tercapai, itulah yang kini menyiksa dirinya.

Akhirnya dengan suara yang lembut Kresna memanggil adik iparnya itu. Tak ada pilihan lain bagi Arjuna selain segera menuruti panggilan kakandanya, sebab baginya Kresna bukanlah sekedar kakak ipar.

Raja berkulit hitam legam ini sekaligus adalah gurunya, penasehatnya atau bahkan penuntun dalam setiap jengkal kakinya.

Dengan langkah yang gontai Arjuna mendekati Kresna. Akan tetapi begitu mendengar bisikan sang guru di telinganya, tiba-tiba api bagaikan berkobar di tubuh Arjuna.

Ksatria jagonya para dewa ini segera mencari tempat terlindung untuk bersiap melaksanakan perintah Sri Kresna.

Dalam pada itu di dalam kamar yang sangat gelap raden Jayajatra merasa seperti di penjara. Telah hampir seharian dia menyekap diri di tempat terkutuk ini.

Baginya waktu bagaikan berjalan mundur. Lama sekali paman Sengkuni tidak memberi tanda, pikirnya. Bukankah hari sudah sedemikian gelap, itu berarti siang sudah berganti malam. Mungkinkah paman patih lupa dengan janjinya.

Satriya muda dari kurawa ini mencoba mencari lobang sekecil apapun untuk mengintip dari dalam kamar.

Namun jangankan lobang yang sebesar mata, selebar lidipun tak juga dia ketemukan. Akhirnya adik ipar Duryudana ini hanya bisa mengepalkan kedua tangannya sambil mengumpat-umpat dalam hati.

DI LUAR KAMAR agak mendekati jendela patih Sengkuni nampak tersenyum di hadapan para kurawa. Baginya detik-detik kematian Arjuna seperti tinggal menghitung jari.

Dia perintahkan kepada wadya kurawa agar jangan ragu-ragu untuk bersorak ria begitu matahari tergelincir di ufuk barat.

Sorak itu adalah laksana lonceng kemenangan sebab musnahnya Arjuna berarti separuh kekuatan pandhawa akan hilang.

Dan nampaknya orang tua itupun merasa bagaikan mimpi manakala dia melihat tiba-tiba sang surya seperti berlari meninggalkan bumi.

Di tengah kegirangan yang amat sangat para kurawa sama sekali tidak menyadari bahwa di bawah pohon agak jauh dari tempat itu, seorang lelaki berkulit hitam tengah duduk bersila sambil menengadahkan kedua tangannya.

Mulutnya berkomat-kamit dan bersamaan dengan itu selarik sinar putih terpancar ke atas menembus relung-relung awan di langit.

Perlahan-lahan sinar mentaripun bagaikan tertutup oleh gumpalan mendung membuat bumi semakin gelap.

Sejenak kemudian dengan aba-aba dari sang paman para kurawa bersorak gemuruh bagaikan suara air bah.

"Arjuna mati, Arjuna mati, ayo kita sambut kemenangan ini." Teriakan-teriakan yang dibarengi dengan sorak sorai ambata rubuh ini kontan didengar pula oleh sang Jayajatra dari dalam kamar.

Tanpa membuang waktu satriya muda yang merasa tersekap di dalam neraka itu segera mendekati jendela.

Dia ingin sekali menyaksikan Arjuna yang akan mati karena menggantung diri, atau menghantamkan kepalanya sendiri di atas batu, atau apapun yang penting orang sombong itu mati dengan cara yang memalukan.

Bagaikan seekor kuda yang lepas dari kandangnya Jayajatra segera membuka lebar-lebar daun jendela.

Dia lambaikan tangannya sambil berteriak-teriak kegirangan seolah-olah tidak mau kalah dengan saudara-saudaranya.

Satriya muda ini sudah bersiap untuk melompat keluar ketika tiba-tiba tanpa terduga langit menjadi terang kembali.

Dan bersamaan dengan itu sebatang anak panah telah meluncur bagaikan kilat menerjang kepala Jayajatra.

Panah Arjuna yang terkenal sakti dan dilontarkan dengan penuh kemarahan tak akan sedikitpun meleset dari sasaran.

Maka tanpa ampun lagi dalam sekejab saja kepala adik ìpar Duryudana ini telah terlepas jauh meninggalkan tubuhnya yang masih bertengger di bibir jendela.

Tak lama kemudian nampak dari balik sebuah pohon Sri Kresna keluar sambil membawa senjata cakraw yang telah ia gunakan untuk menutupi sinar matahari. Dan bersamaan dengan itu Ajunapun melangkah dengan penuh kepuasan.

Patih Sengkuni yang merasa dipermainkan tanpa berpikir panjang segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju.

Namun Bima dan bala tentaranya tentu tidak tinggal diam. Tanpa membutuhkan waktu yang lama para kurawa sudah kocar-kacir dan lari tunggang langgang pulang kembali ke Astina.***


"...Faqsusil-qasasa la'alahum yatafakkarun"
... maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir (mengambil hikmah)(QS. Al-A'raf: 176).


Keterangan:
Tulisan ini pernah kami tayangkan di kompasiana tgl. 8 September 2018.

Penulis adalah:
Praktisi pendidikan dan pemerhati wayang tinggal di Tasikmadu Palang Tuban.

Jumat, 10 Januari 2020

KIDUNG RUMEKSA SANG SULTAN TRENGGONO (TAMAT)




DI MALAM BERIKUTNYA, lantunan kidung emban Sentika terdengar semakin lemah dan parau. Ibarat nyala sebuah obor terasa kian redup cahayanya.

Sementara itu di dalam biliknya, Sultan Trenggono tiba-tiba saja bertanya kepada istrinya:

"Apakah fajar masih jauh Dinda?"

Kanjeng Ratu Anom termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang dalam ia menjawab:

"Ayam jantan sudah berkokok lewat tengah malam Kang Mas. Sebentar lagi kita akan sampai keujung malam ini."

Sang sultan tersenyum. Terdengar suaranya tensendat:

"Rasa-rasanya malam ini terlalu panjang. Betapa cerahnya matahari terbit di esok pagi."

"Kang Mas, kita sudah jauh melewati tengah malam. Kita sudah berada di awal hari yang baru. Tetapi matahari belum menampakkan cahayanya."

Kanjeng ratu mengerutkan keningnya. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya yang cantik.

Perlahan-lahan ia mendekati suaminya. Seolah-olah diluar sadarnya ia meraba pergelangan kaki sultan yang terbaring lemah itu.

"Kaki ini masih cukup hangat," berkata permaisuri di dalam hatinya. "Nampaknya segalanya masih berjalan wajar. Tapi bisa saja keadaan Kanda sultan berubah gawat, meskipun masih dapat merasakan rabaanku ini."

Namun demikian, selarik kecemasan telah melonjak di hati kanjeng ratu. Ia tidak tahu pasti apakah sebenarnya yang akan terjadi.

Tetapi rasa-rasanya perasaannya telah terguncang oleh kegelisahan.

KETIKA LANGIT menjadi merah oleh cahaya fajar dan ayam berkokok terakhir kalinya di malam itu, Sultan Trenggono mengerutkan keningnya.

Yang menungguinya saat itu adalah istrinya yang gelisah, yang duduk di atas dingklik kayu di sudut ruangan.

"Dinda..," desis sang sultan, "kau dengar ayam jantan berkokok?"

"Ya Kang Mas Sultan," jawab kanjeng ratu sambil bergeser mendekat.

"Itu pertanda bahwa hari baru akan datang."

"Ya Kang Mas."

"Dan umurku masih akan bertambah dengan sehari lagi."

"Ah," desis permaisuri, "Kang Mas masih akan melihat saat-saat matahari terbit dihari-hari berikutnya."

Sultan Trenggono tertawa. Katanya:

"Dinda, aku sama sekali tidak cemas melihat kenyataanku sekarang ini. Justru aku sadar, betapa kecilnya seseorang dihadapan Yang Maha Kuasa. Dan akupun pasrah, kapan aku harus menghadap-Nya."

Nyi Mas ratu tertegun. Tetapi ketika ia akan berbicara suaminya mendahuluinya:

"Mungkin orang lain perlu kata-kata penghibur, seolah-olah maut masih akan menjauhinya. Tetapi maut bagiku bukan sesuatu yang mencemaskan. Karena aku tahu, jika saatnya datang, tidak seorangpun akan dapat menghindar."

Nampak permaisuri itu semakin menunduk.

"Wong Ayu.., "bisik Sultan Trenggono seraya memegang tangan istrinya.

"Ya Kang Mas, "jawab permaisuri sambil mencium tangan suaminya.

"Ingatlah betul apa yang diarahkan Kanjeng Rama Sunan. Beliaulah sebenarnya tempat sandaran kita semua. Karena itu kita wajib mendengar petuah beliau."

"Ya Kang Mas."

"Jagalah anak-anakmu. Meski si Mukmin dan Nini Kencana bukan lahir dari rahimmu, namun aku yakin tak sedikitpun kau menganggapnya seperti itu. Percayakan pada Rama Sunan untuk membantu mengasuhnya."

Sultan berhenti sejenak, lalu katanya lagi:

"Kau harus tetap tinggal di lingkungan istana ini. Setidaknya di kaputren timur masih cukup luas untuk kau tempati."

"Kang Mas.., "bisik permaisuri yang kini justru semakin terisak tangisnya.

"Aku yakin dinda, Rama Sunan pasti tidak akan tega melepaskan anak-anak kita,"

Berkata begitu tangan Sultan Trenggono sambil membelai rambut dan kening istrinya, lalu katanya lagi:

"Kau harus tetap bersabar wong ayu."

Wanita yang masih nampak cantik di usianya yang tak lagi muda itu semakin menjadi-jadi tangisnya.

Wajahnya yang semakin nampak sayu segera ia tundukkan ke dada dan wajah suaminya.

"Istriku," berkata Sultan Trenggono kemudian, "bukalah pintu bilik ini. Aku ingin melihat, apakah cahaya fajar hari ini cukup cerah."

Seolah-olah di luar sadar Kanjeng Ratu Anom mengusap air matanya dan kemudian berdiri dan membuka pintu.

Udara yang dingin menyeruak di wajahnya dan menyusup ke dalam bilik itu.

"Segarnya udara pagi," berkata sang sultan.

Kanjeng ratu tidak menjawab. Tetapi untuk beberapa saat iapun tiba-tiba telah terpukau oleh warna-warna merah yang membayang di langit.

Ketika ia melangkah kepinggir serambi, maka iapun melihat bintang-bintang yang menjadi semakin suram.

Wanita itupun kembali mendekati suaminya. Tetapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan kenyataan yang berbeda.

Kini Sultan Trenggono tengah memejamkan mata dengan nafasnya yang tersenggal-senggal. Tentu saja hal ini sangat membuat gugup sang permaisuri.

"Kang Mas.., Kang Mas Sultan ..!" berkata wanita itu sambil meraba-raba wajah suaminya.

Hatinya agak ringan saat suaminya membuka mata sambil tersenyum lemah.

"Istriku .., "bisik Sultan Trenggono hampir tak terdengar.

"Kang Mas ...."

"Tempatkan kepalaku di atas pangkuanmu, sayang!"

"Ya, ya Kang Mas, " segera saja Kanjeng Ratu menuruti permintaan suaminya.

Tetapi sesaat wajah yang sayu itu sudah berada di pangkuannya, hal yang tak ia duga sama sekali terjadi.

Hati Kanjeng Ratu terkesiap ketika suaminya tersenyum sambil berkata pelan sekali:

"Terimakasih sayang, aku mencintaimu. Berhati-hatilah."

Dan mata Sultan Trenggono yang sakti itupun terpejam untuk selama-lamanya.

KONTAN GEGERLAH istana Demak Bintoro mendengar tangisan yang meledak dari dalam bilik Sang sultan.

"Kang Maaas ... !" Jeritan dari seorang istri yang kehilangan suami yang amat dicintainya. Tentu tak dapat dikendalikan lagi.

Orang-orang yang ada di sekitar pendapa terperanjat dan segera menghambur ke arah bilik sang sultan.

Namun terlambat, karena yang mereka dapatkan adalah dua sosok suami istri yang saling berpelukan.

Sang suami telah menjadi jenazah sedangkan si istri telah dalam kondisi pingsan. ***


÷= S E L E S A I =÷

Kesetiaan seorang istri kepada suami, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

"Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya” (HR. Tarmidzi)

Keterangan :
Sebagian dari kisah ini hanya imajinasi belaka.

Penulis adalah pemerhati sejarah dan praktisi pendidikan. Tinggal di Tasikmadu Palang Tuban.



KIDUNG RUMEKSA SANG SULTAN TRENGGONO (2)


Oleh: Ki Guru Rusman


MALAM MASIH SUNYI. Dari kejauhan suara emban Sentika tetap mengalun sendu.

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak.

SEDANG DI KAMAR DUKA Raden Bagus Mukmin masih setia menunggui ayahnya.
Anak muda yang masih berurai air mata itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Sultan Trenggono berkata:

"Sudahlah, sekarang berceriteralah tentang kalian. Tentang apa yang akan kalian lakukan terhadap peninggalan kakekmu Raden Patah, jika aku nanti dipanggil-Nya."

Pemuda itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang pula di dalam bilik itu.

Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, "Ampun kanjeng rama, janganlah berkata begitu. Semuanya akan baik-baik saja. Ramanda akan segera sembuh."

"Kalian harus siap. Bukankah kau tahu sendiri, kau adalah calon pengganti rama," namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, "Yang salah aku sendiri, karena selama ini aku tidak membimbingmu secara sungguh-sungguh."

Raden Mukmin bergeser sedikit. Jawabnya:

"Ampun kanjeng rama, janganlah begitu, selama ini ramanda adalah seorang ayah yang telah banyak memikirkan kami. Justru kami menyesal karena selama ini sering mengabaikan petuah-petuah ramanda."

Sultan Trenggono tersenyum, "Aku yang salah juga kalau saat ini cara memimpinmu masih nampak ragu-ragu," katanya lemah pula, "Oh, anakku. Aku merasa gagal menjadi seorang bapak yang baik bagi kalian."

Raden Mukmin melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Kanjeng Sultanpun kemudian berkata,"Kau tentu belum beristirahat, nanda. Beristirahatlah."

Putra Mahkota itu mengangguk hormat dan bibi tabib segera menggantikannya.

NAMUN KETIKA suatu saat pemuda itu duduk sendiri di dalam bilik Kanjeng Sultan, ayahandanya yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan perintah kepadanya.

"Apakah adikmu Karebet ada di sini juga? Panggillah."

"Baik Ramanda."

Dalam sekejab masuklah pemuda yang tak kalah gagah dengan putra Mahkota. Dialah menantu kinasih Sultan Trenggono, pemuda desa tingkir yang sekaligus murid pilihan Sunan Kalijaga.

"Aku titip istrimu Nini Ayu Cempaka. Ia adalah seorang wanita yang lembek hatinya," berkata Kanjeng Sultan hampir berbisik, "jika caranya bersikap masih sering ragu, maka di dalam kesehariannya kelak akan banyak persoalan-persoalan."

Sultan Trenggono berhenti sejenak, lalu lanjutnya:

"Untunglah kau sebagai suaminya mempunyai sifat yang agak lain. Mudah-mudahan kau berhati seluas samudra. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh bersikap. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadap si nini."

Mas Karebet menunduk. Ia mengerti sepenuhnya maksud mertuanya. Maka iapun berpikir untuk tidak lagi berpaling ke wanita lain. Aku bertekad untuk menyayangi dinda Ayu Cempaka sampai tuntas, sebagai bentuk rasa cintaku kepada keluarga yang terhormat ini.

Namun selanjutnya terdengar Kanjeng Sultan berkata pula: "Tetapi ngger, kaupun harus berpikir pula tentang masa depan keraton Bintoro. Sebenarnyalah aku akui, kau lebih prigel dari kakangmu Mukmin, baik soal perang, daya kesaktian, maupun mengelola negara.

Jika kalian terlalu berlarut dalam suasana sedih ini, maka hal itu tidak baik bagi kepemimpinan negeri ini."

"Aku juga sudah memberikan banyak nasehat kepada Nyi Mas Permaisuri," berkata Sultan Trenggono lagi,"tetapi iapun harus selalu didampingi setiap kali. Dan itu adalah tugasmu, karena kau adalah menantu yang sudah kami anggap sebagai anak sendiri."

Mas Karebet memandang wajah mertuanya itu. Ia sangat berterima kasih atas segala pesan-pesannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa Kanjeng Sultan harus banyak beristirahat.

Karena itu dengan hati-hati ia kemudian berkata: "Ramanda, hamba sangat senang mendengar petunjuk-petunjuk rama. Tetapi hamba mohon paduka dapat beristirahat agar keadaan rama menjadi bertambah baik."

Dan ketika Sultan Trenggono tersenyum dan menganggukkan kepala, maka pemuda sakti itu segera keluar bilik mertuanya. Nyai tabib segera menggantikan kedudukannya.

NAMUN PEMUDA dari Tingkir itu mengerutkan keningnya ketika di malam berikutnya ia dipanggil lagi oleh mertuanya. Baginda itu bertanya, "Kau belum tidur ngger?"

Karebet termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil melangkah mendekat ia menjawab, "Belum ramanda."

"Apakah masih ada tamu disini?"

"Tidak rama, hanya para pengawal istana yang ada. Sedang ibunda ratu sedang berbincang di luar."

Sultan Trenggono berdesis lembut. Dan Mas Karebetpun melanjutkannya:

"Tapi saat ananda bertemu bapa Sunan beliau menyatakan insyaAllah petang ini berkenan pula menjenguk ramanda."

"Guru sunan? "Sultan mengulang dengan suaranya yang dalam.

"Ya, ramanda."

"Oh, bukankah aku sudah mencegah agar sakitku ini jangan diberitakan kepada guru."

"Ma'af ramanda, justru beliau yang menanyakan padaku bagaimana keadaan ramanda."

Sejenak Kanjeng Sultan terdiam. Terbayang olehnya seorang tua yang bijaksana. Semua yang dikatakan beliau selalu menjadi pedoman bagi orang lain.

Pikiran sang sultan lantas teringat beberapa tahun yang lalu, saat ia sendiri yang meminta Sunan Kalijaga berkenan menjadi Imam Masjid Agung berdampingan dengan Kanjeng Sunan Kudus.

Namun tidak seberapa lama Kanjeng Kudus sendiri justru minta mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada para santrinya.

"Rama sunan ...!" teriakan dari luar membuyarkan lamunan Sultan Trenggono.

"Oh, aku harus bersiap-siap menyambut kehadiran bapa sunan," pikirnya.

Sultan yang sedang sakit itu lantas tersenyum. Katanya:"Ya Dinda Ratu, aku sudah bersiap datang ke pendapa untuk bertemu kanjeng mertua," berkata Raja Demak itu.

"Ayo Dinda Ratu, bimbinglah aku ke sana. Keadaanku cukup baik untuk menerima kehadiran bapa mertua sekarang."

Mas Karebet termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar, bahwa keadaan sultan benar benar gawat. Wajahnya seakan-akan menjadi semakin pucat, sedangkan nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.

Tetapi pemuda itu tidak mengatakan sesuatu. Ia masih melihat wajah mertuanya yang dihiasi dengan senyum sambil memandanginya.

Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian melangkah untuk melihat ke pendapa.

Namun belum sempat ia berdiri, anak muda itu tertegun ketika di depan pintu kamar tiba-tiba saja telah muncul seorang kakek yang tersenyum hangat memandang ke arah mereka.

Guru sunan diantar oleh putrinya Kanjeng Ratu Anom berdiri dimulut pintu bersama putra-putri lainnya.

Secerah kegembiraan nampak diwajah Sultan Trenggono melihat kedatangan orang yang dia hormati.

Namun sebaliknya, wajah Sunan Kalijaga yang kemudian menjadi muram melihat Sultan Demak yang perkasa itu terbaring dengan wajah yang pucat dan tubuh yang nampaknya sangat lemah.

Bagaimanapun juga orang tua ini teringat di saat terakhir angger raja berjuang untuk kejayaan negerinya. Bahkan ia sendiri selalu menyarankan agar tugas negara selalu diutamakan.

"Lā yastawil-qā'idụna minal-mu`minīna gairu uliḍ-ḍarari wal-mujāhidụna fī sabīlillāhi bi`amwālihim wa anfusihim".

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk saja dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya." (QS. An-Nisa':95)


Sunan Kalijaga menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang lembut ia bertanya:

"Bagaimana keadaan Nanda Sultan saat ini?"

Sultan Trenggono masih tersenyum. Namun ia justru bertanya tentang keselamatan perjalanan sang mertua.

"Alhamdulillah, perjalananku tidak menjumpai kesulitan apapun sultan," jawab Sunan Kalijaga.

Orang tua itu meraba tangan yang lemah. Terasa tangan itu sangat dingin dan lemas. Bahkan rasa-rasanya tubuh Sultan Trenggono itu tinggal kulit yang membalut tulang.

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang sambil sekali-sekali orang tua itu juga memberikan dorongan dan harapan bagi yang sedang sakit.

Tapi ketika kemudian Sunan Kalijaga meminta kehadiran Permaisuri dan Pangeran Bagus Mukmin ke dalam bilik itu, nampak mereka berempat membicarakan hal yang sungguh penting cukup selama. Entah apa yang mereka bicarakan.

Dan suasana menjadi cair ketika Sunan Kalijaga keluar dari bilik dan mendapatkan cucu-cucunya yang masih ada di situ.

Mereka berangkulan menangis di pangkuan eyang Sunan, di temani ibunya yang tidak kuasa pula membendung air matanya.

BERSAMBUNG

Rabu, 08 Januari 2020

KIDUNG RUMEKSA SANG SULTAN TRENGGONO


Oleh: Ki Guru Rusman


SUATU MALAM .., dari sebuah rumah yang terletak di antara rimbunan pohon bambu, di bibir kolam kecil, seorang perempuan tua tengah duduk bersedekap.

Matanya terpejam menghiasi wajah yang sudah mulai keriput. Bibirnya terus bergoyang-goyang melantunkan tembang yang begitu indah dirasakan.

Suaranya mengalun mendayu-dayu, menelusup di antara dedaunan yang bergoyang pelan, di terpa angin malam.

Ternyata wanita itu adalah emban Sentika, seorang pelayan istana Keraton Demak Bintoro.
Malam ini emban tua itu sedang menjalankan tugas dari junjungannya, ialah Kanjeng Ratu Anom.

Betapapun beratnya beban itu namun baginya tugas adalah amamah. Amanah dari seorang istri raja yang amat disayanginya, tempat ia bertekad meletakkan pengabdian hidupnya hingga akhir hayat.

Emban Sentika harus melantunkan kidung di sepanjang malam. Kidung untuk mengunduh kemuliaan malam sebagai pelengkap dari dzikir, sebab orang Jawa akan gemregah tangi saat do'anya dilengkapi dengan tembang.

Maka kidung gubahan Kanjeng Sunan Kalijaga ini hanya berhenti saat pelantunnya mengambil air wudhlu dan betsholat malam, berdzikir, dan melantunkan tembang lagi.

Lamat-lamat suara perempuan tua itu, kadang terdengar agak jelas namun sekejab kemudian terasa begitu jauh mendayu-dayu.

KIDUNG RUMEKSA ING WENGI

TEGUH hayu luputa ing lara,
Luputa bilahi kabeh,
Para makhluk liya datan purun,
Paneluhan tan ana wani,
Niwah panggawe ala,
Gunaning wong luput,
Geni atemahan tirta,
Maling adoh tan ana,
Ngarah ing mami,
Guna duduk pan sirno."

(https://www.suaramerdeka.com/gayahidup/baca/773/kidung-rumekso-ing-wengi)

Kidung yang bernada keprihatinan itu telah membuat malam semakin nglangut, menciptakan suasana yang kian sunyi, seolah-olah Keraton agung itu hanyalah kumpulan rumah yang tak berpenghuni.

Akan tetapi meskipun lantunan kidung itu membuat banyak orang terasa merinding, anehnya hati Kanjeng Ratu Anom justru berangsur sejuk bagaikan tersiram air salju.

Permaisuri Demak Bintoro itu meresapi betul makna kidung yang ia pesan dari ayahnya sendiri, agar suaminya tidak berlama-lama dalam penderitaan.

"Ma'af Kanjeng Rama Sunan, kalau kakanda sultan bisa sembuh mohon segeralah sembuhkan," kata wanita itu sambil berurai air mata," namun andaikan Allah SWT nenghendaki lain ..duh ramaa, biarlah tak ada rintangan sedikitpun,"

Sunan Kalijaga memandang penuh iba kepada putrinya, sambil mengangguk pelan beliau berkata:

"Wahai jebeng, kita hanya bisa bermohon,"katanya sambil mengusap rambut sang putri," dan semua yang akan terjadi tentu atas kehendak Allah SWT."

"Lā yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā,"
Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya."
(QS. Al-Baqarah: 286).


MALAM INI ADALAH MALAM YANG MENDEBARKAN, malam yang penuh misteri antara hidup dan mati sang suami.

Ialah Kanjeng Sultan Trenggono yang merupakan raja ke-tiga kasultanan Demak Bintoro (1505-1546).

Seorang raja besar yang berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga kawasan timur. Mulai dari Tuban, Gelanggelang (Madiun), Surabaya, Blitar, Malang dan Pasuruan.

Namun sungguh disayang, belum lagi tugas yang maha berat itu dapat terlesaikan, belum tuntas rasanya sang raja mengepakkan genderang perang, ternyata takdir harus berbicara lain.

Petualangan sang raja besar itu harus terhenti di saat-saat beliau bersama pasukannya tengah menyusun strategi.

Sebagaimana ditulis oleh FERNANDES MENEZ PINTO, seorang sejarahwan dari Portugis, waktu itu Demak dalam upaya penaklukan daerah timur, tepatnya di PANARUKAN yang dikuasai Blambangan pada tahun 1546.(https://id.m.wikipedia.org /wiki/Trenggana).

Saat sang raja yang sedang memimpin perundingan untuk menyusun penyerangan pada esok hari, tiba-tiba saja beliau mengalami kejadian yang tak terduga.

Seorang Sultan linuwih dari kerajaan besar menjadi terluka parah hanya karena tusukan pisau pembantunya, yakni bocah berusia 10 tahun yang merupakan persembahan adipati Surabaya.

Hampir tak masuk di akal memang, tetapi ternyata semua telah terjadi. Anak yang dianggap teledor itu merasa tersinggung atas cara sang sultan menghardik dirinya di depan orang banyak.

Dan ternyata anak yang selalu menyelibkan pisau dapur di balik punggungnya itu tak kuasa menahan gejolak amarah, tak terampunkan pisau itu tepat menancab di ulu hati sang sultan.

Mungkin ini suatu pelajaran buat kita semua:

"Fa qụla lahụ qaulal layyinal la'allahụ yatazakkaru au yakhsya."

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS. At-Thaha: 42).
KINI SULTAN yang perkasa itu berbaring lemah di atas tempat tidurnya, di sebuah ruang yang indah berdinding batu pualam, setelah berhari-hari beliau dipulangkan oleh para pembantunya.

Di samping pembaringannya ada sang ratu anom yang juga putri Sunan Kalijaga, nampak tengah duduk sedih.

Perasaannya terhanyut ke dalam satu suasana yang senyap, memandang tak jelas apa yang dipandang.

Tabib istanapun laki-laki maupun perempuan tak henti-hentinya menjaga dan merawat, di samping para pengawal yang menjaganya dengan sangat ketat pula.

Di belakang Kanjeng Ratu Anom ada Raden Bagus Mukmin, sang putra mahkota yang secara bergantian menunggui ayahnya pula.

Raden Bagus Mukmin (=Sunan Prawoto) konon adalah putra sultan patutan dengan Kanjeng Ratu Sepuh. Istri Sultan Trenggono yang berasal dari Cirebon.

(https://kanzunqalam.com/2018/11/03/misteri-kekerabatan-sultan-trenggono)

Dengan Kanjeng Ratu Sepuh sultan memiliki putra putri, Bagus Mukmin dan Nimas Ratna Kencana (=Ratu Kalinyamat).

Sedang dengan Kanjeng Ratu Anom sang sultan menurunkan Nimas Ayu Cempaka (istri Karebet) dan Pangeran Timur (kelak menjadi adipati Madiun).

Kini di saat ibunya sendiri sudah tiada, Raden Bagus Mukmin merasakan kasih sayang yang tulus dari Kanjeng Ratu Anom, tak ubahnya seperti ibu kandungnya sendiri.

Karena itu ia dan adiknya Nimas Ratna Kencana pun sangat hormat dan bekti kepada ibunda Ratu Anom.

KINI DI UJUNG MALAM Raden Bagus Mukmin terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar ramandanya berbisik: "Masuklah!"

Dengan ragu-ragu pemuda itu melangkah masuk. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia kemudian melihat ayahnya memiringkan kepalanya.

Seleret senyum membayang di wajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau di kerongkongan, "Kau ada di sini, ngger?"

Rasa-rasanya dada Raden Mukmin bagaikan bergetar. Suara Sultan Trenggono yang lemah, dalam dan parau itu, bagaikan pertanda yang baru padanya tentang keadaan sang ayah.

Perlahan-lahan pemuda itu melangkah mendekati tubuh ayahandanya. Sementara di dalam kamar terdapat juga ibunda dan seorang wanita setengah tua yang merupakan tabib istana.

Putra putri lainnya termasuk sang menantu Mas Karebet masih tetap bersiap di luar. Mereka telah dipesan ibundanya untuk berada di dekat pintu kamar saja.

"Kecuali kalau ibu panggil karena ayahanda memerlukanmu," begitu pesan ibunda yang diingat putra-putri sultan itu.

Raden Mukminpun kemudian duduk di sebuah kursi kayu di sisi pembaringan sang sultan. sementara yang lain berdiri selangkah di belakang pemuda itu.

"Ramanda ..," tiba-tiba saja putra sulung itu berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya.

Sultan Trenggono tersenyum. Katanya, "Bagaimana keadaanmu anakku, apakah kalian baik-baik saja?"

Putra raja itu mengangguk. Mau tidak mau air mata telah membasahi pipinya.

Jawabnya: "Ya ramanda, kami baik-baik saja. Kanjeng rama harus segera sembuh, kasihan ibunda ratu dan putra-putri lainnya yang masih banyak memerlukan bimbingan."

"Jangan menangis kau Mukmin, "kata Kanjeng Sultan lemah, "Kau seorang lelaki perkasa. Bukankah guru sunan mengajarkan pada kita untuk bisa tegar menghadapi segala cobaan?"

"Ya ramanda. Ma'afkan anakmu ini, yang tidak bisa menjaga keselamatan ramanda," jawab Raden Mukmin sambil menangis.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian:

"Lukaku memang parah. Kau berada jauh dari tempatku waktu itu. Tetapi ngger, segala tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa."

"Ah!"desah anak muda itu, "Kita semua di sini akan berusaha banyak untuk menyembuhkan ramanda."

Sultan yang rambutnya mulai memutih itu tersenyum lagi. Katanya:

"Aku sangat berterima kasih kepada semua pihak. Kepadamu juga. Dinda permaisuri yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada paman dan bibi tabib. Kepada semuanya yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit ini."

"Ramanda akan sembuh." potong Raden Mukmin.

Tetapi Sultan Trenggono tersenyum pula. Dengan suara gemetar ia berkata pula:

"Jangan seperti kanak-kanak Mukmin, seolah-olah kita dapat menahan putaran hidup tentang diri kita masing-masing. Tetapi itu bukan berarti aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obatku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang."

Raden Mukmin menarik nafas dalam-dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang ayah yang sangat mapan dalam pikiran dan hatinya.

Jika ia mengenang bagaimana keperkasaan Rama Sultan saat berada di medan peperangan yang merupakan seorang ksatria sejati, maka ketika maut itu sendiri datang mendekatinya iapun sama sekali tidak meronta.

"Ia adalah seorang ayah dan panutan hidupku," berkata Raden Mukmin dalam hatinya.

"Kini kalau akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi, itu adalah karena keteledoranku. Betul-betul seorang anak yang lemah aku ini. Apa yang sedang aku lakukan saat itu sehingga tak mampu menjaga keselamatan kanjeng sultan. Oh, ma'afkan aku Ramanda."


BERSAMNUNG

Keterangan:
Sebagian dari kisah ini hanyalah imajinasi belaka.