-

Rusmannulis

Kamis, 27 Mei 2021

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (4 Tamat)



JERITAN kedua wanita yang tak disangka-sangka itu sedikit mengejutkan Sang Wilatikta, maka tangan yang telah terlanjur mengepal itupun bagaikan terhenti di tengah jalan, meskipun tak hendak ditariknya pula. 


Tergopoh-gopoh kedua wanita itu menghampiri orang-orang yang dikasihinya. Seperti digerakkan oleh gerak naluri Dewi Nawang Arum segera meraih tangan suaminya yang berancang-ancang di atas, sedang Dewi Sari menarik tubuh adiknya semampu-mampunya.


Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, tenaga kedua wanita bangsawan Tuban itu seperti menghadapi patung yang terbuat dari batu. Sama sekali tak ada artinya baik tarikan sang ibu pada tangan suaminya maupun rangkulan sang kakak yang menggeret tubuh adiknya. 


Kedua tubuh pria yang mereka kasihi ini tiba-tiba tak ubahnya seperti kekuatan gaib yang tak akan bisa diluluhkan oleh siapapun. Maka yang ada sekarang adalah tangisan yang disertai ratapan Dewi Nawang Arum maupun Dewi Sari agar semua ini dihentikan.


“Kanjeng, aku mohon kanjeng hentikan,” kata Dewi Nawang Arum “dia adalah putra kita sendiri.”


“Ya ayah, jangan teruskan ayaaah!” jerit Dewi Sari pula “ayo dimas, mundurlah dimas Syaid.”


Kakak perempuan Raden Syaid itu berteriak-terikan sambil mencoba mengangkat tubuh adiknya. 


Namun semua itu seakan-akan tidak ada gunanya sehingga tangisan kedua wanita itu semakin tak terkendali.

Lantas, apakah sesungguhnya yang sedang terjadi? 


Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak tahu bahwa Sang Wilatikta saat itu telah dirasuki oleh ajiannya yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang, ialah: *Aji Gelap Sayuta.*


Ajian yang merupakan salah satu ciri khas Adipati Tuban ke-8 ini secara spontan hadir saat dia menggebrak pintu kamar sembari berteriak akan membasmi para brandal Loka jaya. 


“Aku sendiri yang akan melenyapkan para berandal tak berguna itu !” 


Begitulah suaranya yang sangar dan sangat keras telah memancing hadirnya salah satu ajian yang dimilikinya, yang selama ini menjadi andalan di medang perang sebagai Raden Sahur sang senopati linuwih kerajaan Majapahit.


Dan suara yang menggelegar bagaikan petir menyambar itulah yang agaknya tadi telah mengundang Dewi Nawang Arum dan Dewi Sari untuk berlari mendatangi serta memastikan apa yang sedang terjadi pada Sang Adipati.


Sesungguhnya saat itu bukan Raden Syaid tidak memahami apa yang sedang menjalar dalam diri ayahnya, bukan ia tidak mengerti betapa bahaya telah mengancam atas kekuatan ajian Gelap Sayuta. 


Pangeran Tuban itu sepenuhnya tahu bahwa kekuatan ajian ini bukan saja pada suara yang menggelegar laksana geludug namun juga pada kedasyatan tenaga dan pukulan pemiliknya yang melebihi tenaga sepuluh gajah.


Namun karena tanggung jawabnya terhadap kawan-kawan yang dipimpinnya itulah yang mendorong kenekatan Raden Syaid untuk menerima apapun yang akan dia alami dari kemarahan sang ayah.


Pemuda yang telah ditempa oleh tingginya bukit, dalamnya jurang serta hantaman ombak laut utara ini seperti tak menghiraukan resiko apapun seandainya tangan ayahnya yang dialiri oleh kekuatan hebat itu benar-benar akan menghantam dada atau kepalanya.


Dan tentu bukanlah salah Raden Syaid pula kalau tanpa dia sengaja telah hadir kemampuan yang bersemayam dalam dirinya yang selama ini ia asah dengan berbagai rintangan di alam liar. Yang telah ia matangkan dengan cara keluar masuk hutan guna membela orang-orang lemah bersama temannya. 


Tiba-tiba saja piandel yang ia miliki telah merasuki tubuhnya tanpa ia sendiri berniat mengundangnya. Raden Syaid telah didorong oleh naluri untuk membentengi diri saat merasa terancam oleh suatu kekuatan dari luar, ialah dengan ajian: *Tameng Waja.*


Begitulah meskipun nampak wadak Pangeran Tuban itu tengah memeluk kaki sang ayah dengan kepasrahannya, namun sesungguhnya di depan dua wanita itu tengah berhadapan dua ajian yang sangat dasyat yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Sebagai seorang linuwih Adipati Wilatikta tahu dan merasakan pula apa yang terjadi dalam diri anaknya.


“Kurang ajar kau Syaid. Kau telah berani melawan ayahmu sendiri,“ bentak sang Wilatikta “minggir, minggiir! Seberapa kekuatan yang akan kau pamerkan pada ayahmu, he? Kau anak kemarin sore. Ayo hitung semua ajianmu, ingat-ingat semua rapalmu, tak akan mungkin Raden Sahur ini lari dari seorang bocah kecambah sepertimu.” 


TERKEJUTLAH pemuda itu atas teguran ayahnya, kini ia sadar dengan siapa dirinya berhadapan. Ia yang sebenarnya tidak bermaksud melawan ayahnya, namun sang ayah yang merupakan senopati Majapahit itu telah merasakan hadirnya ajian Tameng Waja dalam dirinya.


Maka buru-buru Raden Syaid melepas pelukannya, dan dengan membungkuk hormat pemuda itu perlahan-lahan mundur beberapa langkah. Kini iapun nampak duduk menunduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.


“Ampun ayahanda, ampunkan putramu yang tak tahu diri ini,” katanya lirih “putranda tidak bermaksud menentang paduka.”


"Jangan kira kau mampu melunturkan tekad prajurit Majapahit, hai bocah!" Suara Wilatikta masih menggelegar.


Dan suasana menjadi semakin tegang ketika sang adipati tiba-tiba membalikkan badan dan melangkah tegak ke arah ruang pusaka. Raden Syaid spontan berdiri dan berbarengan dengan itu terdengar pula teriakan sang ibu serta kakak perempuannya.


"Kanjeeng janganlah kanjeeng, kasihanilah istrimu ini!" ratapan Dewi Nawang Arum tak terbendung lagi.


"ASSALAMUALAIKUM ... !" tiba-tiba seorang lelaki datang tergopoh-gopoh mendekati mereka, "Heh, ada apa ini!?"


Raden Syaid yang hendak berlari mendekati sang Wilatikta terhenti langkahnya. Suara yang sareh itu bagai memberi harapan terhadap kebuntuan ini. Namun belum sempat Raden Syaid melangkah, ibunya sudah mendahului mendekati lelaki itu.


"Paman, oh pamanda Ngraseh. Tolong hentikan kanjeng Wilatikta ..!" Ratap Dewi Nawang Arum kepada pria tersebut. Rupanya yang baru datang adalah Pangeran Ngraseh, adik Nyi Arya Teja atau ibunda Adipati Wilatikta.


Dalam pada itu langkah Adipati Tuban juga menjadi terhenti oleh kedatangan pamannya. Ia ingat betul, mendiang ibundanya pernah mewanti-wanti agar ia selalu menghormati adik kandungnya ini. Lagi pula paman Ngraseh adalah sosok yang suka mengalah dalam banyak hal.  Ia adalah ulama yang mewarisi karisma Kakek Arya Teja, yang juga adipati Tuban sebelumnya. Karena itu aku tak boleh menyepelekan beliau, pikirnya.


Terdorong oleh luapan emosinya dan pada sisi lain ia harus menghormati kehadiran sang paman, maka Adipati Wilatikta segera menghentikan kakinya.


Lelaki itu lantas berkata kepada Pangeran Ngraseh:


"Oh paman, mari silahkan pamanda ageng, "katanya sambil menunduk, "ma'af tadi ada yang harus saya peringatkan pada anak saya si Syaid."


"Sudahlah Nakmas Adipati, ayo kita sejukkan dulu hati kita," kata Raden Ngraseh dengan tersenyum, "Sini-sini semuanya kita duduk bareng. Ayo Nini Sari, tikar yang ada di Pringgitan itu digelar di sini. Kita tenangkan hati kita dahulu." 


Mau tidak mau semua harus duduk di atas tikar yang disiapkan Dewi Sari. Tidak terkecuali Adipati Wilatikta, meskipun dalam hati ia tak bisa menerima perlakuan pamannya. Tapi apa hendak dikata, karena beliau ini juga pewaris tahta Tuban. Putra Ki Arya Dikara (Adipati ke-6) yang berarti darah Ranggalawe juga.


Kini wajah-wajah yang semula membeku laksana gumpalan es itu berangsur-angsur mencair. Apalagi saat Ki Ageng Ngraseh mengajak semua yang hadir membaca do'a, memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.


Maka begitulah, Ki Ageng Ngraseh tanpa direncanakan segera memimpin sidang kecil ini. Agaknya sidang keluarga  inilah yang memutuskan bahwa Raden Syaid harus segera membubarkan laskar Lokajaya. 


Dewi Nawang Arum dan semua yang hadir sangat berterimakasih atas kebijaksanaan pamanda Ngraseh. Adipati Wilatiktapun luluh hatinya dan segera mencium tangan Ki Ageng saat  pamannya minta diri.


Akan halnya Raden Syaid yang besuknya meminta restu para sesepuh kadipaten untuk melaksanakan tugasnya. Bagi dia bukan soal pembubaran para brandal itu yang sulit, melainkan apa yang akan dilakukan para laskar itu setelah dibubarkan. 


Maka Raden Syaid merasa harus tetap mendampingi teman-temannya. Ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, ia memerlukan waktu panjang untuk menyadarkankan hati mereka. 


Diceritakan Pangeran Tuban ini sangat lama tidak kembali ke dalem kadipaten, sehingga orang-orang yang mengasihinya sangat rindu padanya. Akhirnya ia bertemu dengan guru pertamanya, yakni Sunan Bonang di hutan Jatiwangi. Tak puas hanya itu ia juga melanglang buana dari satu guru ke guru lainnya.


***


SEMBURAT merah memancar dari ufuk timur, sang fajar telah datang mendahului sinar pagi. Menyeruak di antara batang-batang ental yang kokoh berdiri di hamparan pasir. Dan lambaian daun-daun rontal meniupkan angin yang semilir sejuk, seirama dengan gulungan ombak di pantai laut utara. 


Alkisah, seluruh anggota berandal Lokajayapun pada akhirnya berhasil di-Islam-kan oleh seorang sunan muda yang tiada lain adalah pimpinan mereka sendiri. Konon dialah satu-satunya wali di tanah Jawa yang berhasil bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima *Ilham Semar Sejati.*


Sebagaimana beliau kisahkan sendiri melalui karyanya yang diberinya judul *Suluk Linglung,* pangeran Tuban itu telah menjelma menjadi seorang waliyullah besar.


Adalah Sunan Kalijaga, siapa yang tak kenal namanya? Dialah sang Lokajaya atau Raden Mas Syaid atau Pangeran Abdurrahman atau Syeh Malaya atau *Sira Ingkang Sinuwun* Kanjeng Sunan Waliyullah Tanah Jawi Langgeng Ing Bawana.


Sekali lagi, sang fajar telah datang. Teriring tembang Asmaradana pada Pupuh II bait ke-6 dan ke-7 dalam Suluk Linglung karya sang Waliyullah langgeng ing Tanah Jawi:


"...6. Den becik gama nireki, 

agama pan tata krama, 

krama  –kramate Hyang Manon, 

yen sirapanata syarak, 

sareh iman hidayat,

hidayat iku Hyang Agung, 

agung ing ngrahanira."


... Perbaiki ketidak aturan yang ada, 

agama itu isinya tata krama, 

Juga kesopanan untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Tahu, 

Jika engkau memegang erat syariat, 

serta semua ketentuan iman hidayat, 

hidayat itu asalnya dari Allah yang Maha Agung, 

yang sangat besar anugrah-Nya.


".. 7. Kanugrahane Hyang Widhi,

ambawani kasubdibyan,

pangawasane pan dene, 

kadigdayan kaprawiran, 

sakabeh rehing yuda,

tan liya nugraha luhur, 

utamane kautaman."


... Kanugrahan dari Allah, 

meliputi dan menimbulkan keluhuran budi,

adapun kekuasaan-Nya melahirkan kekuatan yang luar biasa, 

melingkupi segala kebutuhan berjuang,

yang demikian itu adalah anugrah yang besar,

paling utama dari segala keutamaan.***


Demikian semoga bermanfaat.


Tasikmadu, 28052021.

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (2)




Bangunan itu berbentuk joglo dengan atapnya yang lebar dan tinggi menjulang, memiliki halaman yang cukup luas dengan pepohonan hijau di sana-sini. 


Dua di antara pohon-pohon itu adalah lambang keperkasaan pemiliknya yaitu pohon beringin yang mungkin sudah berumur hampir seratus tahun. Masing-masing berdiri kokoh di kanan kiri agak berdekatan dengan gapura masuk yang besar dan megah pula. 


Itulah istana pribadi Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban yang ke-8 atau generasi Ronggolawe ke-7 yang dikenal pula dengan nama Raden Sahur sang senopati kesayangan Raja Majapahit.


Pagi itu suasana kediaman sang Adipati terasa sejuk dan tenang. Dengan dada yang berdentangan Raden Syaid sudah menyusuri jalan kota yang menuju ke rumahnya, ialah rumah yang dibangun oleh ayahnya dalam kedudukannya sebagai Adipati. 


Ada sesuatu yang terasa mengganjal hati anak muda itu untuk memasuki halaman rumah yang luas itu.

Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki gapura samping yang agaknya langsung menuju ke bagian butulan. 


Ketika seorang pembantu telah melihatnya maka dengan hati-hati pria itu mendekatinya sambil membungkuk-bungkukkan punggungnya.


 “Ayahanda telah menunggu di pringgitan,” kata pengawal itu, “Beliau berada di tempat itu sejak pagi-pagi sekali. Bahkan tadi malam sampai larut malam beliau menunggu Den Mas di pringgitan itu juga.”


Terasa sesuatu berdesir di dalam dada anak muda itu. Agaknya persoalan ini telah benar-benar membuat ayahandanya sangat berduka. Maka pikiran Pangeran Tuban itupun menjadi semakin tak menentu.


“Silahkan Den Mas segera menghadap beliau. Memang kami mendengar bahwa sebagian pasukan yang Raden bawa telah memasuki regol Utara tadi malam. Berita itu telah sampai ke telinga kami di sini. Malahan juga ke semua penjaga gerbang yang ada di kota ini.”


Dada Pangeran Tuban menjadi semakin berdebaran. Memang saat itu ia ditugaskan untuk mendampingi para prajurit kerajaan mendatangi orang-orang pembangkang pajak.


Bahkan ia diminta juga membawa para pengawal Tuban sebagai pendamping. Di antaranya sebagian sudah dimintanya pulang tadi malam.


Namun ketika orang-orang Majapahit itu menyakiti sebagian rakyat jelata, tiba-tiba muncul serombongan orang yang dikenal dengan nama kelompok Lokajaya. Mereka tidak lain adalah kawan dari Putra Tuban itu sendiri.


Pimpinan prajurit yang mengetahui hal itu menjadi marah dan berjanji akan melaporkannya kepada Panglima Kerajaan.


Raden Syaid yang teringat akan hal itu nampak berdesah. Maka untuk mengusir kegelisahan itu lantas ia serahkan kudanya kepada pengawal sambil berkata, “Aku akan segera menghadap ayah.”


Raden Syaid mengatur dirinya sejenak. Kemudian ia pun memaksa kakinya untuk melangkah lewat emperan samping menuju ke pendapa.


Dengan dada yang masih berdentangan Raden Syaid naik ke pendapa tempat Ayahandanya sedang duduk. 


Adipati Wilatikta seperti yang dikatakan oleh pengawal tadi, memang berada di pringgitan. Duduk di atas tikar rotan yang berwarna putih kecoklatan dan di hadapannya telah siap sebuah mangkuk kaca berisi minuman teh kesayangannya.


Rasa-rasanya dada Raden Syaid akan meledak melihat wajah ayahanda yang muram. Jauh berbeda dengan wajah beliau ketika menugaskannya pergi mendampingi pasukan kerajaan.


Beberapa orang pengawal di gapura bagian dalam melihat Raden Syaid yang justru datang lewat butulan samping. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, justru hanya sedikit menunduk sambil memandangi saja dari agak kejauhan.


Ketika Raden Syaid berada di atas tangga, ayahandanya sudah melihatnya. Namun lelaki setengah tua itu masih tetap berdiam diri, mungkin menunggu putranya agar datang mendekatinya.


Dengan ragu-ragu anak muda itu mendekat. Kemudian duduk di hadapan ayahandanya yang memandanginya dengan tatapan mata sayu.


“Kau telah datang semalam Syaid?” bertanya Arya Wilatikta.


“Ya, Ayahanda,” jawab Raden Syaid dengan dada yang berdegub semakin cepat.


“Mengapa kau tidak langsung pulang?”


“Ma’af, sudah terlampau malam, Ayah. Aku takut mengejutkan paduka.”


“Ketika aku menerima laporan tentang kedatanganmu itu, aku langsung menunggu kau di sini. Tetapi kemudian aku mendengar laporan berikutnya bahwa kau tidak berada di antara pasukan itu.”


Raden Syaid menjadi semakin bingung. Justru karena itulah ia tidak bisa menjawab. Akhirnya ia hanya mampu menunduk dan menunduk.


“Aku ingin berbicara dengan kau tentang suatu masalah yang penting. Tetapi tentu tidak sekarang. Kau tentu masih lelah. Nanti setelah kau membersihkan diri, makan dan minum serta beristirahat sebentar,  maka kita akan berbicara dengan tenang.”


Sesuatu terasa bergejolak di dada Raden Syaid. Ia ingin mendengar keputusan ayahandanya segera. Tetapi ia tidak berani mendesaknya.


“Aku ingin mendengar ceriteramu tentang tugas yang kau lakukan. Apakah kau berhasil?”


Raden Syaid menganggukkan kepalanya. Jawabnya:


"Kami berhasil, Ayah. Sebagian dari orang-orang yang menunggak pajak telah membayarnya."


Adipati Wilatikta mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya:


“Apakah kau temukan pula para pengacau itu?”


“Ya, Ayah. Mereka berada pula di antara para penduduk.”


Adipati Tuban itu masih mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, “Sekarang pergilah untuk membersihkan dirimu. Akupun juga belum makan. Kita nanti akan makan bersama-sama di ruang dalam. Kemudian kita akan berbincang sedikit.”


Raden Syaid termangu-mangu sejenak memandang wajah ayahandanya. Wajah yang kini tiba-tiba saja nampak terlampau tua, pikirnya. Baru beberapa hari aku telah meninggalkannya, namun dalam beberapa hari itu rasa-rasanya ayah sudah berubah menjadi bertahun-tahun di atas usianya.


“Pergilah ke belakang,” berkata Arya Wilatikta. 


Meskipun suaranya terdengar sareh, tetapi terasa bahwa di dalam dada orang tua itu bergejolak perasaan yang ia tahan.


Raden Syaid pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia pergi meninggalkan ayahandanya yang duduk seorang diri seperti halnya sebelum ia datang.


Ketika ia telah sampai di halaman, sekali lagi ia sempat memandang ayahandanya yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Lagi-lagi sesuatu terasa bergetar di dada anak muda itu.


Ayahnya kini telah benar-benar berubah, seakan-akan beliau bukan lagi Raden Sahur seorang panglima perang Majapahit yang sakti dan disegani. 


Yang duduk di pendapa sambil menundukkan kepalanya itu seperti layaknya orang tua biasa yang putus asa karena menghadapi penghidupan yang sulit. Orang yang kelelahan karena mencari makan untuk anak dan isterinya.


Raden Syaid seperti merenung sejenak namun ayahandanya sama sekali tidak berpaling ke arahnya.


Beberapa orang prajurit di gapura dalam memandang Raden Syaid dengan agak heran. Ki Tumenggung telah menunggunya semalam di pringgitan. Lalu pagi-pagi benar Adipati Tuban itu telah bangun lagi dan tetap menunggu di pendapa pula. 


Namun begitu anaknya sudah datang, mengapa hanya beberapa saat saja sudah disuruhnya pergi lagi.


Sementara itu Raden Syaid pun pergi ke belakang. Sambil masih berwajah bingung ia kemudian masuk lagi lewat pintu butulan dan langsung ke biliknya mengambil ganti pakaian dan kemudian pergi ke tempat mandi.


Baru setelah ia selesai membersihkan dirinya, pemuda itu kembali menemui ayahnya yang masih juga duduk di pendapa. 


Masih seperti tadi, kepalanya tertunduk lesu seakan-akan ayahandanya tidak bergerak sama sekali. Ketika Arya Wilatikta melihat Raden Syaid naik lagi ke pendapa, maka katanya: 


“Nah kau sudah selesai. Marilah kita makan bersama di ruang dalam.”


Anak muda itu tidak menjawab. Ia mengikuti saja ketika ayahnya kemudian bangkit dan melangkah masuk ke ruang dalam.


Ternyata makan mereka sudah disediakan. Seorang pelayan yang menunggui makanan itu pun kemudian pergi ke belakang setelah Arya Wilatikta dan Raden Syaid duduk menghadapi hidangan itu.


“Marilah kita makan Syaid,” ajak ayahnya.


Syaid merasa semakin asing di rumah serta di depan ayahnya sendiri. Biasanya ayahnya tidak begitu kaku menghadapinya. Bahkan seringkali Ki Tumenggung tidak begitu menghiraukan, apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Apalagi jika beliau merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh.


Bagaikan melayani seorang tamu, Arya Wilatikta mempersilahkan anaknya untuk menyenduk nasi lebih dahulu, kemudian mengambilkan lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.


“Syaid,” berkata Adipati Tuban itu, “tentu tidak banyak orang yang makan sambil berbicara. Namun bila dirasa penting dan dengan irama yang baik, aku kira tidak salahnya pula. Karena itu, sambil makan, aku akan bertanya tentang perjalananmu.”


Kini leher Raden Syaid terasa menjadi kian menyempit sehingga ia tak kuasa menelan nasi yang sudah dikunyahnya. 

Namun betapapun beratnya anak muda itu tetap mengangguk sambil menjawab:


“Silahkan, Ayah.”


Waktu hening sejenak, ternyata Adipati Wilatikta tidak segera bertanya. Dibiarkannya waktu menggelantung cukup lama. Bahkan pria itu justru menyuapi mulutnya dan mengunyah lalu menelannya. 


Kini yang ada justru Raden Syaid yang nampak termangu-mangu beberapa saat. Meskipun pria muda ini kemudian tetap makan sambil menundukkan kepalanya.


Seorang emban datang dan bertanya kepada sang Adipati: 


“Tuan, apakah perlu ditambah sayurnya. Ini gusti putri mengirimkan semangkuk lagi sayur kesayangan paduka?”


 Tuan Tumenggung tidak berkenan menjawabnya. Lama sekali perempuan muda itu dibiarkannya berdiri agak jauh darinya. Namun akhirnya si emban bergeser surut sambil menundukkan mukanya. 


Sementara Raden Syaid hanya pura-pura tidak mengerti dan mencoba meneruskan suapan nasinya. ***


SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (3)




SANG WILATIKTA itupun memandang putranya, sambil bertanya:


“Syaid, bagaimana dengan perjalananmu itu."


Syaid mengangkat wajahnya. Ia sudah menelan sesuap nasi yang terakhir. Jawabnya kemudian, “Kami berhasil dengan baik, Ayah.”


“Nah, sekarang ceriterakanlah. Dari permulaan sampai kau datang lagi menghadap aku saat ini.”


Raden Syaid menarik nafas. Kemudian ia pun mulai menceriterakan pengalamannya mendatangi langsung ke orang-orang yang selama ini membangkang pajaknya padahal mereka tergolong orang berada.


Dikatakannya pula tentang pasukan pengawal Kadipaten yang membantunya karena kebetulan siapa saja yang harus didatangi dirinya tidak hafal.


Arya Wilatikta yang sudah selesai makan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengarkan ceritera Raden Syaid dengan seksama.


“Menarik sekali,” berkata Adipati Tuban kemudian, “untunglah bahwa kau mendapat kawan para prajurit yang berpengalaman. Jika kau tidak berhasil kita akan malu di hadapan Gusti Prabu. Tuban pun kehilangan pamornya yang terbaik, dan gangguan berikutnya tentu akan menghambat pembangunan kadipaten ini. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan bertemu paduka. Aku akan mengucapkan terima kasih kepada raja, karena langsung atau tidak langsung beliau telah ikut menegakkan Tuban yang agak goyah ekonominya ini.”


Dada Syaid rasa-rasanya menjadi sesak karenanya. Meskipun ayahnya tidak langsung menyebut namanya, tetapi rasa-rasanya kata-kata ayahnya itu memang tertuju kepadanya. Dengan demikian maka Raden Syaidpun kini hanya dapat menundukkan kepala.


“Syaid,” berkata Adipati Wilatikta kemudian, “kau pun tidak boleh melupakan semuanya itu. Kau sendiri mengalami dan melihat, bagaimana sulitnya membangun kadipaten ini. Dan kau tahu sendiri, betapa kelompok penghambat itu selalu ada di mana-mana.”


“Ya, Ayah. Aku tidak akan melupakannya.”


“Bagus,” Ki Wilatikta mengangguk-angguk, “sekarang, jika kau sudah selesai makan, beristirahatlah. Aku ingin berbicara sedikit tentang dirimu.”


Dada Raden Syaid berdebar-debar semakin cepat.


“Kau dapat mempergunakan waktumu sekehendakmu. Jika kau lelah dan kantuk karena semalaman kau tidak tidur, sekarang tidurlah. Aku harap setelah tidur sejenak, kau akan menjadi segar, dan pembicaraan kita akan lancar.”


“Aku sama sekali tidak lelah, Ayah. Jika Ayahanda ingin mengatakan sesuatu, aku sudah siap."


“Tidak, Syaid,” berkata Adipati Wilatikta, “kau perlu beristirahat agar hatimu menjadi bening dan kau dapat mendengarkan penjelasanku sebaik-baiknya.”


“Aku tidak sedang bingung, Ayah.”


Adipati Tuban menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sebaiknya kau memang tidur. Menilik ceriteramu, selama kau berada di wilayah barat, kau hampir tidak pernah tidur untuk beberapa malam. Semalam kau tentu juga tidak tidur sama sekali. Karena itu, sekarang pergilah ke bilikmu. Kau perlu tidur meskipun hanya sekejap.”


Raden Mas Syaid tidak dapat membantah lagi. Ia pun kemudian meninggalkan ayahnya dan pergi ke dalam biliknya.


Namun kegelisahan di hatinya terasa menyentak-nyentak di dada, sehingga ia sama sekali tidak dapat tidur. Jangankan tidur, berbaring pun Syaid tidak betah.


Dengan rasa gelisah Raden Syaid duduk di bibir pembaringannya. Sekali-sekali agak ia bergeser setapak. Kemudian berdiri dan melangkah hilir mudik.


Ternyata ayahandanya telah membiarkannya dalam kegelisahan itu. Rasa-rasanya seperti sudah berhari-hari dirinya ini berada di dalam biliknya, namun ayahandanya masih belum juga memanggilnya dan membawanya berbicara.


NAMUN anak muda itu tiba-tiba terkejut ketika pintu biliknya berderit. Dilihatnya Adipati Wilatikta sudah berdiri di depan pintu yang kemudian terbuka.


“O,” desis Syaid, “apakah Ayahanda memanggil aku sekarang?”


Arya Wilatikta tidak menyahut. Tetapi ia melangkah saja masuk dan duduk di tepi pembaringan putranya.


Raden Syaid tercenung sejenak. Sehingga akhirnya ayahnya berkata, “Duduklah. Agaknya lebih baik berbicara di sini daripada di ruang dalam.”


Tiba-tiba dada Raden Syaid terasa menjadi sangat sesak. Jantungnya berhenti berdetak. Tetapi ia pun akhirnya duduk pula di sebelah ayahandanya.


Sejenak keduanya saling berdiam diri, sehingga ruangan itu pun menjadi hening. Yang terdengar kemudian adalah tarikan nafas panjang dari sang Adipati.


Agaknya ia pun merasa sulit untuk segera memulai pembicaraannya dengan anak laki-lakinya. Meskipun kemudian akhirnya terucap juga sebuah pertanyaan.


"Syaid, apakah kau telah mendengar desas-desus yang cukup santer tentang dirimu sendiri?”


Syaid mengerutkan keningnya. Darahnya kini bagaikan benar-benar berhenti mengalir.


“Desas-desus yang kian lama menjadi kian merata di seluruh wilayah Tuban?”


Syaid tidak segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru ia pun bertanya, “Dalam kaitannya dengan apa, Ayah?”


Adipati Wilatikta memandang wajah anaknya sejenak. Namun selanjutnya dibuangnya tatapan mata itu ke luar pintu.


Lelaki itu kemudian berkata, “Aku kira kau tentu sudah mendengarnya. Hampir setiap orang memperbincangkannya.”


Syaid menjadi semakin gelisah.


“Syaid,” berkata Adipati Wilatikta kemudian, “apa boleh buat, aku memang harus mengatakannya kepadamu bahwa banyak orang-orang Tuban yang berbicara tentang hubunganmu dengan kelompok yang biasa mengganggu ketenangan wilayah kita.”


Meskipun Raden Syaid sudah menduga bahwa persoalan itulah yang akan dibicarakan oleh ayahandanya, namun pertanyaan itu tak urung telah hampir meretakkan dadanya.


“Syaid,” berkata Ki Wilatikta kemudian dengan nada yang dalam, “aku hanya sekedar bertanya. Jika memang hal itu tidak terjadi, maka kau dapat menjawabnya bahwa hal itu tidak benar.”


Syaid berusaha menenangkan hatinya. Rasa-rasanya jika memungkinkan ia ingin menekan jantungnya yang berdentangan semakin cepat dan keras.


“Aku ingin mendengar jawabanmu, Syaid. Katakan dengan jujur pada ayahmu apa yang sebenarnya terjadi. Jika kau berkata sebenarnya, maka kita akan dapat bersama-sama mencari jalan yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang bisa menjadi rumit.”


Syaid masih berdiam diri, hatinya masih bergolak sangat dahsyat. Meskipun sudah semalam suntuk ia menganyam perasaan, namun ketika pertanyaan itu benar-benar dilontarkan maka ia pun masih juga menjadi sangat kikuk.


“Syaid,” berkata Arya Wilatikta “kau sudah bukan anak-anak lagi. Jika tahun-tahun lalu kau adalah putra Tuban yang membanggakan karena mampu mengusir para perompak yang sering membuat rusuh di Kambang Putih. Bahkan Eyangmu Arya Teja pernah menyebutmu di paseban agung sebagai mutiara yang kelak mampu mengukir nama kadipaten ini. Namun sekarang ini ternyata kita dihadapkan pada persoalan lain tentang dirimu. Sama sekali bukan maksud ayah untuk memperkecil perjuanganmu bagi Tuban. Tetapi semata-mata karena persoalan yang telah ada kini tidak akan dapat dibiarkan tanpa penyelesaian yang baik.”


Raden Syaid menarik nafas dalam-dalam.


“Syaid anakku,” Adipati Tuban meneruskan, “kau bukanlah anak-anak yang hanya pandai memecahkan belanga namun kemudian kau tinggal lari dan bersembunyi.”


Syaid bergeser setapak. Katanya kemudian dengan nafas yang ditahannya, “Maafkah aku, Ayahanda. Sebenarnyalah bahwa hal yang Ayahanda khawatirkan itu telah terjadi.”


Adipati Wilatikta memejamkan matanya sesaat. Jawaban itu pun sudah diduganya. Tapi seperti anaknya, sejenak ia pun menjadi bingung setelah mendengarnya.

Namun kemudian Arya Wilatikta, orang tua yang masak dengan pengalaman dan pengenalan atas kehidupan itu pun menarik nafas dalam-dalam.


Dengan susah payah orang tua ini berhasil mengendalikan perasaannya yang bergelora. Meskipun nampak sekali ia masih juga merasa tegang yang terlihat dari sorot matanya.


Syaid menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dan dengan dada yang masih berdentangan ia mendengar ayahandanya berkata, “Syaid, setelah kau berhasil menaburi tanah ini dengan bunga yang semerbak dan amat membanggakan ayah dan kakekmu, maka kini kau telah melumuri namamu dengan lumpur yang berbahu amis.”


Raden Syaid tidak menjawab, tetapi kepalanya tertunduk semakin dalam.


“Anakku,” berkata Ki Wilatikta, “ketika aku berangkat menghadap Raja Majapahit dan menyampaikan permintaanmu agar tidak dijadikannya sebagai tentara kerajaan, seperti yang kau tahu sendiri Sang Prabu telah mengabulkannya. Apalagi setiap orang tahu, bahwa sebenarnya aku adalah salah seorang yang cukup dekat dengan lingkungan istana.” 


Adipati Tuban itu terdiam sejenak untuk mengatur pernafasannya, lalu:


"Tetapi, jika kini nyata-nyata justru kau telah terbukti mengganggu kepentingan kerajaan, maka akibatnya tentu akan lain anakku.”


Syaid menjadi semakin tunduk. Ia menyadari sepenuhnya kata-kata ayahandanya. Dan ia pun mengerti akan hal itu. Tetapi ketika semuanya itu terjadi, hatinya serasa gelap dan ia sama sekali tidak ingat apapun juga.


“Syaid,” berkata Arya Wilatikta lagi, “kau masih belum menjawab seluruhnya. Kenapa hal itu terjadi dan akibat yang timbul kemudian dari peristiwa yang pahit itu?”


Syaid tidak dapat ingkar lagi. Maka ia pun kemudian menceriterakan, bahwa sama sekali di luar kesengajaannya bahwa kelompok Lokajaya bertemu dengan prajurit Majapahit yang sedang berkeliling, dan apalagi kemudian terjadi pertikaian.


“Ayahanda, beberapa orang dari prajurit kerajaan itu telah terluka.”


“Ooh !” Arya Wilatikta mengusap dahinya yang berkeringat, “bagaimana mungkin semuanya ini terjadi. Peristiwa yang sama sekali tidak masuk di akal itu ternyata telah terjadi.”


Raden Syaid tidak menyahut.


“Bagaimana ayahmu ini akan menjelaskannya pada paduka Prabu,” berkata Arya Wilatikta sambil mengepalkan tangannya “Syaid, benarkan kau itu anakku? Bagaimana mungkin seorang anak yang baik telah tega menusuk ayahnya sendiri.”


“Ma’afkan putramu ini ayahanda.”


“Diam ! diamlah kau Syaid. Agar kau justru tidak menambah kegetiran ini,” kata Adipati Tuban itu dengan mata merah.


"Oh bapa Arya Teja, apa yang telah paduka lihat dulu sehingga bapa menyebut anak ini sebagai mutiara Tuban. Kini yang terjadi justru sebaliknya bapa.”


Tampaklah kemudian wujud keaslian sang Wilatikta, keras dengan wajah yang merah membara. Dialah Raden Sahur yang sebenarnya, seorang senopati andalan Majapahit yang mewarisi darah Arya Ranggalawe.


“Daaar ..!” Tiba-tiba pintu kamar terbanting dan adipati Tuban ke-8 itu keluar dengan langkah yang tegas dan wajah masih tetap membara.


“Aku sendiri yang akan melenyapkan para berandal tak berguna itu !” 


Dengan suara lantang Sang Wilatikta melangkah menuju kamar pusaka. Raden Syaid yang mengikuti dari belakang sudah pasti tahu bahwa ayahnya akan pergi dengan Keris Kyai Loyan dan Tombak Hyang Baruna yang konon merupakan hadiah dari pembesar Majapahit itu.


Oh, kalau itu yang terjadi maka habislah semuanya. Maka Raden Syaid yang menyadari akan hal itu segera berusaha untuk mencegah. 


Tak dapat ia bayangkan nanti bagaimana tunggang langgangnya teman-temannya. Mereka sudah pasti akan lari kocar kacir dan akibat terburuk dari semuanya itu adalah mati.


Teman-temannya yang sudah ia bimbing untuk berjuang demi kepentingan rakyat jelata itu akan bergelimangan dengan bersimbah darah. Karena itu tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencegah sebisa-bisanya.


Dengan tegopoh-gopoh putra adipati yang sudah biasa berteman dengan orang-orang jelata itu memanggil-manggil serta menangis di depan ayahandanya.


“Ampun ayahanda, aku mohon ampun, Tolonglah jangan lakukan itu !” Katanya sambil merangkul kaki Sang Wilatikta.


“Minggir kau Syaid, minggir kau anak tak berguna !” 


Tentu saja adipati Tuban itu berusaha untuk menghindar. Namun tangan putranya yang dengan kencang merangkul kakinya itu telah menghalanginya.


Kini yang ada hanyalah kemarahan. Sambil membentak-bentak kedua tangan sang Adipati yang sejak tadi sudah mengepal ia acungkan kearah anaknya. 


Dan hampir saja tangan itu mengenai wajah Raden Syaid ketika dari pintu samping keluar dua wanita yang menangis menyaksikan peristiwa itu. Mereka adalah Dewi Nawang Arum dan Dewi Sari yang merupakan istri dan putri Sang Tumenggung sendiri.


“Oh kanjeng, apa yang kanjeng lakukan terhadap putra sendiri ini ?” 


Demikian semoga bermanfaat.


Kamis, 20 Mei 2021

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (1)

Oleh: Rus Rusman







ORANG menyebutnya sebagai alas Jatiwangi, tak lain adalah hutan yang selalu berwajah gelap meskipun di luar mentari sedang terang benderang. Ini adalah rimba raya yang membentang luas dan memanjang dari barat ke timur memagari pegunungan kapur laut Utara.


Diawali dari belantara gunung Kajar (selatan Lasem) menuju arah timur dan berujung pada kawasan yang ditumbuhi pohon raksasa anggondo Arum (berbahu harum). Sekarang termasuk wilayah Desa Wangi Kec. Jatirogo.


Siang itu surya sudah lama melewati puncaknya, ketika dari sebuah hutan terdengar seekor harimau mengaum keras. Sesaat kemudian hutan itu menjadi sunyi, celoteh kera dan burung-burungpun lenyap. Dan seekor kijang menjerit di bawah dekapan sang raja hutan.


Pada zaman Majapahit alas Jatiwangi memang dikenal sebagai hutan yang angker, gawat kaliwat liwat. Belantara gung liwang-liwung bebasan jalma mara jalma mati, sato saba tan angukubi.


Bukan sekedar *gugon tuhon* jika kawasan ini telah lama menjadi asrama jin setan bekasakan, 

sebuah tempat yang penuh misteri mirip kerajaannya para lelembut. Di samping itu juga sebagai markasnya sekelompok orang sakti yang dikenal sebagai brandal lokajaya.


Bahkan di dalamnya ada kawasan yang disebut *alas ngandhang,* (5 km ke arah barat Kec. Sale) yang dipercaya orang sebagai markas atau ngandhangnya gerombolan yang dipimpin oleh Raden Syaid itu.


Pendek kata hutan Jatiwangi adalah  *Sinagog setan*-nya pulau Jawa, mirip tempat tinggal 200 kaum kathar dan sekaligus tempat orang bidat/sesat itu pati obong di Eropa (kompas.com, 15 tempat misterius di dunia, tgl. 11 Maret 2020).


                ***


HARI MULAI gelap ketika pasukan kecil Kadipaten Tuban beristirahat di pinggiran hutan. Agaknya langit sedang berhias rembulan, memancar redup tersembul di atas laut utara. 


Nampak awanpun berhembus, ada kalanya tebal memutih namun sebentar kemudian menipis bagaikan kapas tertiup angin. Suara binatang malam kadang-kadang terdengar sayup dari kejauhan, menambah suasana keangkeran hutan Jatiwangi di sekitar tahun 1455 M ini.


Para prajurit Tuban itu telah tertidur, melepaskan lelah setelah seharian bertugas mendampingi tentara Majapahit mencari warga Tuban para pembangkang pajak.


Agak jauh dari mereka nampak dua orang laki-laki sedang berbincang dengan serius. Rupanya salah satu di antara mereka adalah Raden Syaid putra Tuban yang telah ditugaskan oleh Ayahanda Wilatikta menemani tentara kerajaan itu.


"Angger Mas Syaid, aku adalah pemomongmu sejak anak mas masih kecil. Kalau hari ini angger menolak untuk kembali ke ayahanda, sama saja angger tidak mempercayai paman lagi. Bukankah aku yang ditugaskan Gusti Tumenggung untuk mendampingimu?"


Sesaat Raden Syaid terdiam. Lalu katanya:


"Baik paman Aji, kali ini sebagai hormatku kepada paman dan juga rasa tanggung jawabku aku akan mengikuti saran paman. "


Betapa gembiranya orang yang dipanggil paman Aji itu. Maka rasa senangnya pada putra Adipati Tuban itu semakin bertambah. 


"Tapi ingat paman, jika ayahanda memaksaku untuk menghadap ke kotaraja aku pasti akan menolaknya."


"Mudah-mudahan Gusti Tumenggung tidak memaksamu, ngger."


"Bukan karena aku takut menghadapi hukuman, paman. Tapi karena aku sudah berjanji tidak akan ke ibukota jika mereka masih membebani pajak yang tinggi kepada rakyat kecil."


Paman Aji mengangguk-angguk. Katanya kemudian :


"Itulah sulitnya, ngger. Sebenarnya aku sependapat dengan angger. Tetapi kenyataan bahwa angger termasuk bagian dari para perusuh itu agaknya yang menambah Gusti Tumenggung sulit bersikap. Apalagi beberapa prajurit ibukota telah terluka akibat kejadian itu."


Kembali anak muda itu terlempar dalam kebisuan. Beberapa saat kemudian iapun menyahut:


"Baiklah paman, mari kita beristirahat. Besuk kita berharap bisa menghadap ayah lebih awal."

Selasa, 18 Mei 2021

SYEH MALAYA MENCARI JATI DIRI

(lakon Wayang Dewa Ruci) 

Oleh: Rus Rusman







Syeh Malaya


KETURUNAN ke-14 *Sunan Kalijaga,* Ny. R.Ay. Supartini Mursidi, suatu malam di tahun 1990, didatangi oleh seorang ulama dari wilayah Demak. Ulama yang bernama Muhammad Khafid Kasri ini mengaku telah mendapat petunjuk gaib tentang keberadaan sebuah buku kuno.


"Apakah ibu menyimpan kitab kuno peninggalan leluhur?" tanya ulama itu kepada pemilik rumah.


Ternyata Ny. Supartini menjawab *tidak*. Tentu saja Kyai Khafid Kasri sedikit heran. 


"Tapi, apakah ibu menyimpan *azimad* yang dibungkus kain putih peninggalan orang tua?" tanyanya lagi agak meninggi. 


Dan kali ini wanita itu menjawab: *ya!*


Legalah hati sang ulama mendengar jawaban itu.  Maka atas seijin pemiliknya azimad itu dibuka. Ternyata isinya adalah lembaran-lembaran kertas dari kulit hewan bertuliskan Arab gundul berbahasa Jawa.


Atas seijin pemiliknya pula isi kitab itu ditransliterasikan ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadi sebuah buku yang diterbitkan Balai Pustaka (1993) dengan judul: *Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Malaya)*


Uraian di atas adalah sekilas cerita dari seorang Mahasiswa UIN Semarang, *Sendi Satriyo Munif* dalam Skripsinya yang berjudul: "Corak Monoteisme Sunan Kalijaga Dalam SULUK Linglung" (2015).


Judul Suluk Linglung itu konon dipilih sendiri oleh sang sunan. Begitu pula dengan isinya. Ditulis dengan tinta China dan terdiri dari tiga bab. 


Bab I berisi tentang kisah beliau saat masih belajar awal tentang Agama Islam. Bab II saat beliau merasa bingung atau *LINGLUNG* karena beberapa pertanyaannya tidak terjawab oleh gurunya. Dan Bab III berisi tentang wejangan Nabi Khidir yang menghadang perjalanannya saat berlayar menuju Mekah.


Suluk Linglung merupakan karya sastra tingkat tinggi yang terdiri dari 91 bait yang pada intinya bercerita tentang kerinduan sang sunan akan ilmu agama. Syeh Malaya bagaikan orang yang baru bangun dari tidur.


Setelah sekian lama ia terkungkung oleh lebatnya hutan *jati wangi* sebagai *berandal lokajaya,* dan yang ada hanya membunuh atau dibunuh.


Kini berkat sentuhan kata Sunan Bonang, berandal itu seperti ingin membuktikan diri bahwa ia telah berubah. Ia ingin mencari jati diri.


*Man arafa nafsahu Faqad arafa Rabbahu*


(Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhan-nya)


Maka berpetuanglah kemudian Syeh Malaya dari satu guru ke guru lainnya. Atas ijin Sunan Bonang, sosok yang dulu bernama Raden Syaid itu kemudian *nyecep ngelmu* ke Sunan Ampel, Maulana Ishaq, dan beberapa guru lain di Malaka dan Pasai.


Puncaknya Tuhan mempertemukan ia dengan Nabi Khidir yang telah *mangejawantah* sebagai anak kecil. Betapa herannya saat itu ketika perjalanan nya ke tanah suci tiba-tiba harus terdampar oleh omongan anak bajang yang seenaknya memintanya pulang ke Jawa.


"Kembalilah kalau tak ingin pengikutmu di Jawa kembali menjadi kafir Semua."


Saat itu Syeh Malaya  lagi-lagi dibuat heran ketika anak kecil di depannya itu tiba-tiba menyuruh masuk ke dalam wadahnya melalui telinga.


Dan saat dirinya mengalami keraguan atas perintah itu, sekonyong-konyong ia bagaikan terhipnotis dan tersedot oleh kekuatan magnet yang sangat kuat.


Maka selagi dirinya berada dalam batas alam sadar dan tidak sadar itu, Syeh Malaya menyaksikan cahaya yang beraneka ragam, ada yang berwarna merah, kuning, hitam, dan putih yang semuanya merupakan pencerminan wujud kejiwaan manusia.


Wejangan ngelmu dari Nabi Khidir yang *sarira bajang* inilah yang konon mengilhami Sunan Kalijaga untuk menciptakan lakon wayang *Dewa Ruci,* di mana ia mengumpakan diri sebagai *Bima* yang memperoleh air perwita sari atau *iman Hidayat* yang sangat ia rindukan.


Wallahu a'lam.


Demikian, semoga bermanfaat.


Tasikmadu,  April 2021.

PRABU HAYAM WURUK

*- Tan Hana Dharma Mangrwa -*


Oleh: Rus Rusman



SEPERTI halnya mentari yang selalu hadir menyinari bumi, atau bulan yang senantiasa berputar di garis orbitnya, maka sang waktupun terus bergulir bagaikan roda yang tak pernah berhenti. 


Dan Tuhan Yang Maha Adil itupun telah menganugerahkan orang-orang hebat dan tangguh pada setiap fase zaman dan di berbagai belahan bumi.


Tak terkecuali di bumi Nuswantara yang konon pada abad ke-14 telah terlahir seorang bayi tampan putra dari pangeran Cakradara dan Ratu Tribuana Tunggadewi.


Seorang anak manusia yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kerajaan dan kelak menjelma menjadi rembulan yang sinarnya menyejukkan seluruh negeri.


"Dia seperti Sang Hyang Satamayu yang menghapus duka seluruh rakyat, seperti Sang Hyang Bayu yang melindungi jagad, dan seperti Sang Hyang Pertiwi yang memakmurkan negeri. Maka lengkaplah dia bagaikan rembulan," begitu tulis Mpu Prapanca dalam pupuh 7 Kakawin Negara Kertagama (Damaika dkk., 2018: 36).


RAJA YANG BIJAKSANA


Untuk siapa sesungguhnya Prapanca itu menyanjung? Tiada lain adalah untuk ratu gustinya, ialah *Maharaja Prabu Hayam Wuruk* yang memerintah Majapahit dari tahun 1351-1389 M.


"Rin wighnotsarana prayoga yamaraja sira makaphalan jagaddhita." (Dialah Dewa Yama yang menghapus rintangan dan penghalang dengan penuh bijaksana).


"Hentyan durjjana maryya buddhi kala kewala matakut i wiryya san prabhu". (Para durjanapun berhenti berbuat buruk karena takut pada keperkasaan sang raja).


Demikianlah tak henti-hentinya Sang Pujangga mengelu-elukan kelebihan Prabu Sri Rajasanegara, dan kiranya hal itu tidaklah berlebihan apabila kita membaca sejarah kebesaran negeri Wilwatikta itu. 


Konon raja muda inilah yang berhasil mengibarkan bendera negerinya, terbang laksana burung garuda. Di bawah kepemimpinannya wilayah kekuasaan Majapahit terbentang luas melebihi wilayah Nuswantara saat ini. 


Bersama sang Gajahmada, Hayam Wuruk telah mampu menancapkan kakinya tak hanya di bumi Nuswantara, melainkan hingga ke negeri Tumasek (Singapura), Brunai, dan Serawak (Malaysia).


SIAPAKAH sesungguhnya Prabu Hayam Wuruk itu? Dari jalur ibu telah jelas ia putra Tribuwana Tunggadewi, cucu Raden Wijaya dan cucu buyut Prabu Kertanegara Singosari.


Dari jalur ayah ia adalah putra Pangeran Cakradara. Lalu siapa Cakradara itu? Dalam Babad Tabanan (Bali) disebut sebagai putra sulung Dara Jingga. Adiknya yang juga terkenal di antaranya adalah Adityawarman dan Arya Kenceng (raja Tabanan I).


HAYAM WURUK LAHIR pada tahun 1334 M bersamaan dengan gempa bumi hebat dan meletusnya Gunung Kelud. Saat itu sang ibu sebelum melakukan cuti panjang telah melantik Gajahmada menjadi Patih Hamangkubumi. 


Dan Mahapatih baru itupun menyatakan kesetiaannya dengan sumpahnya yang amat terkenal *Tan Amukti Palapa*.


Bunyi sumpah itu ada dalam Kitab Pararaton : "Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa."


Artinya, "Jika telah mengalahkan Nuswantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, *Tumasik,* demikian saya (baru akan) melepaskan puasa."


Nama Hayam Wuruk mengandung arti *ayam yang terpelajar*. Ayam adalah hewan yang lincah dan produktif, sedang terpelajar bermakna cerdas dan baik hati.


Kecerdasan itu terbukti dengan ia ciptakan semboyan *Bhineka Tunggal Ika* yang ia sampaikan lewat kitab Sutasoma Pupuh 139 bait 5 karangan Mpu Tantular (keponakan sendiri).


Luar biasa, bangga memiliki leluhur Hayam Wuruk, di abad ke-14 manajemen pluralisme kebangsaan telah diterapkannya dengan sangat baik.


Dalam usia yang sangat muda ia mampu merajut kebhinekaan justru menjadi nilai kekayaan dan persatuan bangsa.

Sebagai pengayom rakyat ia telah membuktikan dengan seringnya hadir ke tengah *kawula alit.*


Dalam naskah terjemahan Theodor Pigeaud, *“Java in the 14th Century. A Study in Cultural History”*, 5 vols., The Hague 1960-1963 digambarkan bahwa Hayam Wuruk senang melakukan kunjungan-kunjungan.


Setiap tahun di “akhir musim dingin” atau sehabis panen, Sri Rajasanagara pergi menggunakan pedati yang ditarik sapi, diiringi rombongan besar. Setidaknya tercatat ada kunjungan Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357), Lumajang (1359), Tirib Sompur (1360), Palah Blitar (1361), dan Simping (1363).


Sementara itu Tim kajian yang dimotori olehDaud Aris Tanudirjo, dkk ., Yayasan Djojohadikoesoemo, 2014, menghasilkan karya yang berjudul *Inspirasi Majapahit*.


Diuraikan di situ bahwa perjalanan ini membutuhkan energi, waktu dan biaya yang besar. Rombongan disertai para pejabat tinggi termasuk para penguasa daerah yang tinggal di ibukota beserta 

istri (para Bre). Kereta pedati sekitar 400 dan diiringi pejalan kaki, ada yang naik gajah dan naik kuda. 


Sering melewati ratusan desa yang mencakup kawasan ribuan mil persegi. Tidak heran jika waktu yang dibutuhkan hingga dua bulan lebih. Tapi bagi sang raja kebijakan ini dilakukan tentu memiliki arti yang sangat penting, demikian juga bagi rakyatnya.


TAN HANA DHARMA MANGRWA


SALAH SATU kunjungan yang menarik seperti yang diceritakan *Ichdiana Sarah Dhiba* seorang Pamong Budaya Jawa Timur. Ringkasnya adalah saat sang raja melakukan tetirah ke Lembah Bromo. Ia sengaja bermalam di Madakaripura, sebuah kawasan air terjun yang kemudian ia hadiahkan kepada Mahapatih Gajah Mada. Dilanjutkan menuju ke selatan, menyusuri pantai selatan ke arah timur dan bermalam di Patunjungan.


Rombongan meneruskan ke Rawa Kopek untuk menikmati telaga yang berdampingan dengan laut itu. Dilanjutkan ke daerah *Sadeng* (Jember) dan menginap beberapa hari di sana.


Dari Sadeng berlanjut ke utara melewati Pakambangan dan menuju wilayah Patukangan dan *Keta* (Situbondo) dan menginap juga. Rakyat sekitar begitu bersemangat dan mengelu-elukan sang raja dan rombongannya.


Mengingat Sadeng dan Keta pernah mbalelo dan ditaklukkan ibunda Tribuwana, maka bisa dimaknai ini adalah perjalanan politik meskipun dikemas seperti kegiatan wisata.


ACARA LAIN yang sangat mengagumkan adalah saat baginda mengadakan pesta *Srada* untuk memperingati 12 tahun wafatnya sang nenek (Dyah Gayatri). Upacara keagamaan yang berlangsung selama tujuh hari (1363 M) di Bayalangu diakhiri dengan pesta besar-besaran. 


Pada Pupuh ke-65 dan 66 Negarakertagama, Mpu Prapanca menceritakan kemeriahan itu secara sempurna.


"purnnamakala ... ghurnnan kahala canka len padaha ganjaran i harp acankya mandulur, rin sinhasana cobhitaruhur/ manusa kahananiran/ winursita." (Kala purnama arca dikeluarkan disambut gemuruh dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Arca didudukkan di atas singgasana, besarnya setinggi orang berdiri).


Dalam pesta itu semua Adipati hadir, tak ketinggalan sang Baginda sendiri, ibunda Tribuwana dan Mahapatih Gajahmada. Di hari terakhir diadakan karnaval para Nayaka dan semua seni hiburan rakyat tumpah ruah.


Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-desak, Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur, Sri Nata menari di balai witana khusus untuk para puteri dan para istri.


Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga dan penonton yang lain mengalir bagai air. Baginda raja pada hari yang ketujuh, menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan makanan, Luas merata kepada empat kasta


Agaknya ada pembagian tugas besar antara Sang Raja dengan Mahapatihnya. Hayam Wuruk lebih berkonsentrasi pada pulau Jawa sedang Gajahmada lebih mengarah pada pemersatuan Nuswantara.


Inilah wujud nyata dari prinsip persatuan yang dicetuskan dalam Kitab Sutasoma, yakni *"Bhineka Tunggal Ika -  Tan Hana Dharma Mangrwa"*

(Berbeda-beda satu jua - Tak ada pengabdian yang menyamainya).


Demikian semoga bermanfaat.


Tasikmadu, April '21

Senin, 17 Mei 2021

SIRNA ILANG KERTANING BUMI

(Raksasa itu tenggelam ke dasar samudra)


Oleh: Rus Rusman





WUS TUMIBA ING mangsa kala, pagi berubah menjadi siang dan siang bergeser ke arah malam. Peradaban demi peradaban silih berganti dan selalu menjadi bahan perdebatan sejak zaman kuno.


Suatu hari seorang filosuf Yunani terkenal, Plato (428 SM), berkata kepada gurunya : "Your heyday has been lost, my teacher!"

(Hari-hari kejayaanmu telah musnah, guru).

Namun sang guru menggeleng, dan tanpa berkata apapun orang tua itu melangkah tertatih-tatih meninggalkan muridnya. 


Besuknya guru Plato itu datang lagi, tapi ia tidak sendiri. Kali ini Socrates ditemani oleh topeng yang melekat erat di wajahnya.


"Hai guru, mengapa kau bertopeng mirip wajahku? Apakah guru tak khawartir nanti jatuh tersandung batu?" teriak Plato.


Socrates menjawab sambil terengah-engah: 

"I have never been afraid of falling (aku tak pernah takut jatuh), bahkan tak takut tenggelam ke dalam lumpur, karena sepeninggal aku, ada muridku 

(seraya menunjuk topengnya)  yang akan mengembangkan ilmuku jauh lebih dahsyat daripada aku."


Plato terkejut mendengar pujian itu, maka dengan tergopoh-gopoh iapun datang merangkul dan menangis di depan gurunya.


"As long as there is a glow on the faces  of the youth (sepanjang masih ada sinar di wajah-wajah kaum muda) maka saat ini nyawaku yang tua dicabut pun tidaklah mengapa." Seru Socrates sedikit parau.


Hebatnya, drama satu babak tentang peristiwa di zaman kuno itu telah menghebohkan dan menginspirasi para ilmuwan sedunia. 


Duh, andai para pengagum Plato itu tahu bahwa di negeri ini telah ada leluhur Nuswantara yang jauh lebih luas cara pandangnya daripada Socrates.


Seperti halnya saat itu di pertengahan abad ke-15, seorang raja duduk di   Singgasana dan berkata kepada orang-orang yang ada di depannya.


"Hari ini aku merasa tinggal di sebuah rumah tua reot yang hanya menunggu robohnya. Namun begitu melihat wajah-wajah muda kalian, seakan kusaksikan cahaya terang menyala di dalam rumah tua ini."


Dan raja itu tiasa lain adalah Prabu Dyah SUHITA yang tengah menerima kedatangan para pemuka agama. Di depan sang raja adalah tokoh-tokoh muda Hindu-Budhistan, para pemimpin Islam dan orang-orang Tionghoa. 


Raja memang memberikan kesempatan kepada semua agama tanpa pilih kasih. Itulah kehebatan raja putri yang satu ini. 


Sabda pandhita pangandikaning ratu, beberapa bulan setelah itu ia buktikan dengan mengijinkan adiknya, Arya Kertawijaya, yang meminta restu menikah dengan Dyah Anarawati (Dwarawati), yakni putri Prabu Kunthora dari Negeri Champa.


Belakangan diketahui bahwa Prabu Kunthora adalah raja di wilayah *Vietnam* (sesuai Encyclopedia Van Nederlandesh Indie)

yang memeluk agama Islam berkat perjuangan Syeh Ibrahim Asmarakandi.


ADALAH pertanyaan besar, apa yang menyebabkan Dyah SUHITA seakan membuka diri bagi kehadiran semua agama? Islam dan agama lainnya seakan menemukan jalan lapang di masa pemerintahan raja ini


Semua itu karena raja menyadari bahwa Majapahit telah harus menerima takdirnya, Sang sandyakala yaitu selarik garis merah di langit senja telah tiba. Dan raja seakan terketuk pintu kalbunya, terterawang dalam sasmita gaibnya.


"Aku tak mungkin menentang kehendak kodrat, telah datang ing mangsa kala, dan tertulis dalam  pakem bahwa yang kecil akan menjadi muda perkasa, dan yang muda akan beranjak tua."


Apa boleh buat, Majapahit yang pernah menerima sandyakala itupun harus menemukan babak barunya, ialah: Sirna Ilang Kertaning Bumi.


Ia adalah seruling senja yang seakan mengiringi hilang lenyapnya suatu zaman, masa di mana keemasan itu telah pergi. Meninggalkan lautan kenangan yang berlalu lalang, ada kalanya indah namun tak sedikit yang terasa getir atau bahkan teramat pahit.


Bunyi sengkalan yang sebagaimana tercantum dalam Serat Kanda dan bermakna sangkakala 1400 caka atau 1478 Masehi.


Tiada lain ialah suatu tahun di mana pukulan telak tepat mengena pada ulu hati sang raksasa yang dulu bernama Majapahit dan membuatnya tenggelam ke dasar samudra.


Lamat-lamat kidung yang mengerikan itu terdengar:


"... Lingsir wengi tumeking ing sirna,

Ojo tangi nggonmu guling,

Awas Jo ngetara,

Aku lagi bang wingo-wingo,

Jin setan kang tak utus,

Dadyo sebarang

Waja lelayu ..."


PRABU BRAWIJAYA


SIRNA ILANG yang pertama dimulai ketika tahun 1447 M Dyah SUHITA wafat dan digantikan oleh Arya Kertawijaya (1447-1451) dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakrama Wardhana.


Raja inilah yang oleh beberapa sumber disebut sebagai *Brawijaya ke-1*. Meskipun Negarakertagama dan Pararaton tak pernah sedikitpun menyebut hal itu, namun nama Brawijaya telah ramai dibicarakan di cerita-cerita babat dan amat terkenal di masyarakat.


Pada masa pemerintahanya sering terjadi bencana alam, gempa bumi dan gunung meletus.

Bahkan terdapat pembunuhan penduduk *Tidung Galating* oleh keluarga raja.


Ketika Arya Kertawijaya dilantik sebagai raja, ia sudah beristrikan Dewi Anarawati (Dwarawati) dan telah memiliki putra.


Besar kemungkinan pernikahan ini adalah strategi para ulama di zaman itu yang bertujuan untuk membuka pengembangan Islam lebih lanjut. 


Namun agaknya kelompok lain juga tidak tinggal diam. Pada sekitar tahun 1448 M Sang prabu menikahi seorang selir, yakni *Dewi Kiyan* yang merupakan wanita keturunan Tionghoa.


Pada awalnya keluarga raja tidak mempersoalkan hadirnya istri muda ini, tapi ketika sang selir *anggarbeni* timbulah pertentangan hebat.


Sebagai akibatnya sang prabu mengungsikan istri muda itu ke Palembang, sebagai hadiah untuk Arya Damar.


Beberapa bulan kemudian si bayi lahir dan diberi nama Arya Jimbun yang kelak kita kenal sebagai *Raden Patah*.


Hal ini sesuai dengan  Silsilah yang tertulis di dekat batu nisan makam *Ratu Kalinyamat* (cucu Raden Patah) bahwa leluhur mereka adalah Arya Kertawijaya.


Pada tahun 1443 M telah datang ke Palembang rombongan syeh Ibrahim Asmarakandi. Rombongan ini mengantar Raden Rahmat atau Ahmad Rahmatillah (nama muda Sunan Ampel) menghadap ke Majapahit, namun harus singgah di Palembang terlebih dahulu.


Berkat kerja keras Syeh Ibrahim Asmarakandi Arya Damar masuk Islam dan berganti nama menjadi *Arya Abullah* (Arya Dilah).


Seorang ahli pengobatan Portugis, Tomi Peres, berkisah dalam naskasnya yang berjudul *Summa Oriental.* Bahwa sekitar tahun 1510 M penduduk pesisir timur Sumatera sudah banyak yang memeluk Islam.


Rombongan Syeh Ibrahim melanjutkan ke Jawa, singgah di Tuban dan bertemu dengan Syeh Abdurrahman atau Adipati Arya Teja (1948). Namun sebelum sempat melanjutkan ke Majapahit Syeh Ibrahim wafat dan dimakamkan di Gesikharjo Palang.


Arya Teja mendapat amanat mengantarkan ke Majapahit menghadap Prabu Kertawijaya. Setelah Raden Rahmat mengabdi pada bibinya, Dewi Dwarawati, Raden Rahmat memperoleh hadiah tanah di tlatah Ampel Denta.


Sayang sekali sang permaisuri itu harus menghadap Yang Maha Kuasa di akhir tahun itu juga.

Di Mojokerto ditemukan situs makam putri Champa yang diyakini sebagai istri Brawijaya dan berbatu nisan dengan angka tahun 1448 M.


Di Ampel Denta Raden Rahmat berhasil mendirikan pesantren dan beliau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Pengaruh Sunan Ampel sangat besar,  bahkan mengalahkan Arya Lembusora penguasa Surabaya saat itu. 


Pada suatu kesempatan Sunan Ampel suwan kepada sang Brawijaya dan bercerita tentang kelahiran putra beliau di Palembang.  Mendengar hal itu Prabu Kertawijaya betkenan menghadiahkan tlatah Glagah Wangi (Demak)  untuk putranya. Sengaja dipilihkan yang agak jauh untuk menghindari pertentangan keluarga. 


Dalam pada itu di Palembang, Dewi Kiyan setelah melahirkan Arya Jimbun menikah dengan Arya Dilah dan berputra *Raden Husen*. Kelak Arya Jimbun dan Raden Husen setelah besar menuntut ilmu di pesantren Sunan Ampel.


GELOMBANG PRAHARA


SIRNA ILANG *kedua* telah titi mangsa,  ketika tiba-tiba terdengar kabar bahwa sang *Brawijaya mangkat* (1451M).  Wafatnya raja secara mendadak menimbulkan spekulasi bahwa beliau sengaja dibunuh, dan yang melakukan tindakan nekat itu adalah salah satu orang dekat beliau,  ialah Sang Sinagara. 


Sinagara adalah termasuk kerabat keraton yang berasal dari wangsa Singosari. Ia kemudian menggantikan sebagai raja dan bergelar *Sinagara Rajasawardhana* (1451-1453 M). Gelar ini menandakan bahwa ia masih membanggakan diri sebagai keturunan Ken Arok.


Tetapi pemerintahan sang Sinagara tidak berjalan lama. Pada tahun 1453 M terjadi pertikaian hebat di antara keluarga raja yang menyebabkan raja terbumuh. Dan pemerintahan kosong selama tiga tahun. 


Akhirnya Batara Saptaprabu mengangkat putra Kertawijaya sebagai raja dengan gelar *Suryowikrama Girisawardhana* (1456-1466 M). Dia adalah saudara seayah dengan Arya Jimbun. 


Pada waktu itu kedua pangeran kecil dari Palembang sudah memuntut ilmu di Ampel Denta. Kepada sang Prabu Sunan Ampel juga sering memperkenalkannya. Hubungan antara saudara seayah, di bawah bimbingan Sunan Ampel cukup baik. 


Atas seijin raja, Sunan Ampel menyarankan agar Arya Jimbun mengamalkan ilmunya mendirikan pesantren di Glagah Wangi. Hal ini sesuai wasiat mendiang ayahnya Prabu Kertawijaya. 


Sedang Raden Husen lebih berminat mengabdi kepada kerajaan. Ia diterima menjadi kerabat keraton sekaligus sebagai prajurit Majapahit oleh raja yang tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri. 


Pemerintahan Prabu Suryowikrama berlangsung selama sepuluh tahun. Dan setelah beliau wafat digantikan adiknya, yaitu Prabu *Singawikrama Wardhana*(1466-1478). Raja ini disinggung juga dalam prasasri Jiu. 


Agak berbeda dengan kakaknya yang tenang dan bijaksana,  raja yang kali ini bersifat keras dan tegas. Terutama terhadap pihak-pihak yang dianggap mengancam eksistensi kerajaan. 


Atas jalur politik yang diterapkan raja, akhirnya keturunan sang Sinagara memilih menyingkir ke Kediri.  Kali ini mereka bergabung dengan kekuatan lain, yakni keturunan Prabu Jayakatwang yang pernah dikalahkan Majapahit pada zaman Raden Wijaya. 


Dalam pada itu di Glagahwangi Arya Jimbun sudah banyak pengikutnya. Bahkan sudah berkembang menjadi sebuah kadipaten dan miliki tentara yang cukup. 


Namun Sunan Ampel selaku sesepuh para wali berpesan untuk tidak mrmulai peperangan,  mengingat jasa baik mendiang Prabu Kertawijaya.


Tak pelak jalur keras yang ditempuh raja seringkali menimbulkan gesekan. Terjadilah SIRNA ILANG *ketiga*,  ialah peperangan pertama antara tentara Islam dengan Majapahit. 


Peperangan itu mengakibatkan gugurnya senopati Demak oleh Raden Husen, yakni *Sunan Ngudung* yang merupakan suami Nyai Siti Syari'ah binti Sunan Ampel. Peperangan pertama itu terjadi di dekat Tuban (Ahmad Mundzir, Nurcholis, 2016: 26).


Terjadilah perang dingin antara Demak dan Majapahit. Tetapi keberadaan Sunan Ampel senantiasa mampu menjadi air yang meredam suasana. Apapun yang terjadi Demak adalah anak dari Majapahit, tidak boleh ada dendam.


"Yang sudah terjadi sudahlah,  kalian tidak akan mengantar perang kecuali atas ijinku, " kata Sunan Ampel. 


"Daulat kanjeng Sunan, " jawab Arya Jimbun. 


Namun di luar dugaan,  ternyata terjadi ledakan dari sisi lain. Bara api dari Kediri justru yang pecah menjadi percikan-percikan hebat. Munculah kemudian SIRNA ILANG *keempat*. Hantaman dasyat dari tentara kediri telah mengakibatkan gugurnya Prabu Singawikrama.


Kekuasaan Majapahit berpindah ke tangan Putra sang Sinagara,  yakni Prabu *Dyah Wijayakarana Girindrawardhana* (1478). Ibukota kerajaan ia pindahkan ke daerah *Keling* Kediri (Majalah Jayabaya, 2 Desember 2001).


Sebagian sumber mengatakan bahwa Dyah wijayakarana identik dengan Prabu Kertabumi atau *Brawijaya V.*


Untuk memperkuat negara dari serangan musuh, raja mengundang peran *Portugis.* Kedua pihak bermaksud membuat perjanjian. inilah yang kemudian menjadi alasan kuat bagi tentara Islam untuk melakukan penyerangan. 


Pada waktu itu pimpinan para wali dipegang oleh Sunan Giri.  Prajurit Islam berhimpun di samping dari Demak sendiri juga ikut bergabung dari Palembang,  Semarang, Tuban dan para Santri Ampel yang dilatih secara khusus.


MAKA tak ampun lagi ledakan paling dasyat, SIRNA ILANG *kelima* yang oleh Serat Kanda disebut sebagai *Sirna Ilang Kertaning Bumi*, yakni hilang lenyapnya kemakmuran dunia. 


Pararaton tidak mau kalah,  ia menyebut dengan istilah *Sunyo Nora Yugane Wong*, yang bisa diartikan sebagai hilangnya kesabaran seorang anak kepada bapaknya. 

Tentu yang dimaksud anak adalah Kadipaten Demak sedang sang bapak adalah Majapahit. 


Sirna Ilang kertaning bumi menunjukkan tahun caka 1400 atau 1478 Masehi. Adalah waktu kelumpuhan total negeri Wilwatikta. 


Prabu Wijayakarana gugur ing madyaning palagan, dan para walisanga mengukuhkan Arya Jimbun sebagai raja Demak Bintara dengan gelar *Sultan Alam Akbar Al-Fatah* atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Patah. 


Sementara sisa-sisa Majapahit masih menyeruak, pada tahun 1486 M dipimpin oleh *Dyah Wijayakusuma Girindrawardhana* dengan ibukota di *Daha* Kediri. 


Konon kekuasaan beralih kepada *Dyah Ranawijaya Girindrawardana*, dan ibukota dipindahkan ke *Panarukan* Pasuruan sampai akhirnya tak terdengar lagi.


Demikianlah Majapahit yang pernah perkasa telah tutup layar, dan panggung kehidupan baru telah tergelar

.

Dari desa ke desa suara beduk dan kentongan bertalu-talu mengiringi riuhnya para wali dan kawula mengalunkan gending ilir-ilir, menambah sejuknya suasana.


Lir ilir, lir ilir

Tandure wis sumilir

Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir

Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo surako Surak hooree..! ***

Demikian semoga bermanfaat. 

Tasikmadu,  April 2021.