(Bukti kekaguman Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga)
Oleh: Rus Rusman
BERBEDA dengan Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati yang menggunakan artifisial Islam murni dalam mengajarkan agama kepada murid-muridnya, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga lebih banyak menggunakan pendekatan seni budaya dan kemasyarakatan.
Begitulah, hingga suatu saat murid Sunan Bonang yang bernama *Wujil* menghadap gurunya dan berkeluh-kesah:
"Wahai guru, telah sekian lama aku mengecap ilmu darimu, kutelusuri surat demi surat, ayat demi ayat, kuresapi setiap makna, tafakur dan menghayati semua yang guru ajarkan, tapi sekian lama pula aku belum menemukan apa yang kucari. Hatiku masih terasa bimbang, jiwaku kering dan gersang."
Sunan Bonang terdiam mendengarkan keluhan muridnya dan sang guru itupun lantas memejamkan matanya.
"Duhai guru, lantas apa yang mesti aku lakukan?"
Cukup lama Sunan Bonang belum berkata-kata. Terbayang dalam batinnya tentang siapa si Wujil ini sebelum bertemu dan menyatakan diri sebagai muridnya.
Ia adalah seorang hamba Majapahit yang bertugas utama sebagai penghibur raja, seniman keraton dan sekaligus juru taman dan pelantun kidung/tembang. Maka tak heran jika batinnya merasa sangat terikat dengan ajaran-ajaran lama.
Setelah beberapa lama, maka mulailah Sunan Bonang dengan uraian ajarannya yang panjang. Sementara Wujil dengan kesungguhannya mencermati kalimat demi kalimat yang disampaikan gurunya.
Nah, isi petuah Sunan Bonang yang panjang kepada muridnya Wujil itulah yang kemudian disebut sebagai *SULUK WUJIL.*
Suluk artinya *menempuh jalan* (menuju Allah). Dalam konteks Jawa suluk adalah nasehat-nasehat yang ditembangkan atau dilagukan.
Suluk Wujil adalah karya Sunan Bonang yang paling terkenal, diciptakan pada akhir abad ke-15 yaitu bersamaan dengan bedahnya Majapahit dan lahirnya Kerajaan Demak Bintoro.
Berbentuk bait-bait syair yang jumlahnya 104 bait, ditulis dengan huruf Jawa (ha, na, ca, ra, ka) dan banyak menyinggung tentang ajaran tasawuf.
Yang menarik pada bait 44 s/d 67 saat Wujil diminta menemui Syeh Malaya (Sunan Kalijaga), di situ konon Wujil menemukan pengalaman-pengalaman mistik yang sangat berguna. Saat-saat Syeh Malaya bermain tari topeng dari desa ke desa.
Lalu pada bait 89 s/d 104 yang berkisah tentang pertunjukan wayang di rumah Sunan Bonang dengan lakon "Baratayudha."
Usai pertunjukan wayang Sunan Kalijaga yang datang bersama dua muridnya Lawungsalawe dan Wanakarta diajak bertukar pikiran oleh Sunan Bonang tentang lakon wayang yang baru saja dimainkan dalang Penanggungan.
Sangat menarik bagaimana pengakuan Sunan Bonang terhadap eksistensi Syeh Malaya atau Sunan Kalijaga. Meskipun sosok itu dahulu adalah muridnya namun penghormatan sang guru tak ubahnya seperti seorang sahabat.
Wujil yang sudah 10 tahun *meguru,* dan hafal isi Al-Qur'an menjadi jenuh dan gelisah, akhirnya sang guru melengkapinya dengan pengalaman riil. Dan Sunan Bonang tahu pasti kepada siapa ia harus berkolaborasi.
Maka setelah menerima laporan Santri putri *Niken Satpada* yang baru kembali dari Juwana, Tahulah Sunan Bonang bahwa Syeh Malaya ada di mana. Disuruhlah Wujil menyampaikan surat kepada Syeh Malaya (di daerah Pati). Surat itu dituliskan di atas kelopak bunga teratai.
Di sana bekas hamba Majapahit itu harus menimba pengalaman dengan cara nyantrik sebentar kepada Sunan Kalijaga di Kampung pengambiran, Pati.
Sungguh luar biasa, ternyata teori *Deshooling Society* Yang ditemukan Filsuf Austria, Ivan Ilich (1970), jauh sebelumnya, yaitu abad ke-15, telah diterapkan oleh dua profesor besar di tanah jawa, yakni Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Tentu saja Wujil sangat senang menimba ilmu *kasunyatan* itu.
Kini iapun tahu bahwa yang disebut ayat-ayat Al-Qur'an bukanlah hanya yang ada di dalam kitab, yang wujudnya berupa tulisan dan hafalan saja.
Melainkan ayat-ayat suci itu ada juga di tengah masyarakat, yaitu apa makna para cantrik wanita (janda) yang mengikuti Sunan Kalijaga,
saat ada orang sakit kita menolong, ada yang kurang makan kita bantu, ada orang berjudi kita sadarkan, bahkan seribu satu persoalan lain di tengah pergaulan.
Dalam pengembaraan Sunan Kalijaga dari kampung ke kampung itu di mana Wujil ikut ambyur di dalamnya, Wujil menerima penuh *darmaning kautaman,* hidup secara *bebrayan,* dan berbagai penerapan nilai dan norma kemasyarakatan lain berdasarkan syariat Islam.
Sadar bahwa pengamalan ilmu di masyarakat butuh mental yang kuat, maka sebelum pergi menghadap Syeh Malaya, Sunan Bonang telah membekali Wujil dengan ilmu Fiqih yang kuat.
Salah satunya adalah isi bait ke-13 sebagaimana diterjemahkan dengan bahasa yang disederhanakan oleh Abdul Hadi (dalam Mundzir Ahmad, Nurcholis, 2016: 183) sebagai berikut:
*"Ingat-ingatlah Wujil,* apakah shalat yang sebenar-benar shalat? Renungkan lah ini: jangan lakukan shalat, andai tiada tahu siapa yang disembah. Bila kau melakukan juga, kau seperti memanah burung tanpa melepas anak panah dari busurnya. Berarti kau melakukan dengan sia-sia. Karena yang disembah wujud *khayalmu semata.*
Pada bait terakhir ada yang tidak kalah menarik, setelah berdiskusi tentang lakon wayang, Sunan Bonang mengajak Sunan Kalijaga (yang Ia panggil "Yayi") untuk berpelukan.
“Kemarilah, Dinda, aku telah menantimu sejak lama”. Keduanya saling berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, kaki beradu kaki, Kanjeng Sunan Bonang berkata kepada Seh Malaya, “Mari kita memejamkan mata dan jangan ragu”. Dan sekonyong-konyong mereka berdua *sampai di Mekah.*
Wallahu 'alam.***
Demikian semoga bermanfaat.
Tasikmadu, April 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar