-

Rusmannulis

Kamis, 27 Mei 2021

SAAT BRANDAL LOKAJAYA TERDAMPAR DI TEMBOK ISTANA (4 Tamat)



JERITAN kedua wanita yang tak disangka-sangka itu sedikit mengejutkan Sang Wilatikta, maka tangan yang telah terlanjur mengepal itupun bagaikan terhenti di tengah jalan, meskipun tak hendak ditariknya pula. 


Tergopoh-gopoh kedua wanita itu menghampiri orang-orang yang dikasihinya. Seperti digerakkan oleh gerak naluri Dewi Nawang Arum segera meraih tangan suaminya yang berancang-ancang di atas, sedang Dewi Sari menarik tubuh adiknya semampu-mampunya.


Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, tenaga kedua wanita bangsawan Tuban itu seperti menghadapi patung yang terbuat dari batu. Sama sekali tak ada artinya baik tarikan sang ibu pada tangan suaminya maupun rangkulan sang kakak yang menggeret tubuh adiknya. 


Kedua tubuh pria yang mereka kasihi ini tiba-tiba tak ubahnya seperti kekuatan gaib yang tak akan bisa diluluhkan oleh siapapun. Maka yang ada sekarang adalah tangisan yang disertai ratapan Dewi Nawang Arum maupun Dewi Sari agar semua ini dihentikan.


“Kanjeng, aku mohon kanjeng hentikan,” kata Dewi Nawang Arum “dia adalah putra kita sendiri.”


“Ya ayah, jangan teruskan ayaaah!” jerit Dewi Sari pula “ayo dimas, mundurlah dimas Syaid.”


Kakak perempuan Raden Syaid itu berteriak-terikan sambil mencoba mengangkat tubuh adiknya. 


Namun semua itu seakan-akan tidak ada gunanya sehingga tangisan kedua wanita itu semakin tak terkendali.

Lantas, apakah sesungguhnya yang sedang terjadi? 


Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak tahu bahwa Sang Wilatikta saat itu telah dirasuki oleh ajiannya yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang, ialah: *Aji Gelap Sayuta.*


Ajian yang merupakan salah satu ciri khas Adipati Tuban ke-8 ini secara spontan hadir saat dia menggebrak pintu kamar sembari berteriak akan membasmi para brandal Loka jaya. 


“Aku sendiri yang akan melenyapkan para berandal tak berguna itu !” 


Begitulah suaranya yang sangar dan sangat keras telah memancing hadirnya salah satu ajian yang dimilikinya, yang selama ini menjadi andalan di medang perang sebagai Raden Sahur sang senopati linuwih kerajaan Majapahit.


Dan suara yang menggelegar bagaikan petir menyambar itulah yang agaknya tadi telah mengundang Dewi Nawang Arum dan Dewi Sari untuk berlari mendatangi serta memastikan apa yang sedang terjadi pada Sang Adipati.


Sesungguhnya saat itu bukan Raden Syaid tidak memahami apa yang sedang menjalar dalam diri ayahnya, bukan ia tidak mengerti betapa bahaya telah mengancam atas kekuatan ajian Gelap Sayuta. 


Pangeran Tuban itu sepenuhnya tahu bahwa kekuatan ajian ini bukan saja pada suara yang menggelegar laksana geludug namun juga pada kedasyatan tenaga dan pukulan pemiliknya yang melebihi tenaga sepuluh gajah.


Namun karena tanggung jawabnya terhadap kawan-kawan yang dipimpinnya itulah yang mendorong kenekatan Raden Syaid untuk menerima apapun yang akan dia alami dari kemarahan sang ayah.


Pemuda yang telah ditempa oleh tingginya bukit, dalamnya jurang serta hantaman ombak laut utara ini seperti tak menghiraukan resiko apapun seandainya tangan ayahnya yang dialiri oleh kekuatan hebat itu benar-benar akan menghantam dada atau kepalanya.


Dan tentu bukanlah salah Raden Syaid pula kalau tanpa dia sengaja telah hadir kemampuan yang bersemayam dalam dirinya yang selama ini ia asah dengan berbagai rintangan di alam liar. Yang telah ia matangkan dengan cara keluar masuk hutan guna membela orang-orang lemah bersama temannya. 


Tiba-tiba saja piandel yang ia miliki telah merasuki tubuhnya tanpa ia sendiri berniat mengundangnya. Raden Syaid telah didorong oleh naluri untuk membentengi diri saat merasa terancam oleh suatu kekuatan dari luar, ialah dengan ajian: *Tameng Waja.*


Begitulah meskipun nampak wadak Pangeran Tuban itu tengah memeluk kaki sang ayah dengan kepasrahannya, namun sesungguhnya di depan dua wanita itu tengah berhadapan dua ajian yang sangat dasyat yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Sebagai seorang linuwih Adipati Wilatikta tahu dan merasakan pula apa yang terjadi dalam diri anaknya.


“Kurang ajar kau Syaid. Kau telah berani melawan ayahmu sendiri,“ bentak sang Wilatikta “minggir, minggiir! Seberapa kekuatan yang akan kau pamerkan pada ayahmu, he? Kau anak kemarin sore. Ayo hitung semua ajianmu, ingat-ingat semua rapalmu, tak akan mungkin Raden Sahur ini lari dari seorang bocah kecambah sepertimu.” 


TERKEJUTLAH pemuda itu atas teguran ayahnya, kini ia sadar dengan siapa dirinya berhadapan. Ia yang sebenarnya tidak bermaksud melawan ayahnya, namun sang ayah yang merupakan senopati Majapahit itu telah merasakan hadirnya ajian Tameng Waja dalam dirinya.


Maka buru-buru Raden Syaid melepas pelukannya, dan dengan membungkuk hormat pemuda itu perlahan-lahan mundur beberapa langkah. Kini iapun nampak duduk menunduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.


“Ampun ayahanda, ampunkan putramu yang tak tahu diri ini,” katanya lirih “putranda tidak bermaksud menentang paduka.”


"Jangan kira kau mampu melunturkan tekad prajurit Majapahit, hai bocah!" Suara Wilatikta masih menggelegar.


Dan suasana menjadi semakin tegang ketika sang adipati tiba-tiba membalikkan badan dan melangkah tegak ke arah ruang pusaka. Raden Syaid spontan berdiri dan berbarengan dengan itu terdengar pula teriakan sang ibu serta kakak perempuannya.


"Kanjeeng janganlah kanjeeng, kasihanilah istrimu ini!" ratapan Dewi Nawang Arum tak terbendung lagi.


"ASSALAMUALAIKUM ... !" tiba-tiba seorang lelaki datang tergopoh-gopoh mendekati mereka, "Heh, ada apa ini!?"


Raden Syaid yang hendak berlari mendekati sang Wilatikta terhenti langkahnya. Suara yang sareh itu bagai memberi harapan terhadap kebuntuan ini. Namun belum sempat Raden Syaid melangkah, ibunya sudah mendahului mendekati lelaki itu.


"Paman, oh pamanda Ngraseh. Tolong hentikan kanjeng Wilatikta ..!" Ratap Dewi Nawang Arum kepada pria tersebut. Rupanya yang baru datang adalah Pangeran Ngraseh, adik Nyi Arya Teja atau ibunda Adipati Wilatikta.


Dalam pada itu langkah Adipati Tuban juga menjadi terhenti oleh kedatangan pamannya. Ia ingat betul, mendiang ibundanya pernah mewanti-wanti agar ia selalu menghormati adik kandungnya ini. Lagi pula paman Ngraseh adalah sosok yang suka mengalah dalam banyak hal.  Ia adalah ulama yang mewarisi karisma Kakek Arya Teja, yang juga adipati Tuban sebelumnya. Karena itu aku tak boleh menyepelekan beliau, pikirnya.


Terdorong oleh luapan emosinya dan pada sisi lain ia harus menghormati kehadiran sang paman, maka Adipati Wilatikta segera menghentikan kakinya.


Lelaki itu lantas berkata kepada Pangeran Ngraseh:


"Oh paman, mari silahkan pamanda ageng, "katanya sambil menunduk, "ma'af tadi ada yang harus saya peringatkan pada anak saya si Syaid."


"Sudahlah Nakmas Adipati, ayo kita sejukkan dulu hati kita," kata Raden Ngraseh dengan tersenyum, "Sini-sini semuanya kita duduk bareng. Ayo Nini Sari, tikar yang ada di Pringgitan itu digelar di sini. Kita tenangkan hati kita dahulu." 


Mau tidak mau semua harus duduk di atas tikar yang disiapkan Dewi Sari. Tidak terkecuali Adipati Wilatikta, meskipun dalam hati ia tak bisa menerima perlakuan pamannya. Tapi apa hendak dikata, karena beliau ini juga pewaris tahta Tuban. Putra Ki Arya Dikara (Adipati ke-6) yang berarti darah Ranggalawe juga.


Kini wajah-wajah yang semula membeku laksana gumpalan es itu berangsur-angsur mencair. Apalagi saat Ki Ageng Ngraseh mengajak semua yang hadir membaca do'a, memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.


Maka begitulah, Ki Ageng Ngraseh tanpa direncanakan segera memimpin sidang kecil ini. Agaknya sidang keluarga  inilah yang memutuskan bahwa Raden Syaid harus segera membubarkan laskar Lokajaya. 


Dewi Nawang Arum dan semua yang hadir sangat berterimakasih atas kebijaksanaan pamanda Ngraseh. Adipati Wilatiktapun luluh hatinya dan segera mencium tangan Ki Ageng saat  pamannya minta diri.


Akan halnya Raden Syaid yang besuknya meminta restu para sesepuh kadipaten untuk melaksanakan tugasnya. Bagi dia bukan soal pembubaran para brandal itu yang sulit, melainkan apa yang akan dilakukan para laskar itu setelah dibubarkan. 


Maka Raden Syaid merasa harus tetap mendampingi teman-temannya. Ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, ia memerlukan waktu panjang untuk menyadarkankan hati mereka. 


Diceritakan Pangeran Tuban ini sangat lama tidak kembali ke dalem kadipaten, sehingga orang-orang yang mengasihinya sangat rindu padanya. Akhirnya ia bertemu dengan guru pertamanya, yakni Sunan Bonang di hutan Jatiwangi. Tak puas hanya itu ia juga melanglang buana dari satu guru ke guru lainnya.


***


SEMBURAT merah memancar dari ufuk timur, sang fajar telah datang mendahului sinar pagi. Menyeruak di antara batang-batang ental yang kokoh berdiri di hamparan pasir. Dan lambaian daun-daun rontal meniupkan angin yang semilir sejuk, seirama dengan gulungan ombak di pantai laut utara. 


Alkisah, seluruh anggota berandal Lokajayapun pada akhirnya berhasil di-Islam-kan oleh seorang sunan muda yang tiada lain adalah pimpinan mereka sendiri. Konon dialah satu-satunya wali di tanah Jawa yang berhasil bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima *Ilham Semar Sejati.*


Sebagaimana beliau kisahkan sendiri melalui karyanya yang diberinya judul *Suluk Linglung,* pangeran Tuban itu telah menjelma menjadi seorang waliyullah besar.


Adalah Sunan Kalijaga, siapa yang tak kenal namanya? Dialah sang Lokajaya atau Raden Mas Syaid atau Pangeran Abdurrahman atau Syeh Malaya atau *Sira Ingkang Sinuwun* Kanjeng Sunan Waliyullah Tanah Jawi Langgeng Ing Bawana.


Sekali lagi, sang fajar telah datang. Teriring tembang Asmaradana pada Pupuh II bait ke-6 dan ke-7 dalam Suluk Linglung karya sang Waliyullah langgeng ing Tanah Jawi:


"...6. Den becik gama nireki, 

agama pan tata krama, 

krama  –kramate Hyang Manon, 

yen sirapanata syarak, 

sareh iman hidayat,

hidayat iku Hyang Agung, 

agung ing ngrahanira."


... Perbaiki ketidak aturan yang ada, 

agama itu isinya tata krama, 

Juga kesopanan untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Tahu, 

Jika engkau memegang erat syariat, 

serta semua ketentuan iman hidayat, 

hidayat itu asalnya dari Allah yang Maha Agung, 

yang sangat besar anugrah-Nya.


".. 7. Kanugrahane Hyang Widhi,

ambawani kasubdibyan,

pangawasane pan dene, 

kadigdayan kaprawiran, 

sakabeh rehing yuda,

tan liya nugraha luhur, 

utamane kautaman."


... Kanugrahan dari Allah, 

meliputi dan menimbulkan keluhuran budi,

adapun kekuasaan-Nya melahirkan kekuatan yang luar biasa, 

melingkupi segala kebutuhan berjuang,

yang demikian itu adalah anugrah yang besar,

paling utama dari segala keutamaan.***


Demikian semoga bermanfaat.


Tasikmadu, 28052021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar