-

Rusmannulis

Kamis, 27 Mei 2021

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (2)




Bangunan itu berbentuk joglo dengan atapnya yang lebar dan tinggi menjulang, memiliki halaman yang cukup luas dengan pepohonan hijau di sana-sini. 


Dua di antara pohon-pohon itu adalah lambang keperkasaan pemiliknya yaitu pohon beringin yang mungkin sudah berumur hampir seratus tahun. Masing-masing berdiri kokoh di kanan kiri agak berdekatan dengan gapura masuk yang besar dan megah pula. 


Itulah istana pribadi Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban yang ke-8 atau generasi Ronggolawe ke-7 yang dikenal pula dengan nama Raden Sahur sang senopati kesayangan Raja Majapahit.


Pagi itu suasana kediaman sang Adipati terasa sejuk dan tenang. Dengan dada yang berdentangan Raden Syaid sudah menyusuri jalan kota yang menuju ke rumahnya, ialah rumah yang dibangun oleh ayahnya dalam kedudukannya sebagai Adipati. 


Ada sesuatu yang terasa mengganjal hati anak muda itu untuk memasuki halaman rumah yang luas itu.

Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki gapura samping yang agaknya langsung menuju ke bagian butulan. 


Ketika seorang pembantu telah melihatnya maka dengan hati-hati pria itu mendekatinya sambil membungkuk-bungkukkan punggungnya.


 “Ayahanda telah menunggu di pringgitan,” kata pengawal itu, “Beliau berada di tempat itu sejak pagi-pagi sekali. Bahkan tadi malam sampai larut malam beliau menunggu Den Mas di pringgitan itu juga.”


Terasa sesuatu berdesir di dalam dada anak muda itu. Agaknya persoalan ini telah benar-benar membuat ayahandanya sangat berduka. Maka pikiran Pangeran Tuban itupun menjadi semakin tak menentu.


“Silahkan Den Mas segera menghadap beliau. Memang kami mendengar bahwa sebagian pasukan yang Raden bawa telah memasuki regol Utara tadi malam. Berita itu telah sampai ke telinga kami di sini. Malahan juga ke semua penjaga gerbang yang ada di kota ini.”


Dada Pangeran Tuban menjadi semakin berdebaran. Memang saat itu ia ditugaskan untuk mendampingi para prajurit kerajaan mendatangi orang-orang pembangkang pajak.


Bahkan ia diminta juga membawa para pengawal Tuban sebagai pendamping. Di antaranya sebagian sudah dimintanya pulang tadi malam.


Namun ketika orang-orang Majapahit itu menyakiti sebagian rakyat jelata, tiba-tiba muncul serombongan orang yang dikenal dengan nama kelompok Lokajaya. Mereka tidak lain adalah kawan dari Putra Tuban itu sendiri.


Pimpinan prajurit yang mengetahui hal itu menjadi marah dan berjanji akan melaporkannya kepada Panglima Kerajaan.


Raden Syaid yang teringat akan hal itu nampak berdesah. Maka untuk mengusir kegelisahan itu lantas ia serahkan kudanya kepada pengawal sambil berkata, “Aku akan segera menghadap ayah.”


Raden Syaid mengatur dirinya sejenak. Kemudian ia pun memaksa kakinya untuk melangkah lewat emperan samping menuju ke pendapa.


Dengan dada yang masih berdentangan Raden Syaid naik ke pendapa tempat Ayahandanya sedang duduk. 


Adipati Wilatikta seperti yang dikatakan oleh pengawal tadi, memang berada di pringgitan. Duduk di atas tikar rotan yang berwarna putih kecoklatan dan di hadapannya telah siap sebuah mangkuk kaca berisi minuman teh kesayangannya.


Rasa-rasanya dada Raden Syaid akan meledak melihat wajah ayahanda yang muram. Jauh berbeda dengan wajah beliau ketika menugaskannya pergi mendampingi pasukan kerajaan.


Beberapa orang pengawal di gapura bagian dalam melihat Raden Syaid yang justru datang lewat butulan samping. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, justru hanya sedikit menunduk sambil memandangi saja dari agak kejauhan.


Ketika Raden Syaid berada di atas tangga, ayahandanya sudah melihatnya. Namun lelaki setengah tua itu masih tetap berdiam diri, mungkin menunggu putranya agar datang mendekatinya.


Dengan ragu-ragu anak muda itu mendekat. Kemudian duduk di hadapan ayahandanya yang memandanginya dengan tatapan mata sayu.


“Kau telah datang semalam Syaid?” bertanya Arya Wilatikta.


“Ya, Ayahanda,” jawab Raden Syaid dengan dada yang berdegub semakin cepat.


“Mengapa kau tidak langsung pulang?”


“Ma’af, sudah terlampau malam, Ayah. Aku takut mengejutkan paduka.”


“Ketika aku menerima laporan tentang kedatanganmu itu, aku langsung menunggu kau di sini. Tetapi kemudian aku mendengar laporan berikutnya bahwa kau tidak berada di antara pasukan itu.”


Raden Syaid menjadi semakin bingung. Justru karena itulah ia tidak bisa menjawab. Akhirnya ia hanya mampu menunduk dan menunduk.


“Aku ingin berbicara dengan kau tentang suatu masalah yang penting. Tetapi tentu tidak sekarang. Kau tentu masih lelah. Nanti setelah kau membersihkan diri, makan dan minum serta beristirahat sebentar,  maka kita akan berbicara dengan tenang.”


Sesuatu terasa bergejolak di dada Raden Syaid. Ia ingin mendengar keputusan ayahandanya segera. Tetapi ia tidak berani mendesaknya.


“Aku ingin mendengar ceriteramu tentang tugas yang kau lakukan. Apakah kau berhasil?”


Raden Syaid menganggukkan kepalanya. Jawabnya:


"Kami berhasil, Ayah. Sebagian dari orang-orang yang menunggak pajak telah membayarnya."


Adipati Wilatikta mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya:


“Apakah kau temukan pula para pengacau itu?”


“Ya, Ayah. Mereka berada pula di antara para penduduk.”


Adipati Tuban itu masih mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, “Sekarang pergilah untuk membersihkan dirimu. Akupun juga belum makan. Kita nanti akan makan bersama-sama di ruang dalam. Kemudian kita akan berbincang sedikit.”


Raden Syaid termangu-mangu sejenak memandang wajah ayahandanya. Wajah yang kini tiba-tiba saja nampak terlampau tua, pikirnya. Baru beberapa hari aku telah meninggalkannya, namun dalam beberapa hari itu rasa-rasanya ayah sudah berubah menjadi bertahun-tahun di atas usianya.


“Pergilah ke belakang,” berkata Arya Wilatikta. 


Meskipun suaranya terdengar sareh, tetapi terasa bahwa di dalam dada orang tua itu bergejolak perasaan yang ia tahan.


Raden Syaid pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia pergi meninggalkan ayahandanya yang duduk seorang diri seperti halnya sebelum ia datang.


Ketika ia telah sampai di halaman, sekali lagi ia sempat memandang ayahandanya yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Lagi-lagi sesuatu terasa bergetar di dada anak muda itu.


Ayahnya kini telah benar-benar berubah, seakan-akan beliau bukan lagi Raden Sahur seorang panglima perang Majapahit yang sakti dan disegani. 


Yang duduk di pendapa sambil menundukkan kepalanya itu seperti layaknya orang tua biasa yang putus asa karena menghadapi penghidupan yang sulit. Orang yang kelelahan karena mencari makan untuk anak dan isterinya.


Raden Syaid seperti merenung sejenak namun ayahandanya sama sekali tidak berpaling ke arahnya.


Beberapa orang prajurit di gapura dalam memandang Raden Syaid dengan agak heran. Ki Tumenggung telah menunggunya semalam di pringgitan. Lalu pagi-pagi benar Adipati Tuban itu telah bangun lagi dan tetap menunggu di pendapa pula. 


Namun begitu anaknya sudah datang, mengapa hanya beberapa saat saja sudah disuruhnya pergi lagi.


Sementara itu Raden Syaid pun pergi ke belakang. Sambil masih berwajah bingung ia kemudian masuk lagi lewat pintu butulan dan langsung ke biliknya mengambil ganti pakaian dan kemudian pergi ke tempat mandi.


Baru setelah ia selesai membersihkan dirinya, pemuda itu kembali menemui ayahnya yang masih juga duduk di pendapa. 


Masih seperti tadi, kepalanya tertunduk lesu seakan-akan ayahandanya tidak bergerak sama sekali. Ketika Arya Wilatikta melihat Raden Syaid naik lagi ke pendapa, maka katanya: 


“Nah kau sudah selesai. Marilah kita makan bersama di ruang dalam.”


Anak muda itu tidak menjawab. Ia mengikuti saja ketika ayahnya kemudian bangkit dan melangkah masuk ke ruang dalam.


Ternyata makan mereka sudah disediakan. Seorang pelayan yang menunggui makanan itu pun kemudian pergi ke belakang setelah Arya Wilatikta dan Raden Syaid duduk menghadapi hidangan itu.


“Marilah kita makan Syaid,” ajak ayahnya.


Syaid merasa semakin asing di rumah serta di depan ayahnya sendiri. Biasanya ayahnya tidak begitu kaku menghadapinya. Bahkan seringkali Ki Tumenggung tidak begitu menghiraukan, apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Apalagi jika beliau merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh.


Bagaikan melayani seorang tamu, Arya Wilatikta mempersilahkan anaknya untuk menyenduk nasi lebih dahulu, kemudian mengambilkan lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.


“Syaid,” berkata Adipati Tuban itu, “tentu tidak banyak orang yang makan sambil berbicara. Namun bila dirasa penting dan dengan irama yang baik, aku kira tidak salahnya pula. Karena itu, sambil makan, aku akan bertanya tentang perjalananmu.”


Kini leher Raden Syaid terasa menjadi kian menyempit sehingga ia tak kuasa menelan nasi yang sudah dikunyahnya. 

Namun betapapun beratnya anak muda itu tetap mengangguk sambil menjawab:


“Silahkan, Ayah.”


Waktu hening sejenak, ternyata Adipati Wilatikta tidak segera bertanya. Dibiarkannya waktu menggelantung cukup lama. Bahkan pria itu justru menyuapi mulutnya dan mengunyah lalu menelannya. 


Kini yang ada justru Raden Syaid yang nampak termangu-mangu beberapa saat. Meskipun pria muda ini kemudian tetap makan sambil menundukkan kepalanya.


Seorang emban datang dan bertanya kepada sang Adipati: 


“Tuan, apakah perlu ditambah sayurnya. Ini gusti putri mengirimkan semangkuk lagi sayur kesayangan paduka?”


 Tuan Tumenggung tidak berkenan menjawabnya. Lama sekali perempuan muda itu dibiarkannya berdiri agak jauh darinya. Namun akhirnya si emban bergeser surut sambil menundukkan mukanya. 


Sementara Raden Syaid hanya pura-pura tidak mengerti dan mencoba meneruskan suapan nasinya. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar