-

Rusmannulis

Selasa, 08 Juni 2021

PUTRA-PUTRA FAJAR NEGERI WILWATIKTA (2)



Oleh : Rus Rusman


Pada tulisan sebelumnya dijelaskan bahwa ada tiga putra fajar Majapahit yang bersinar pada zaman Islam,  ialah Raden patah putra dari Prabu Kertawiaya (Brawijaya 1), Mas Karebet keturunan Prabu Kertabumi Girindrawardhana (Brawijaya V), dan Raden Sutawijaya keturunan Prabu Brawijaya I. 


PERTANYAAN yang masih tersisa adalah leluhur wanitanya, sebab dalam catatan sejarah ada tiga orang wanita yang bisa diprediksi sebagai leluhur para putra fajar, antara lain: Dewi Kiyan (dari China), Dewi Wandan Kuning (dari Sulawesi) dan Dewi Anarawati (dari Champa).







1. Dewi Kiyan


Wanita ini adalah garwa selir Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yang dititipkan kepada Arya Damar di Palembang. Waktu itu sang dewi sudah anggarbeni. Saat di Palembang itulah sang bayi lahir,  yang kemudian diberi nama Arya Jimbun atau Raden Patah. Raden Patah kelak menjadi Raja di Demak Bintoro.  

Jadi Dewi Kiyan sudah jelas merupakan Ibu Raden Patah. Dengan demikian para sultan Demak Bintoro itu keturunan Brawijaya I dengan istri selirnya yaitu Dewi Kiyan.


2. Dewi Wandan Kuning


Dewi Wandan Kuning semula adalah seorang dayang atau pelayan permaisuri raja Brawijaya V. Namun karena kecantikannya membuat sang raja tertarik dan dicarilah alasan untuk bisa menikahinya.Nya.

Pada waktu itu raja menderita sakit yang hanya bisa sembuh kalau ia mau mengawini wanita Wandan. Itu menurut ramalan tabib istana. 


Maka raja segera menikahi dayang istana yang cantik itu. Menurut analisa penulis, dari perkawinan itulah lahir Putri Retna Pembayun.


Putri Retna Pembayun dilarikan atau diculik oleh Menak Daliputih dari Blambangan yang kemudian diselamatkan Jaka Sengara. Jaka Sengara menjadi Adipati Pengging bergelar Raden Handayaningrat dan menikahi Putri Retna Pemabayun. 


Memiliki anak Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging II. KI Ageng  Pengging II menurunkan Mas Karebet atau Joko Tingkir yang kelak menjadi sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. 


3. Dewi Anarawati 


Dewi Anarawati atau Dewi Dwarawati adalah putri Kerajaan Cempa. Ia adalah permaisuri Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yang tidak lain adalah bibi Sunan Ampel.


Sang Permaisuri di samping memiliki anak yang lain juga memili anak Lembu Peteng atau Bondan Kejawen. Berbeda dengan saudaranya, Raden Bondan lebih senang bertapa di gunung-gunung dan hutan belantara.


Raden Bondan kemudian menurunkan Ki Ageng Getas Pandawa dan seterusnya. Pada ujungnya menurunkan Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya kelak menjadi raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati.


BAGAIKAN BUAH KARAMBOL


Ternyata Tuhan menciptakan segala sesuatu selalu dalam  hukum sebab akibat. Contohnya Majapahit,  sehancur-hancurnya negeri Wilwatikta initernyata detak jantungnya masih mampu mengalirkan darah pada urat nadi para sultan Jawa.


Sementara Majapahit itu sendiri juga tak bisa lepas dari pengaruh raja-raja Singosari. Singosari dan Kediri juga akibat detak jantung Kerajaan Kahuripan (Erlangga).


Diceritakan waktu itu Erlangga akan membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua untuk dua anak laki-lakinya. Untuk itu Erlangga meminta Mpu Baradha mengadakan upacara suci besar-besaran di lapangan mayat Wurare (sekarang bernama Surabaya). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1045. (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 39).


Sebagai titising Wisnu Erlangga telah dihantui firasat buruk. Memang garis batas dua kerajaan (Jenggala dan Kediri) sudah ditorehkan oleh tongkat sakti sang Mpu, namun tetap saja Erlangga berwajah muram.


Konon bekas garis hasil guratan tongkat sakti itu sekarang menjadi kali Brantas.


Kekhawatiran Erlangga semakin menjadi-jadi saat menyaksikan ketidaksempurnaan Mpu Baradha melakukan tugas besar itu. 


Meskipun mantra-mantra suci sudah terloncat dari mulut sang mpu, namun tak urung jubah yang dia kibarkan tersangkut pada sebuah pohon asam kate (kamal pandhak). 


Mantra-mantra sakti Mpu Baradha walau seberapapun ampuhnya hanyalah sekedar usaha manusia, sedangkan takdir adalah kehendak sang Pencipta yang hanya dapat berubah atas ijin-Nya pula.


Akibat semua itu maka jadilah kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa dari era ke era bagaikan buah karambol yang menatap-natap. Jenggala hancur oleh Kediri, Kediri hancur oleh Singosari, Singosari bubrah muncullah Majapahit dan Majapahitpun sirna ilang timbul Demak, Pajang dan Mataram.


Kalau begitu benarkah setiap kerajaan bisa berkembang dan termashur syaratnya harus menenggelamkan kerajaan seniornya?

Haruskah Demak Bintoro melepas jangkar ke samodra luas dengan cara merobek layar Majapahit? Haruskan Mataram mengepakkan sayap ke angkasa dengan cara mencakar kepala dan tubuh Pajang?


Sesungguhnya kemenangan itu bukanlah tentang kita bisa mengalahkan siapa, melainkan tentang seberapa banyak orang merasa nyaman dengan keberhasilan kita.


"Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Becik ketitik ala ketara. Sapa sing mbibiti ala ing Kono *wahyune sirna."*


Wallahu a'lam, semua terjadi atas kehendak Tuhan.


Demikian Semoga bermanfaat.


Tasikmadu, Juni 2021.

PUTRA-PUTRA FAJAR NEGERI WILWATIKTA




Oleh : Rus Rusman


JANGKA JAYABAYA menyebutnya sebagai zaman *kalabendu,* ialah masa di mana dunia mengalami gelap gulita, guntur dan geludhug sesamberan, wukir gunung moyag-mayig, sindhung riwut magenturan.


Zaman kalabendu adalah era di mana sebagian besar penghuni dunia ini mengalami mala petaka. Zaman yang di mana-mana tumbuh bebendu atau hukuman bagi orang-orang yang banyak dosa. "Waooiyaah..!"


Al-Qur'an bahkan memberikan gambaran yang lebih mengerikan :


"Saat itu manusia kontrang-kantring bagaikan anai-anai yang berterbangan, gunung-gunung bagai bulu yang ditiupkan" (Al-Qori'ah: 4-5).


"Setiap ibu yang menyusui akan lupa terhadap bayinya, wanita yang mengandung akan gugur kandungannya. Manusia seperti mabuk padahal ia tidak mabuk" (Al-Hajj : ayat 2).


"Pada hari itu tak ada siksaan yang (sakitnya) melebihi siksaan Allah, tak ada rantai yang (kuatnya) mengikat seperti ikatan Allah. Maka wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu sebagaimana keridhoan-Nya" (Al-Fajr : 25-28).


Tetapi melalui firman-Nya yang lain, Tuhan telah menjanjikan sesuatu yang amat melegakan:


"Fa Inna ma'al 'usri Yusran, Inna ma'al 'usri Yusra" = Sesungguhnya setelah ada kesulitan akan ada kemudahan = (Al-Insyirah: 5-6).


Maka kemudian di saat-saat orang mulai mengering harapannya, dan ketika Sirna ilang kertaning bumi, di saat itulah Tuhan lantas menghadirkan seorang *putra fajar.*


Manusia yang lahir dan bersinar bagai matahari di saat siang dan bercahaya bagai bulan di saat malam. Mpu Prapanca lewat Negarakertagama, menggambarkan putra fajar selalu datang sebagai sang Sutamayu yang menghapus duka, sang pertiwi yang memakmurkan negeri, maka lengkaplah ia bagaikan rembulan.


Kelahiran sang putra fajar seringkali ada di sela-sela penderitaan, di tengah kesengsaraan  sering lahir seorang bayi trahing kusumajati. Dan satu lagi, setiap putra fajar selalu ditemani oleh do'a-do'a yang membahana.


Do'a para brahmana kang pinandita, ulama pangawak kyai sejati. Dan do'a-do'a merekalah yang sesungguhnya selalu ditunggu oleh Tuhan. Do'a yang bisikannya amat lirih tapi mengangkasa menembus relung-relung langit dan disambut dengan senyuman oleh Sang Maha Kuasa. 


Dalam perjalanannya sang putra fajar akan selalu ada tangan yang menggandengnya, tangan sang penuntun sejati. Tangan itu mungkin ringkih secara ragawi, namun sesungguhnya ia adalah tangan yang amat perkasa menjadi penunjuk jalan.


Tangan itu akan mengantarkan momongannya menuju ke-ridho-an Tuhan. Tidak ubahnya Raden Ramawijaya yang dituntun sang wungku atau para Pandawa yang digandeng oleh Sri Kresna .


Lalu siapakah yang pantas disebut sebagai sang putra fajar dalam sejarah negeri Nuswantara? Tulisan ini sengaja hanya mensitir tokoh-tokoh di era pasca Majapahit. Belajar pada sejarah, ada beberapa figur yang menurut penulis patut mendapatkan gelar sebagai sang putra fajar, antara lain: Raden Patah, Mas Karebet dan Raden Sutawijaya.


1. Raden Arya Jimbun


Raden Arya Jimbun atau lebih dikenal sebagai Raden Patah adalah sang putra fajar pertama. Dia adalah putra Prabu Kertawijaya atau dalam cerita babad disebut sebagai Brawijaya ke-1.


Ibunya bernama Dewi Kiyan, ialah garwa selir yang konon berasal dari China. Arya Jimbun lahir dalam derita ibunya, ketika saat kehamilannya sang ibu terusir dari istana Majapahit.


Timbul pertengkaran hebat di antara  keluarga raja, dan  wanita China itu terpaksa dititipkan kepada Arya Damar, yakni kakanda sang prabu yang tinggal di Palembang.


Adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang saat itu singgah di Palembang, dalam perjalanannya menuju Majapahit. Ketika ia menyaksikan kelahiran sang bayi kemudian ia ceritakan kepada sang Kertawijaya.


Saat itulah sang prabu berkenan menghadiahkan hutan Glagah Wangi (Demak) untuk putranya. Dan ketika Raden Patah telah besar dan berguru (nyantri) di Ampeldento, sang sunan meminta palilah Prabu Suryowikrama (Saudara seayah Raden Patah) agar diijinkan membangun perkampungan Glagah Wangi.


Tahun demi tahun berjalan dan sejarahpun mencatat Glagah Wangi tampil sebagai kerajaan Islam pertama dan terbesar di tanah Jawa, dengan rajanya  Sultan Syah Alam Akbar Sayidin Panatagama. Demak kemudian mampu menghancurkan Majapahit di bawah Girindrawardhana yang saat itu hendak bergabung dengan Portugis (1478).


Alur cerita di atas menunjukkan bahwa sang putra fajar Raden Patah dapat tampil perkasa atas gandengan tangan sang penuntun sejati, yaitu Sunan Ampel yang mendapat dukungan  para waliyullah lainnya.


Sedikit yang ingin penulis luruskan, terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Raden Patah adalah putra Brawijaya ke-5. Kalau yang dimaksud Brawijaya ke-5 itu Girindrawardhana atau Kertabumi maka pendapat itu *kurang benar*.


Girindrawardhana memimpin Majapahit hanya kurang dari satu tahun, yaitu saat ia berhasil merebut dari tangan Prabu Singawikrama Wardhana (awal 1478) sampai ia dihancurkan Demak (akhir 1478) karena akan bergabung dengan Portugis.


Sesuatu yang tidak mungkin jika waktu kurang dari satu tahun Raden Parah membangun pasukan perang, apalagi memerangi ayahnya sendiri yang memberikan hadiah Glagah Wangi. Jadi yang benar ayahanda Raden Patah atau sang putra fajar adalah Prabu Kertawija atau Brawijaya ke-1.


2. Mas Karebet


Mas Karebet atau  Jaka Tingkir adalah putra fajar yang kedua. Menurut sejarah ia adalah Putra Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, tapi karena sejak kecil ayah dan ibunya sudah meninggal maka ia dipungut anak oleh Nyai Ageng Tingkir.


Lalu siapakah Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu? Tokoh ini konon adalah putra dari Raden Handayaningrat yang masa mudanya bernama Jaka Sengara. 


Jaka Sengara seorang pemuda kabur kanginan yang memiliki kesaktian tinggi. Kebetulan waktu itu Raja Majapahit (Brawijaya V) sedang kehilangan putrinya, yaitu Putri Pembayun. 


Diadakanlah sayembara, siapapun yang bisa menemukan dan membawa pulang sang putri,  maka kalau lelaki akan dijodohkan dengannya sedang kalau perempuan akan diangkat sebagai saudara.


Ternyata setelah dilacak Sang putri diculik oleh Menak Daliputih yaitu keturunan Bre Wirabumi di Blambangan.


Jaka Sengara berhasil memenangkan Sayembara, ia menikahi Putri Pembayun dan sekaligus diangkat sebagai Adipati di Pengging bergelar Raden Handayaningrat.


Mereka memiliki tiga anak, yakni Raden Kebo Kanigara (Ki Ageng Banyubiru), Nini Panengah (Nyai Ageng Tingkir) dan Raden Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging II).


Raden Handayaningrat gugur oleh Senopati Islam saat membela Majapahit.


Kedudukannya digantikan Raden Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging II.  Raden Kebo Kenanga menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh dan melahirkan Mas Karebet.


Dengan Demikian Mas Karebet adalah Cucu Buyut Brawijaya  V atau Prabu Girindrawardhana, raja terakhir Majapahit.


Keberhasilan hidup Mas Karebet di samping tidak terlepas dari keluarga besarnya, juga atas tuntunan orang-orang yang menjadi gurunya.


Guru pertama dan terakhirnya adalah Sunan Kalijaga, lalu Ki Ageng Sela, dan Ki Ageng Banyubiru. Pernah juga berguru kepada Sunan Kudus. 


Di antara sekian banyak para gurunya yang paling berpengaruh padanya adalah Sunan Kalijaga, sebab di samping sebagai guru beliau juga kakek dari istrinya, yaitu Ratu Mas Cempa atau putri Sultan Trenggana.


Sunan Kalijaga selalu hadir di setiap kesulitan Mas Karebet, yaitu saat masih berkelana di hutan, gunung dan lembah di desa Tingkir, saat berguru kepada Ki Ageng Sela, saat diusir dari Demak oleh sultan karena dianggap berbuat salah, saat berguru di Banyubiru, dan saat bersaing dengan Arya Penangsang di bawah Sunan Kudus.


Bahkan saat sudah menjadi raja di Pajangpun Sunan Kalijaga hadir menjadi penengah dengan Ki Ageng Pemanahan. Waktu itu Karebet (Sultan Hadiwijaya) lama sekali tidak menyerahkan Hutan Mentaok (cikal bakal Mataram) kepada Pemanahan karena keraguannya atas kesetiaan Pemanahan. Dan saat itulah kanjeng sunan tiba-tiba hadir di antara keduanya.


3. Raden Sutawijaya


Raden Sutawijaya menurut kisah resmi adalah Putra Ki Gede Pemanahan. Meskipun ada sumber yang menyebutkan ia putra biologis Mas Karebet.


Namun sumber yang lebih baku mengatakan ia adalah putra kandung Ki Gede Pemanahan yang juga putra angkat Sultan Hadiwijaya.


Agar lebih jelas berikut ini silsilah lengkapnya: Raden Sutawijaya, + putra Ki Gede Pemanahan, + putra Ki Ageng Enis, + putra Ki Ageng Sela, + putra Ki Ageng  Getas Pandawa, + putra Ki Bondan Kejawen/lembu peteng, + putra Brawijaya V raja Majapahit (Soedjito Abimanyu, Sejarah Mataram, 2015: 30).


Jadi kalau melihat silsilah ini Raden Sutawijaya adalah keturunan Brawijaya V. Namun kalau melihat panjangnya urutan itu saya agak meragukan. Apakah betul Brawijaya V atau Prabu Kertabumi leluhur mereka. 


Mari kita bandingkan dengan silsilah Mas Karebet. Brawijaya V berputra Lembu Peteng atau Bondan Kejawen berarti seusia Putri Pembayun. Lembu Peteng berputra Ki Ageng Getas Pandawa berarti seusia Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela berarti seusia Mas Karebet. Padahal kenyataannya Ki Ageng Sela adalah guru Mas Karebet.


Dari sini saja sudah jelas bahwa bukan Brawijaya V yang menjadi leluhur Sutawijaya. Saya lebih cenderung kepada Brawijaya I atau Prabu Kertawijaya.


Jika Prabu Kertawijaya yang menjadi leluhur Raden Sutawijaya ini artinya lebih tegas darah Majapahitnya, sebab Kertawijaya adalah cucu Bre Wirabumi, sedangkan Wirabumi adalah putra Hayam Wuruk.


Raden Sutawijaya menjadi Sultan di Mataram melalui banyak tangan, ketika itu Ki Gede Pemanahan lama sekali menunggu kapan Alas Mentaok (cikal bakal Mataram) yang dijanjikan oleh Sultan Pajang diserahkan.


Akhirnya Sunan Kalijaga mendatangi Sultan dan keduanya dipertemukan. Alas Mentaok diserahkan dengan syarat Ki Gede Pemanahan harus bersumpah Setya kepada Sultan.


Ketika Sutawijaya babat alas, Ki Gede mendampingi langsung. Namun menjelang Mataram berdiri Ki Gede wafat. Tugas pendampingan diteruskan Ki Juru Mertani. 


Itu berarti Sutawijaya sebagai putra fajar di bawah tuntunan Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Sunan Kalijaga sudah terlalu sepuh saat itu, namun sempat juga mengingatkan Sutawijaya saat Sultan Mataram itu terlalu terlena dengan Ratu Laut Kidul.


               *** bersambung